Minggu, 18 Mei 2014

SABDA PANDHITA RATU:REFLEKSI KEPEMIMPINAN DALAM KULTUR POLITIK JAWA di ZAMAN VIVERE PERICOLOSO

SABDA PANDHITA RATU:REFLEKSI KEPEMIMPINAN DALAM KULTUR POLITIK JAWA di ZAMAN VIVERE PERICOLOSO
Oleh: Sri Pamungkas
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Pacitan

Sabda pandhita ratu dapat diartikan sebagai ucapan seorang pemimpin yang harus digugu dan ditiru oleh rakyat yang dipimpinnya. Istilah tersebut memberikan penguatan  bahwa dalam kepemimpinan hendaknya seorang pemimpin mampu memberikan contoh yang baik, dapat dipercaya, dan konsisten dengan apa yang disampaikan.
Jauh sebelum Indonesia mengalami masa reformasi, ucapan seorang pemimpin seolah mempunyai daya magis yang luar biasa sehingga tidak seorang pun berani menentang walaupun pada kenyataannya mereka mengetahui bahwa apa yang diperintahkan itu kurang tepat. Masyarakat Jawa masih berkeyakinan bahwa apa yang dikatakan pemimpin itu pasti benar, karena pemimpin adalah representasi penguasa jagad dan tidak sembarang orang akan dapat memeroleh kekuasaan. Diyakini bahwa untuk memeroleh tahta seseorang diberikan tanda oleh Tuhan dengan jatuhnya pulung kepada dirinya. Dengan jatuhnya pulung pada dirinya dapat dipastikan bahwa orang tersebut adalah orang pilihan karena tidak semua orang akan mendaptkannya.
Liku-liku pemerolehan kepercayaan atau amanah Tuhan ini kemudian digeneralisasikan bahwa hal tersebut merupakan bukti legitimasi Tuhan. Oleh karenanya, legitimasi kekuasaan harus terus menerus dijaga oleh raja atau pemimpin agar rakyat atau pihak mana pun tetap patuh, dipuja sebagai pemimpin yang tepat, berwibawa, dan kharismatik.
Kekuatan aura kepemimpinan di zaman vivere pericoloso ini sangat diperlukan. Vivere pericoloso adalah sosok pemimpin yang bekerja dekat dengan perapian besar. Mereka sangat penting bagi masyarakat namun mereka selalu dalam kondisi berbahaya. Potret kepemimpinan yang demikian, kiranya sangat pas di zaman ini. Carut marut kondisi demokrasi saat ini perlu kiranya mengembalikan roh demokrasi pada tatanan yang sebenarnya. Pemimpin yang akan mampu menegakkan demokrasi tentunya pemimpin yang selalu mengawal kebenaran dalam kondisi apa pun walau sendiri, tidak mencla-mencle, berkepribadian kuat, dan berprinsip hanya takut kepada Tuhan.
Kata Kunci      : sabda pandhita ratu, kepemimpinan, kultur politik Jawa, vivere   pericoloso




  
1.      Pendahuluan
Budaya Jawa diyakini mempunyai nilai yang amat tinggi. Tingginya nilai budaya Jawa ini dapat dilihat dengan banyaknya hal yang dapat dipetik dari mempelajari budaya Jawa. Nilai budaya Jawa amat kaya akan apa yang dinamakan kagunan basa, yakni seni berbahasa yang berupa ungkapan-ungkapan untuk menyatakan pikiran dan perasaan manusia, dengan masing-masing ragam dan gayanya.
           
Pemimpin, dalam perspektif budaya Jawa merupakan bagian integral yang sangat penting dalam proses kehidupan. Dalam kultur politik Jawa, berkembang praktik-praktik pencarian legitimasi kekuasaan dengan mengatasnamakan oleh pulung ‘memeroleh wahyu’ (Mulyana, 2005:1). Senada dengan Mulyana, Sudjarwadi (1991:211), mengatakan bahwa di wilayah pedesaan Jawa, pemilihan calon kepala desa, pemilihan kasun, bahkan pemilihan-pemilihan yang lain mereka masih bersandar pada dukun, pawang, wong pinter atau spiritual advisor. Kata pulung menjadi amat dahsyat dan masih diyakini bahwa pulung itulah sebenarnya legitimasi kekuasaan atau amanah yang diberikan Tuhan kepada seseorang.
            Sabda Pandhita Ratu, mempunyai makna secara etimologi sebagai berikut. Sabda bermakna ucapan, kata, bicara; pandhita=ratu=raja. Urutan kata tersebut mempunyai totalitas makna bahwa perkataan/ucapan seorang raja/pemimpin itu tidak boleh mencla-mencle. Artinya, sekali berbicara harus dilaksanakan dan ditepati, tidak boleh ditarik kembali atau bahkan diubah begitu saja.
            Ungkapan bahasa Jawa seperti tersebut di atas sangat menggelitik hati penulis untuk mengungkap lebih dalam lagi apalagi dikaitkan dengan fenomena saat ini. Ada hal yang sedikit bertentangan tatkala orang Jawa masih meyakini bahwa jabatan yang diperoleh dengan pertanda pulung, yang merupakan wujud legitimasi Tuhan. Legitimasi Tuhan mengandung makna bahwa orang tersebut diberi kepercayaan atau amanah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amanah yang bermakna ‘dapat dipercaya’ saat ini tidak sesederhana itu. Amanah seringkali menjadi ajang untuk melakukan segala upaya untuk melakukan hal-hal yang kurang manusiawi .Senjata aji mumpung menjadi falsafah baru dapam potret kepemimpinan saat ini.
            Zaman  vivere   pericoloso merupakan sebuah zaman yang dapat dikatakan sebagai zaman kritis.Pada zaman ini ditandai dengan terjadinya carut marut dalam pemerintahan bahkan kehidupan masyarakat secara umum.Pada zaman ini dibutuhkan sosok pemimpin yang kuat dan berkarakter, karena zaman ini adalah zaman yang panas. Pemimpin pada masa ini diibaratkan sebagai sosok yang selalu dekat dengan perapian atau dekat dengan bahaya tetapi keberadaannya sangat diperlukan dalam rangka melakukan penyelamatan. Namun sayangnya, tipe orang yang demikian banyak dihabisi di tengah jalan karena dianggap tidak sepaham bahkan akan membahayakan legitimasi seseorang dalam memangku jabatannya.
            Ungkapan Jawa yang merupakan salah satu sumber ajaran moral seringkali mengalami distorsi. Seringkali bentuk-bentuk ajaran Jawa tersebut dipleset-plesetkan sehingga menjadi berarti negatif, sebagai pelecehan dari nilai moralnya, sebagai kritik sosial, terlebih di zaman seperti saat ini yang menonjolkan ketidakadilan. Kosep sabda pandhita ratu saat ini sudah sangat jauh dari makna dan hakikat sebenarnya, bahkan budaya mikul dhuwur mendhem jero sebagai ungkapan yang seringkali mengiringi kata sabda pandhira ratu tersebut telah dibelokkan maknanya menjadi budaya saling menutupi kesalahan orang lain dan kroninya, yang kemudian berujung golek slamete dhewe, dalam rangka tetap mendapatkan tempat di hati penguasa, tidak perduli apakah penguasa itu benar atau salah, yang penting dia selamat.
            Fenomena demikian menimbulkan budaya oportunis menjadi tumbuh subur. Sangat sedikit dan bahkan tinggal sedikit manusia di bumi ini yang berani meneriakkan kebenaran karena takut kehilangan jabatan, takut kariernya dihambat, dan seterusnya.Tuhan menjadi agak tersisihkan pada mental-mental manusia yang demikian. Oleh karena itu, sangat jelas efeknya ketika seorang pemimpin tidak lagi mampu menempatkan suatu permasalahan pada tempatnya. Pemimpin yang tak lagi peduli dengan ucapannya, bahkan sering kali berganti, tergantung mute dan musimnya. Kebanyakan para  pemimpin di era ini sangat mudah memutarbalikkan fakta, tidak lagi objektif  yang menyebabkan semakin sulitnya pemimpin tersebut untuk mengetahui mana bawahannya yang loyal, yang setia, berkarakter bukan bawahan yang justru akan menusuknya dari belakang. Sebaliknya, bagi anak buah yang tidak kuat karakternya pasti akan segera meninggalkan pemimpin tersebut tatkala pemimpin tersebut dirasa tidak dapat memberikan kontribusi dan bahkan tidak penting dalam proses hidup dan kariernya.

2.      Memetik Pelajaran Berharga dari Ungkapan-ungkapan  Jawa
Disadari atau tidak bahwa setiap hal yang termaktub dalam pola kebudayaan memberikan kontribusi yang baik bagi peradaban bangsa.Ungkapan sebagai bagian kecil dari konstruksi kebahasaan merupakan bagian tak terpisahkan ketika bahasa dipelajari. Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan menjadi titik penting, yang hal ini mengandung pengertian bahwa dalam memahami kebudayaan maka salah satu hal yang perlu dipahami adalah bahasa.
Ungkapan-ungkapan seperti peribahasa, petitah-petitih, dan sebagainya saat ini masih hidup dalam masyarakat. Keberadaan uangkapan-ungakapan Jawa tersebut ada yang memanfaatkannya sebagai slogan karena isi dari uangkapan Jawa tersebut biasanya merupakan atau mengandung cerminan peradaban suatu etnis yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, menjadi pedoman hidup agar manusia menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dengan maksud agar manusia selalu ingat dan melaksanakan segala hal yang positif.
Fenomena bahasa Jawa yang dianggap tidak demokratis karena mengenal strata kebahasaan dan seterusnya. Namun disisi lain dipandang bahwa bahasa Jawa tetaplah demokratis karena sebenarnya strata kebahasaan itu secara tersirat sebenarnya mengajarkan tentang tata karma, sopan santun, dalam segala aspek kehidupan sehingga diharapkan orang Jawa benar-benar Njawa sehingga akan total lahir batin sebagai orang Jawa termasuk ajaran budaya di dalamnya. Adapun jenis-jenis ajaran Jawa yang tertuang dalam unggah-ungguh serta ungkapan-ungkapan Jawa seperti dikutip dari Wahjono (2005:10-11) adalah sebagai berikut.
1.      Tembung saroja, merupakan tembung atau kata yang artinya sama. Kata tersebut dipakai bersama-sama dan mengandung satu kesatuan makna. Contoh tembung saroja adalah: sanak kadang, tata karma, atur runtut, ayem tentrem, cekak aos, gandheng ceneng.
2.      Kerata basa, yaitu memberi arti suatu kata dengan dicari-cari maknanya agar cocok.
3.      Akronim, misalnya gedhang=digeget bar madhang, garwa=sigaraning nyawa.
4.      Tembung yogaswara, ialah dua kata maskulin dan feminine, seperti putra-putri, siswa-siswi.
5.      Panyandra; alise nanggal sepisan, lengene nggandewa pinenthang
6.      Tembung entar, yaitu kata kiasan, seperti dawa tangane=panjang tangan,
jembar segarane= pemaaf, entek atine=sangat kawatir.
7.      Paribasan, yaitu peribahasa, anak polah bapa kepradah=anak bertingkah, orang tua ikut menanggung akibatnya, ngalasake negara=tidak mematuhi peraturan negara, jamur tuwuh ning sela=hal yang mustahil terjadi.
8.      Bebasan=perumpamaan, kena iwake aja nganti buthek banyune=dapat ikannya tanpa membuat keruh airnya; nabok nyilih tangan artinya berbuat jahat dengan menyuruh orang lain melakukannya.
9.      Saloka, hamper sama dengan bebasan, tetapi agak sukar ditangkap maknanya, harus dicari lebih lanjut maksud dari apa yang diumpamakan, seperti geni guntur nila bena yang artinya api guntur maksdunya perintah/hukum, perintah yang tidak dapat dibantah; hal ini mengandung maksud bahwa perintah atau hukum negara yang berlaku tidak dapat dihindari atau harus dipatuhi.
Menilik dari ajaran-ajaran dalam budaya Jawa di atas, sebenarnya hal tersebut dapat tetap hidup, berkembang, dan bahkan menjadi salah satu patokan dasar dalam membentuk masyarakat manusia Indonesia yang humanis, penuh kekeluargaan, saling menghormati, sehingga capaian Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia pasti akan dapat terealisasi dengan optimal dan maksimal. Banyak hal yang dapat dipelajari dari ajaran falsafah Jawa yang adiluhung tersebut, tentu dengan komitmen bersama bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan Jawa tersebut bukan hanya sekedar slogan, bukan hanya sekedar berada di buku, dimengerti tetapi tidak pernah dilakukan dan diparktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Fenomena Kepemimpinan dalam Kultur Politik Jawa di Zaman Vivere Pericoloso

Vivere pericoloso, adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Italia yang artinya kurang lebih adalah, hidup secara berbahaya. Di Indonesia, ungkapan ini dipopulerkan oleh Bung Karno pada tahun 1964 sebagai judul pidato kenegaraan pada peringatan HUT ke-19 RI: "Tahun Vivere Pericoloso" (disingkat TAVIP), kira-kira setahun sebelum terjadinya peristiwa G30S (Gestapu).Ungkapan ini juga dipakai oleh surat kabar "Sinar Harapan" pada tahun 1970-an hingga 1980-an untuk rubrik pojok kritiknya (Wikipedia.org/wiki)
Judul pidato Soekarno itu menginspirasi Christopher Koch, penulis Australia, untuk menulis novel yang terbit pada tahun 1978 di Australia, The Year of Living Dangerously, yang kemudian dijadikan film berjudul sama. Film produksi Australia buatan tahun 1982 ini dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. Kisahnya dilatarbelakangi keadaan di Jakarta pada tahun 1965 menjelang dan saat terjadinya peristiwa G30S-PKI.
Akhir-akhir ini Indonesia dikejutkan oleh berbagai peristiwa. Gempa demi gempa yang melanda Indonesia sepanjang tahun seperti tak memberi jeda untuk sekadar bernafas dan menyalakan lilin harapan. Gempa politik, gempa ekonomi, gempa bumi, dan gempa korupsi bersahutan membawa negeri ke ujung tanduk, tanpa sedikit pun mengerem hasrat kuasa untuk menghalalkan segala cara. KKN menjadi pusat segalam macam “gempa” di negeri ini. Rakyat semakin terpuruk, pangan semakin mahal, dan banyaknya kebijakan yang dibuat hanya utuk kepnetingan segelintir orang dan juga kelompok tertentu. ”Ekstremisme dalam mengejar kekuasaan,”  tulis Lyndon Baines Johnson, ”sungguh perbuatan jahat yang tak termaafkan.” Pacuan hasrat berkuasa yang  ekstrem telah melambungkan ongkos kekuasaan, yang menjebol batas-batas kepantasan.
                        Dalam situasi krisis yang melumpuhkan partisipasi pembiayaan publik,        meroketnya     ongkos kekuasaan itu memacu hasrat penjarahan sumber-sumber      keuangan negara. Korupsi politik merajalela dengan berbagai modus baru, yang     siasat-siasatnya dipercanggih oleh bantuan tangan-tangan cerdik-pandai. Hasrat             berkuasa yang             ekstrem juga mempertaruhkan daulat negara kepada tangan- tangan            luar.
                        Di permukaan, publik terenyak oleh tendensi kriminalisasi Komisi   Pemberantasan Korupsi, sengketa antarlembaga penegak hukum, dan megaskandal       Bank Century. Namun, itu hanyalah puncak gunung es, yang pada dasarnya             tersembunyi pacuan gairah berkuasa yang ekstrem, yang berisiko merobohkan        bangunan demokrasi (Latif, 2009).
                        Inilah tahun yang penuh ujian, yang menyerempet bahaya, seperti memutar             kembali peringatan Bung Karno. Setahun sebelum pendulum sejarah berayun pada        1965, pada 17 Agustus 1964 Soekarno berpidato dengan judul ”Tahun Vivere   Pericoloso” (Tahun Menyerempet Bahaya), yang mengingatkan adanya ranjau             revolusi dan menekankan pentingnya keberanian menghadapi krisis serta kemandirian        sebagai fondasi demokrasi.
                        Resonansi pesan Bung Karno tersebut seperti bergema kuat dalam   menyongsong pergantian tahun, sebagai reinkarnasi ”tahun vivere pericoloso”.          Dalam kontras antara keborosan dan narsisme politik dengan paceklik perekonomian           dan penderitaan rakyat kecil, mungkinkah demokrasi dikonsolidasikan?
                        Dalam kaitan ini, Bung Hatta pernah mengingatkan, ”Di atas sendi (cita-cita          tolong-menolong) dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang-seorang atau   satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak, melainkan           keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan           penghasilan.”
                        Pada titik inilah justru kita temukan kegentingan yang kita hadapi.Bahwa   pertautan jiwa-jiwa revolusioner serta sendi tolong-menolong yang ditekankan oleh       kedua pendiri bangsa itu kini telah pudar membawa kesulitan dalam memecahkan        masalah bersama. Korupsi telah membelah bangsa ke dalam dua lapis yang    berlawanan: pengisap dan yang diisap. Semangat gotong royong ambruk yang        memperlemah ketahanan politik dan kemandirian ekonomi nasional. Itulah sebabnya korupsi menjadi titik tergenting persoalan nasional. Korupsi merupakan kanker     ganas yang melemahkan ketahanan dan jati diri bangsa. Segala        bencana yang             menimpa bangsa ini pada akar tunjangnya tertanam budaya korupsi.
Segala persoalan yang menimpa bangsa ini tidak lain karena kurangnya komitmen pemimpin. Sabda pandhita ratu menjadi hal yang disepelekan. Urutan kata tersebut seolah-olah tidak ada maknanya. Hal ikhwal mulai luntur dan terkikisnya rasa memiliki dan menyelamatkan bangsa ini daripada sekedar mencapai kekuasaan sebenarnya dapat dilihat dari mulai runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap orde baru. Pelaku bangsa ini telah terjatuh dan terjebak dalam suatu zaman, yaitu zaman edan. Krishna (1999:1) menyebutkan bahwa zaman edan adalah sebuah era yang menurut pujangga besar R.Ng. Ranggawarsita, merupakan sebuah zaman yang telah mengalami pergeseran kultural besar-besaran. Pada era ini orang akan berebut kekuasaan, tega mengorbankan kepentingan orang banyak, bahkan membunuh orang lain menjadi hal yang dapat dikatakan lumrah.
Himpitan di zaman orde baru, hingga lebih kurang 32 tahun, membawa bangsa ini menderita trauma berat bahkan dapat dikatakan kronis. Pembatasan-pembatasan serta pengekangan yang pernah terjadi di zaman itu seolah menyebabkan tekanan psikologis dalam bagi masyarakat Indonesia. Euvoria kekuasaan pascaorde baru menjadi hal yang sangat menarik disamping memrihatinkan. Semua orang ingin berkuasa dengan caranya. Manusia tidak sadar bahwa sebenarnya kekuasaan bukanlah hal yang permanen. BR Anderson mengatakan bahwa kekuasaan memang dapat dipupuk terus menerus sampai mencapai puncaknya, tetapi sesudah puncak dicapai, kekuasaan juga akan menurun dan mulai surut pada perorangan penguasa tersebut.          Zaman vivere pericoloso, bukan saja zaman yang nyrempet bahaya, tetapi sudah merupakan zaman berbahaya. Zaman vivere pericoloso juga merupakan zaman edan yang secara lahir atau kasat mata dapat dilihat seolah-olah budaya ewuh pekewuh terpelihara dengan baik namun sebenarnya hal itu hanyalah kedok semata. Ewuh pekewuh dimaknai berbeda dari yang sebenarnya. Budaya ini terpelihara di zaman orde baru sampai reformasi, dan bahkan dikatkan oleh Ananda (1991:95) pejabat kita sarat dengan budaya ewuh pekewuh. Budaya ewuh pekewuh yang jauh dari makna konteks tersebut sebenarnya telah meracuni masyarakat Indonesia karena menurut Norma (1998:ix) negara akan kehilangan wibawa, penguasa kehilangan etika, masyarakat kehilangan pranata dan alam yang terus melahirkan bencana. Kegagalan ini berdampak pada krisis segala hal yang berkepanjangan, khususnya krisis budaya dan kepercayaan. Krisis ini sulit didongkrak dan dikembalikan manakala masih terjadi pertikaian diantara penyeleggara pemerintahan. Ketika seorang pemimpin sudah mencla mencle ucapannya siapa lagi yang akan bisa dianut? Ini menjadi sumber carut marutnya bangsa ini, karena pemimpin pun sudah tak lagi punya komitmen apalagi punya hati untuk duduk sebagai pemimpin sejati.
4.      Budaya Menyenangkan Atasan sebagai Simbol Loyalitas di Zaman Vivere Pericoloso
Pergeseran makna kepemimpinan serta bentuk loyalitas yang ada di era ini sungguh sangat mengejutkan. Sikap masyarakat (Jawa) yang senang menyenangkan hati atasan merupakan hal ikwal yang ke luar dari koridor profesional dan kapabelitas seseorang. Hampir semua orang meyakini, bahwa loyalitas pada pemimpin adalah dengan selalu mampu menyenangkan hati atasan, mundhuk-mundhuk, nun inggih sendika dhawuh, kalau perlu mengelabuhi kesalahan atasan, maka secara otomatis ia akan diselamatkan. Sistem feodalistik inilah yang kemudian membunuh karakter bangsa ini. Matinya ‘prestasi’ lambat laun akan terjadi dengan penerapan sistem bahwa bawahan yang baik dan loyal adalah selalu  patuh. Bawahan harus bisa ngapurancang, tutup mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih (Suwardi, 2005:43, meminjam istilah Darmanta Jatman.
Gaya politik yang demikian pada era ini semakin menjadi-jadi. Ditegaskan oleh Laswell dan Kaplan (Budihardjo, 1986:9) bahwa kekuasaan adalah sebagai kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terkahir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Konsep ini sesuai dengan pernyataan Person yang dikutip oleh Budihardjo (1986:18) yang cenderung melihat kekuasaan sebagai upaya untuk mencapai tujuan kolektif dengan jalan membuat keputusan-keputusan yang mengikat, yang jika mengalami perlawanan, dapat didukung dengan sanksi negatif. Apa yang diungkapkan oleh Parson ini cenderung melihat kekuasaan sebagai wewenang (outhority) yaitu keinginan mencapai tujuan yang terkesan ada paksaan. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaannya seorang pemimpin di era ini kebanyakan tidak lagi berdasar pada logika bahkan tidak sedikit yang berupaya melakukan pembelokan aturan demi tahta yang dan bertahan di kursi basahnya.
Hal semacam demikian tentu sangat ironis dengan gerakan Indonesia berkarakter melalui dengungan pendidikan karakter. Bagaimana generasi Indonesia akan berkarakter ketika orang-orang yang melingkupi hidup mereka saat ini jauh dari karakter. Generasi bangsa saat ini lebih banyak disuguhkan bermacam-macam polemik dan carut marutnya keadaan bangsa yang semakin menua dan tiada terasa benar-benar dalam posisi yang “berbahaya”. Pembelokan aturan, kolusi, korupsi, nepotisme yang kian subur bahkan cara-cara anarkis yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam rangka mencapai legitimasi kekuasaan, telah menjadikan negara ini lebih bobrok.
Sebagai orang Jawa perlu kiranya mengembalikan ajaran falsafah Jawa pada koridor yang sebenarnya. Ajaran adiluhung itu tabu kiranya bila kemudian dibuat plesetan-plesetan. Pemimpin harus kembali menyadari bahwa apa yang dikatakannya adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh rakyat yang dipimpinnya. Terkait pro dan kontra dengan apa yang diputuskan tentu mengandung konsekuensi logis. Yang terpenting di sini adalah bahwa seorang pemimpin harus konsisten dengan apa yang diucapkannya, konsisten dengan keputusannya, tidak mencla-mencle hanya demi memertahankan egonya, kekuasaannya dan semata-mata prestise saja. Hal ini tentu akan menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Rakyat tidak perlu mundhuk-mundhuk untuk mendapatkan jabatan, tetapi dengan konsep kepemimpinan yang jelas, yang lahir adalah orang-orang yang pas dan sesuai dengan kemampuannya yang akan didelegasikan untuk menjadi pendampingnya. Dengan demikian, budaya penempatan seseorang dengan berpijak pada like and dislike akan terkikis dari bumi Indonesia.
Zaman ini membutuhkan karakter pemimpin yang kuat. Bukan sekedar pemimpin yang dengan mudah dibelokkan arah, dipengaruhi, bahkan dengan mudah melakukan justifikasi tanpa klarifikasi dengan berpijak pada suka dan tidak suka. Sangat banyak fenomena demikian ditemui di zaman ini. Demokrasi di negeri ini harus segera diperbaiki dan dikembalikan pada roh yang sebenarnya yaitu kejatian Pancasila. Pemimpin ada saatnya akan menjadi rakyat biasa, dan sebaliknya suatu saat rakyat biasa akan memimpin. Roda yang terus berputar ini, memungkinkan semua orang untuk menjadi pemimpin dalam hal apa pun. Jangan sampai luka lama ketika seseorang menjadi rakyat membuatnya menjadi lupa diri dan mendewakan kekuasaan ketika orang tersebut duduk sebagai pemimpin. Prinsipnya tidak ada yang abadi di dunia ini, sehingga hakikat Tuhan sebagai pemilik segalanya harus benar-benar ditakuti karena tanpa nafas yang diberikannya manusia tidak berarti apa-apa.  
5.      Penutup
Sabda pandhita ratu sebagai salah satu bentuk falsfah Jawa perlu kiranya dikembalikan pada rohnya. Sebagai bentuk ajaran pendidikan karakter bagi generasi yang akan datang tentu seorang pemimpin harus mengerti kejatiannya sebagai pemimpin.  Kredibilitas pemimpin itu faktor yang sangat penting, sehingga jika ia mengeluarkan statemen, rakyat tidak akan meragukannya. Kredibilitas pemimpin yang berkarakter tentu juga tidak mencla-mencle, esuk tempe sore dhele, dan sering kali berganti-ganti keputusan.  Jika ada tokoh yang mengeluarkan pernyataan atau mengajak umat untuk melakukan sesuatu, tapi banyak penolakan, pertanda sang figur masih belum dipercaya. Kredibilitasnya masih dipertanyakan.
Di samping kredibel di mata umat, pemimpin yang kita maksud harus kapabel, yakni mampu, sanggup, cakap, pandai. Dia adalah sosok yang memiliki kemampuan dalam memimpin, menjadi problem solver, cakap dan cerdas dalam memecahkan masalah bagi rakyat (umat)nya.
Di zaman vivere pericoloso ini, seorang pemimpin sekadar memiliki kredibilitas dan kapabilitas, tak cukup. Keduanya tak punya arti apa-apa, kalau tak didukung dan diterima banyak pihak. Karenanya, seorang pemimpin harus akseptabel, yakni diterima banyak kalangan. Akseptabilitas pemimpin itu sangat bergantung pada kredibilitas dan kapabilitasnya. Dalam arti, akseptabilitas dengan sendirinya didapat, jika kredibilitas dan kapabilitas  dimiliki.
           
            DAFTAR PUSTAKA
Ananda, Mutataqin Tri, Mc.1991”Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan”. Resensi Buku Buku dalam Buletin Antropologi, Th.VII.Yogyakarta:Keluarga Mahasiswa Antropologi UGM.
Anderson, Benedict,R.OG.1986.”Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiharjo(ed) Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa.Jakarta: Sinar Harapan.
Budihardjo, Miriam(ed).1986.”Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan” dalam Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa.Jakarta: Sinar Harapan.
Latif,Yudi.2013.”Tahun Vivere Pericoloso” dalam serbasejarah.wordpress.com/2009/12/08/tahun-vivere-pericoloso. Diunduh 1 April 2013 pukul 09.13.
Mulyana (ed).2005. “Pulung: Antara Legitimasi Kekuasaan dan Penyimpangan Demokrasi dalam Kultur Politik Jawa” dalam Demokrasi dalam Budaya Lokal.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Norma, Ahmad.1998.Zaman Edan. Yogyakarta: Benteng.
Sudjarwadi  I.C.1991.”bahasa Jawa dalam Pedukunan”, dalam Prosiding KBJ I. Semarang : Harapan Massa.
Wahjono, Parwatri.2005.”Ungkapan-ungkapan dan Ajaran Jawa: Kearifan dalam Berdemokrasi”.dalam Mulyana(ed).Demokrasi dalam Budaya Lokal.Yogyakarta: Tiara Wacana.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar