SABDA
PANDHITA RATU:REFLEKSI
KEPEMIMPINAN DALAM KULTUR POLITIK JAWA di ZAMAN VIVERE PERICOLOSO
Oleh:
Sri Pamungkas
Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Pacitan
Sabda
pandhita ratu dapat diartikan sebagai ucapan seorang pemimpin
yang harus digugu dan ditiru oleh rakyat yang dipimpinnya.
Istilah tersebut memberikan penguatan
bahwa dalam kepemimpinan hendaknya seorang pemimpin mampu memberikan
contoh yang baik, dapat dipercaya, dan konsisten dengan apa yang disampaikan.
Jauh sebelum Indonesia mengalami masa
reformasi, ucapan seorang pemimpin seolah mempunyai daya magis yang luar biasa
sehingga tidak seorang pun berani menentang walaupun pada kenyataannya mereka
mengetahui bahwa apa yang diperintahkan itu kurang tepat.
Masyarakat Jawa masih berkeyakinan bahwa apa yang dikatakan pemimpin itu pasti
benar, karena pemimpin adalah representasi penguasa jagad dan tidak
sembarang orang akan dapat memeroleh kekuasaan. Diyakini bahwa untuk memeroleh
tahta seseorang diberikan tanda oleh Tuhan dengan jatuhnya pulung kepada dirinya. Dengan jatuhnya pulung pada dirinya dapat dipastikan bahwa orang tersebut adalah
orang pilihan karena tidak semua orang akan mendaptkannya.
Liku-liku pemerolehan kepercayaan atau
amanah Tuhan ini kemudian digeneralisasikan bahwa hal tersebut merupakan bukti
legitimasi Tuhan. Oleh karenanya, legitimasi kekuasaan harus terus menerus
dijaga oleh raja atau pemimpin agar rakyat atau pihak mana pun tetap patuh,
dipuja sebagai pemimpin yang tepat, berwibawa, dan kharismatik.
Kekuatan aura kepemimpinan di zaman
vivere pericoloso ini sangat diperlukan. Vivere pericoloso adalah sosok
pemimpin yang bekerja dekat dengan perapian besar. Mereka sangat penting bagi
masyarakat namun mereka selalu dalam kondisi berbahaya. Potret kepemimpinan
yang demikian, kiranya sangat pas di zaman ini. Carut marut kondisi demokrasi
saat ini perlu kiranya mengembalikan roh demokrasi pada tatanan yang
sebenarnya. Pemimpin yang akan mampu menegakkan demokrasi tentunya pemimpin
yang selalu mengawal kebenaran dalam kondisi apa pun walau sendiri, tidak mencla-mencle, berkepribadian kuat, dan
berprinsip hanya takut kepada Tuhan.
Kata Kunci : sabda
pandhita ratu, kepemimpinan, kultur politik Jawa, vivere pericoloso
1.
Pendahuluan
Budaya
Jawa diyakini mempunyai nilai yang amat tinggi. Tingginya nilai budaya Jawa ini dapat
dilihat dengan banyaknya hal
yang dapat dipetik dari mempelajari budaya Jawa. Nilai budaya Jawa amat kaya
akan apa yang dinamakan kagunan basa,
yakni seni berbahasa yang berupa ungkapan-ungkapan untuk menyatakan pikiran dan
perasaan manusia, dengan masing-masing ragam dan gayanya.
Sabda Pandhita Ratu,
mempunyai makna secara etimologi sebagai
berikut.
Sabda
bermakna ‘ucapan’, ‘kata’, ‘bicara’; pandhita=ratu=raja. Urutan kata tersebut mempunyai totalitas makna
bahwa perkataan/ucapan seorang raja/pemimpin itu tidak boleh mencla-mencle. Artinya, sekali
berbicara harus dilaksanakan dan ditepati, tidak boleh ditarik kembali atau
bahkan diubah begitu saja.
Ungkapan bahasa Jawa seperti tersebut di atas sangat
menggelitik hati penulis untuk mengungkap lebih dalam lagi apalagi dikaitkan
dengan fenomena saat ini. Ada
hal yang sedikit bertentangan tatkala orang Jawa masih meyakini bahwa jabatan
yang diperoleh dengan pertanda pulung,
yang merupakan wujud legitimasi Tuhan. Legitimasi Tuhan mengandung makna bahwa
orang tersebut diberi kepercayaan atau amanah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amanah yang bermakna
‘dapat dipercaya’ saat ini tidak sesederhana itu. Amanah seringkali
menjadi ajang untuk melakukan segala upaya untuk melakukan hal-hal yang kurang
manusiawi .Senjata
aji mumpung menjadi falsafah baru
dapam potret kepemimpinan
saat ini.
Zaman vivere
pericoloso merupakan sebuah zaman yang dapat dikatakan sebagai zaman
kritis.Pada zaman ini ditandai dengan terjadinya carut marut dalam pemerintahan
bahkan kehidupan masyarakat secara umum.Pada zaman ini dibutuhkan sosok
pemimpin yang kuat dan berkarakter, karena zaman ini adalah zaman yang panas. Pemimpin pada masa ini
diibaratkan sebagai sosok yang selalu dekat dengan perapian atau dekat dengan
bahaya tetapi keberadaannya sangat diperlukan dalam rangka melakukan
penyelamatan. Namun sayangnya,
tipe orang yang demikian banyak dihabisi di tengah jalan karena dianggap tidak
sepaham bahkan akan membahayakan
“legitimasi” seseorang dalam
memangku jabatannya.
Ungkapan Jawa yang merupakan salah satu sumber ajaran
moral seringkali mengalami distorsi. Seringkali bentuk-bentuk ajaran Jawa
tersebut dipleset-plesetkan sehingga menjadi berarti negatif, sebagai pelecehan
dari nilai moralnya, sebagai kritik sosial, terlebih di zaman seperti saat ini
yang menonjolkan ketidakadilan. Kosep sabda
pandhita ratu saat ini sudah sangat jauh dari makna dan hakikat sebenarnya, bahkan budaya mikul dhuwur mendhem jero sebagai
ungkapan yang seringkali mengiringi
kata sabda pandhira ratu tersebut
telah dibelokkan maknanya menjadi budaya saling menutupi kesalahan orang lain
dan kroninya, yang kemudian berujung golek
slamete dhewe, dalam rangka tetap mendapatkan tempat di hati penguasa,
tidak perduli apakah penguasa itu benar atau salah, yang penting dia selamat.
Fenomena
demikian menimbulkan budaya oportunis menjadi tumbuh subur. Sangat sedikit dan
bahkan tinggal sedikit manusia di bumi ini yang berani meneriakkan kebenaran
karena takut kehilangan jabatan, takut kariernya dihambat, dan seterusnya.Tuhan
menjadi agak tersisihkan pada mental-mental manusia yang demikian. Oleh karena itu, sangat
jelas efeknya ketika seorang pemimpin tidak lagi mampu menempatkan suatu
permasalahan pada tempatnya. Pemimpin
yang tak lagi peduli dengan ucapannya, bahkan sering kali berganti, tergantung mute dan musimnya. Kebanyakan para pemimpin di era ini sangat mudah
memutarbalikkan fakta, tidak lagi objektif
yang menyebabkan semakin sulitnya pemimpin tersebut untuk mengetahui mana
bawahannya yang loyal, yang setia, berkarakter bukan bawahan yang justru akan
menusuknya dari belakang. Sebaliknya, bagi
anak buah yang tidak kuat karakternya pasti akan segera meninggalkan pemimpin tersebut
tatkala pemimpin tersebut dirasa tidak dapat memberikan kontribusi dan bahkan
tidak penting dalam proses hidup dan kariernya.
2.
Memetik
Pelajaran Berharga dari Ungkapan-ungkapan
Jawa
Disadari
atau tidak bahwa setiap hal yang termaktub dalam pola kebudayaan memberikan
kontribusi yang baik bagi peradaban bangsa.Ungkapan sebagai bagian kecil dari
konstruksi kebahasaan merupakan bagian tak terpisahkan ketika bahasa
dipelajari. Bahasa
sebagai salah satu unsur kebudayaan menjadi titik penting, yang hal ini
mengandung pengertian bahwa dalam memahami kebudayaan maka salah satu hal yang
perlu dipahami adalah bahasa.
Ungkapan-ungkapan
seperti peribahasa, petitah-petitih,
dan sebagainya saat ini masih hidup dalam masyarakat. Keberadaan
uangkapan-ungakapan Jawa tersebut ada yang memanfaatkannya sebagai slogan
karena isi dari uangkapan Jawa tersebut biasanya merupakan atau mengandung cerminan
peradaban suatu etnis yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, menjadi
pedoman hidup agar manusia menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, dengan maksud agar manusia selalu ingat dan melaksanakan segala hal
yang positif.
Fenomena
bahasa Jawa yang dianggap tidak demokratis karena mengenal strata kebahasaan
dan seterusnya. Namun disisi lain dipandang bahwa bahasa Jawa tetaplah
demokratis karena sebenarnya strata kebahasaan itu secara tersirat sebenarnya
mengajarkan tentang tata karma, sopan santun, dalam segala aspek kehidupan
sehingga diharapkan orang Jawa benar-benar Njawa
sehingga akan total lahir batin sebagai orang Jawa termasuk ajaran budaya
di dalamnya. Adapun jenis-jenis ajaran Jawa yang tertuang dalam unggah-ungguh
serta ungkapan-ungkapan Jawa seperti dikutip dari Wahjono (2005:10-11) adalah
sebagai berikut.
1.
Tembung saroja,
merupakan tembung atau kata yang artinya sama. Kata tersebut dipakai
bersama-sama dan mengandung satu kesatuan makna. Contoh tembung saroja adalah: sanak kadang, tata karma, atur runtut, ayem
tentrem, cekak aos, gandheng ceneng.
2. Kerata
basa, yaitu memberi arti suatu kata dengan dicari-cari maknanya agar cocok.
3. Akronim,
misalnya gedhang=digeget bar madhang,
garwa=sigaraning nyawa.
4.
Tembung yogaswara,
ialah dua kata maskulin dan feminine, seperti putra-putri, siswa-siswi.
5. Panyandra;
alise nanggal
sepisan, lengene nggandewa pinenthang
6. Tembung
entar, yaitu kata kiasan, seperti dawa
tangane=panjang tangan,
jembar segarane=
pemaaf, entek atine=sangat kawatir.
7. Paribasan,
yaitu peribahasa, anak polah bapa
kepradah=anak bertingkah, orang tua ikut menanggung akibatnya, ngalasake negara=tidak
mematuhi peraturan negara,
jamur tuwuh ning sela=hal yang
mustahil terjadi.
8. Bebasan=perumpamaan,
kena iwake aja nganti buthek banyune=dapat
ikannya tanpa membuat keruh airnya; nabok
nyilih tangan artinya berbuat jahat dengan menyuruh orang lain
melakukannya.
9. Saloka,
hamper sama dengan bebasan, tetapi agak sukar ditangkap maknanya, harus dicari
lebih lanjut maksud dari apa yang diumpamakan, seperti geni guntur
nila bena yang artinya api guntur maksdunya
perintah/hukum,
perintah yang tidak dapat dibantah; hal ini mengandung maksud bahwa perintah
atau hukum negara yang berlaku
tidak dapat dihindari atau harus dipatuhi.
Menilik
dari ajaran-ajaran dalam budaya Jawa di atas, sebenarnya hal tersebut dapat
tetap hidup, berkembang, dan bahkan menjadi salah satu patokan dasar dalam
membentuk masyarakat manusia Indonesia yang humanis, penuh kekeluargaan, saling
menghormati, sehingga capaian Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia pasti akan dapat terealisasi dengan
optimal dan maksimal. Banyak hal yang dapat dipelajari dari ajaran falsafah
Jawa yang adiluhung tersebut, tentu dengan komitmen bersama bahwa ajaran-ajaran
yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan Jawa tersebut bukan hanya sekedar
slogan, bukan hanya sekedar berada di buku, dimengerti tetapi tidak pernah
dilakukan dan diparktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Fenomena Kepemimpinan dalam Kultur
Politik Jawa di Zaman Vivere Pericoloso
Vivere pericoloso, adalah sebuah ungkapan dalam bahasa
Italia yang artinya
kurang lebih adalah, ‘hidup secara berbahaya’. Di Indonesia, ungkapan ini dipopulerkan oleh Bung
Karno pada tahun 1964
sebagai judul pidato kenegaraan pada peringatan HUT ke-19 RI: "Tahun
Vivere Pericoloso" (disingkat TAVIP), kira-kira setahun sebelum
terjadinya peristiwa G30S (Gestapu).Ungkapan ini juga dipakai oleh surat kabar "Sinar Harapan" pada tahun 1970-an hingga 1980-an untuk rubrik
pojok kritiknya (Wikipedia.org/wiki)
Judul
pidato Soekarno itu menginspirasi Christopher Koch, penulis Australia, untuk menulis novel yang terbit
pada tahun 1978 di Australia, The Year of Living Dangerously, yang kemudian dijadikan film berjudul sama.
Film produksi Australia buatan tahun 1982 ini dibintangi oleh artis-artis
terkenal seperti Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. Kisahnya dilatarbelakangi keadaan di Jakarta pada tahun 1965 menjelang dan saat terjadinya peristiwa G30S-PKI.
Akhir-akhir ini Indonesia
dikejutkan oleh berbagai peristiwa. Gempa demi gempa yang melanda Indonesia sepanjang tahun
seperti tak memberi jeda untuk sekadar bernafas dan menyalakan lilin harapan. Gempa
politik, gempa ekonomi, gempa bumi, dan gempa korupsi bersahutan membawa negeri
ke ujung tanduk, tanpa sedikit pun mengerem hasrat kuasa untuk menghalalkan
segala cara. KKN menjadi pusat
segalam macam “gempa” di negeri ini. Rakyat semakin terpuruk, pangan semakin
mahal, dan banyaknya kebijakan yang dibuat hanya utuk kepnetingan segelintir
orang dan juga kelompok tertentu. ”Ekstremisme dalam
mengejar kekuasaan,” tulis Lyndon Baines
Johnson, ”sungguh perbuatan jahat yang tak termaafkan.” Pacuan hasrat berkuasa
yang ekstrem telah
melambungkan ongkos kekuasaan, yang menjebol batas-batas kepantasan.
Dalam
situasi krisis yang melumpuhkan partisipasi pembiayaan publik, meroketnya ongkos kekuasaan itu memacu hasrat penjarahan sumber-sumber keuangan negara. Korupsi politik
merajalela dengan berbagai modus baru, yang siasat-siasatnya
dipercanggih oleh bantuan tangan-tangan cerdik-pandai. Hasrat berkuasa yang ekstrem juga mempertaruhkan daulat
negara kepada tangan- tangan luar.
Di
permukaan, publik terenyak oleh tendensi kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi, sengketa antarlembaga
penegak hukum, dan megaskandal Bank
Century. Namun, itu hanyalah puncak gunung es, yang pada dasarnya tersembunyi pacuan gairah berkuasa
yang ekstrem, yang berisiko merobohkan bangunan
demokrasi (Latif, 2009).
Inilah
tahun yang penuh ujian, yang menyerempet bahaya, seperti memutar kembali peringatan Bung Karno.
Setahun sebelum pendulum sejarah berayun pada 1965,
pada 17 Agustus 1964 Soekarno berpidato dengan judul ”Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun Menyerempet
Bahaya), yang mengingatkan adanya ranjau revolusi dan menekankan pentingnya keberanian menghadapi
krisis serta kemandirian sebagai
fondasi demokrasi.
Resonansi
pesan Bung Karno tersebut seperti bergema kuat dalam menyongsong pergantian tahun, sebagai reinkarnasi ”tahun vivere pericoloso”.
Dalam kontras antara keborosan
dan narsisme politik dengan paceklik perekonomian dan penderitaan rakyat kecil, mungkinkah demokrasi
dikonsolidasikan?
Dalam
kaitan ini, Bung Hatta pernah mengingatkan, ”Di atas sendi (cita-cita tolong-menolong) dapat didirikan
tonggak demokrasi. Tidak lagi orang-seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak,
melainkan keperluan dan kemauan
rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.”
Pada
titik inilah justru kita temukan kegentingan yang kita hadapi.Bahwa pertautan jiwa-jiwa revolusioner serta sendi
tolong-menolong yang ditekankan oleh kedua
pendiri bangsa itu kini telah pudar membawa kesulitan dalam memecahkan masalah bersama. Korupsi telah membelah
bangsa ke dalam dua lapis yang berlawanan:
pengisap dan yang diisap. Semangat gotong royong ambruk yang memperlemah ketahanan politik dan
kemandirian ekonomi nasional. Itulah sebabnya korupsi
menjadi titik tergenting persoalan nasional. Korupsi merupakan kanker ganas yang melemahkan ketahanan dan jati diri bangsa. Segala bencana yang menimpa bangsa ini pada akar tunjangnya tertanam budaya
korupsi.
Segala persoalan yang
menimpa bangsa ini tidak lain karena kurangnya komitmen pemimpin. Sabda pandhita ratu menjadi hal yang
disepelekan. Urutan kata tersebut seolah-olah tidak ada maknanya. Hal ikhwal mulai luntur
dan terkikisnya rasa memiliki dan menyelamatkan bangsa ini daripada sekedar
mencapai kekuasaan sebenarnya dapat dilihat dari mulai runtuhnya kepercayaan
masyarakat terhadap orde baru. Pelaku bangsa ini telah terjatuh dan terjebak
dalam suatu zaman, yaitu zaman edan.
Krishna (1999:1) menyebutkan bahwa zaman edan adalah sebuah era yang menurut
pujangga besar R.Ng. Ranggawarsita, merupakan sebuah zaman yang telah mengalami
pergeseran kultural besar-besaran. Pada era ini orang akan berebut kekuasaan,
tega mengorbankan kepentingan orang banyak, bahkan membunuh orang lain menjadi
hal yang dapat dikatakan lumrah.
Himpitan
di zaman orde baru, hingga lebih kurang 32 tahun, membawa bangsa ini menderita
trauma berat bahkan dapat dikatakan kronis. Pembatasan-pembatasan serta
pengekangan yang pernah terjadi di zaman itu seolah menyebabkan tekanan
psikologis dalam bagi masyarakat Indonesia. Euvoria kekuasaan pascaorde baru
menjadi hal yang sangat menarik disamping memrihatinkan. Semua orang ingin
berkuasa dengan caranya. Manusia tidak sadar bahwa sebenarnya kekuasaan
bukanlah hal yang permanen. BR Anderson mengatakan bahwa kekuasaan memang dapat
dipupuk terus menerus sampai mencapai puncaknya, tetapi sesudah puncak dicapai,
kekuasaan juga akan menurun dan mulai surut pada perorangan penguasa tersebut. Zaman vivere pericoloso, bukan saja zaman yang nyrempet bahaya, tetapi
sudah merupakan zaman berbahaya. Zaman vivere
pericoloso juga merupakan zaman edan
yang secara lahir atau kasat mata dapat dilihat seolah-olah budaya ewuh pekewuh terpelihara dengan baik
namun sebenarnya hal itu hanyalah kedok semata. Ewuh pekewuh dimaknai berbeda dari yang sebenarnya. Budaya ini
terpelihara di zaman orde baru sampai reformasi, dan bahkan dikatkan oleh
Ananda (1991:95) pejabat kita sarat dengan budaya ewuh pekewuh. Budaya ewuh
pekewuh yang jauh dari makna konteks tersebut sebenarnya telah meracuni
masyarakat Indonesia karena menurut Norma (1998:ix) negara akan kehilangan
wibawa, penguasa kehilangan etika, masyarakat kehilangan pranata dan alam yang
terus melahirkan bencana. Kegagalan ini berdampak pada krisis segala hal yang
berkepanjangan, khususnya krisis budaya dan kepercayaan. Krisis ini sulit
didongkrak dan dikembalikan manakala masih terjadi pertikaian diantara
penyeleggara pemerintahan. Ketika seorang pemimpin sudah mencla mencle ucapannya siapa lagi yang akan bisa dianut? Ini
menjadi sumber carut marutnya bangsa ini, karena pemimpin pun sudah tak lagi
punya komitmen apalagi punya hati untuk duduk sebagai pemimpin sejati.
4. Budaya
Menyenangkan Atasan sebagai Simbol Loyalitas di Zaman Vivere Pericoloso
Pergeseran
makna kepemimpinan serta bentuk loyalitas yang ada di era ini sungguh sangat
mengejutkan. Sikap masyarakat (Jawa) yang senang menyenangkan hati atasan
merupakan hal ikwal yang ke luar dari koridor profesional dan kapabelitas
seseorang. Hampir semua orang meyakini, bahwa loyalitas pada pemimpin adalah
dengan selalu mampu menyenangkan hati atasan, mundhuk-mundhuk, nun inggih
sendika dhawuh, kalau perlu
mengelabuhi kesalahan atasan, maka secara otomatis ia akan diselamatkan. Sistem
feodalistik inilah yang kemudian membunuh karakter bangsa ini. Matinya
‘prestasi’ lambat laun akan terjadi dengan penerapan sistem bahwa bawahan yang
baik dan loyal adalah selalu patuh.
Bawahan harus bisa ngapurancang,
tutup mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih (Suwardi, 2005:43,
meminjam istilah Darmanta Jatman.
Gaya
politik yang demikian pada era ini semakin menjadi-jadi. Ditegaskan oleh
Laswell dan Kaplan (Budihardjo, 1986:9) bahwa kekuasaan adalah sebagai
kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku pelaku terkahir menjadi sesuai dengan keinginan dari
pelaku yang mempunyai kekuasaan. Konsep ini sesuai dengan pernyataan Person yang
dikutip oleh Budihardjo (1986:18) yang cenderung melihat kekuasaan sebagai
upaya untuk mencapai tujuan kolektif dengan jalan membuat keputusan-keputusan
yang mengikat, yang jika mengalami perlawanan, dapat didukung dengan sanksi
negatif. Apa yang diungkapkan oleh Parson ini cenderung melihat kekuasaan
sebagai wewenang (outhority) yaitu
keinginan mencapai tujuan yang terkesan ada paksaan. Hal ini mengandung
pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaannya seorang pemimpin di era ini
kebanyakan tidak lagi berdasar pada logika bahkan tidak sedikit yang berupaya
melakukan pembelokan aturan demi tahta yang dan bertahan di kursi basahnya.
Hal
semacam demikian tentu sangat ironis dengan gerakan Indonesia berkarakter
melalui dengungan pendidikan karakter. Bagaimana generasi Indonesia akan
berkarakter ketika orang-orang yang melingkupi hidup mereka saat ini jauh dari
karakter. Generasi bangsa saat ini lebih banyak disuguhkan bermacam-macam
polemik dan carut marutnya keadaan bangsa yang semakin menua dan tiada terasa
benar-benar dalam posisi yang “berbahaya”. Pembelokan aturan, kolusi, korupsi,
nepotisme yang kian subur bahkan cara-cara anarkis yang dilakukan oleh
sekelompok orang dalam rangka mencapai legitimasi kekuasaan, telah menjadikan
negara ini lebih bobrok.
Sebagai
orang Jawa perlu kiranya mengembalikan ajaran falsafah Jawa pada koridor yang
sebenarnya. Ajaran adiluhung itu tabu kiranya bila kemudian dibuat
plesetan-plesetan. Pemimpin harus kembali menyadari bahwa apa yang dikatakannya
adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh rakyat yang dipimpinnya. Terkait pro dan
kontra dengan apa yang diputuskan tentu mengandung konsekuensi logis. Yang
terpenting di sini adalah bahwa seorang pemimpin harus konsisten dengan apa
yang diucapkannya, konsisten dengan keputusannya, tidak mencla-mencle hanya demi memertahankan egonya, kekuasaannya dan semata-mata
prestise saja. Hal ini tentu akan menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Rakyat tidak perlu mundhuk-mundhuk untuk
mendapatkan jabatan, tetapi dengan konsep kepemimpinan yang jelas, yang lahir
adalah orang-orang yang pas dan sesuai dengan kemampuannya yang akan
didelegasikan untuk menjadi pendampingnya. Dengan demikian, budaya penempatan
seseorang dengan berpijak pada like
and dislike akan terkikis dari bumi
Indonesia.
Zaman
ini membutuhkan karakter pemimpin yang kuat. Bukan sekedar pemimpin yang dengan
mudah dibelokkan arah, dipengaruhi, bahkan dengan mudah melakukan justifikasi
tanpa klarifikasi dengan berpijak pada suka dan tidak suka. Sangat banyak
fenomena demikian ditemui di zaman ini. Demokrasi di negeri ini harus segera
diperbaiki dan dikembalikan pada roh yang sebenarnya yaitu kejatian Pancasila. Pemimpin ada
saatnya akan menjadi rakyat biasa, dan sebaliknya suatu saat rakyat biasa akan
memimpin. Roda yang terus berputar ini, memungkinkan semua orang untuk menjadi
pemimpin dalam hal apa pun. Jangan sampai luka lama ketika seseorang menjadi
rakyat membuatnya menjadi lupa diri dan mendewakan kekuasaan ketika orang
tersebut duduk sebagai pemimpin. Prinsipnya tidak ada yang abadi di dunia ini,
sehingga hakikat Tuhan sebagai pemilik segalanya harus benar-benar ditakuti
karena tanpa nafas yang diberikannya manusia tidak berarti apa-apa.
5.
Penutup
Sabda pandhita ratu sebagai salah satu bentuk falsfah Jawa perlu
kiranya dikembalikan pada rohnya. Sebagai bentuk ajaran pendidikan karakter
bagi generasi yang akan datang tentu seorang pemimpin harus mengerti
kejatiannya sebagai pemimpin. Kredibilitas pemimpin itu faktor yang sangat penting, sehingga jika
ia mengeluarkan statemen, rakyat
tidak akan meragukannya. Kredibilitas pemimpin yang berkarakter tentu juga
tidak mencla-mencle, esuk tempe sore dhele, dan sering kali
berganti-ganti keputusan. Jika ada tokoh yang mengeluarkan pernyataan
atau mengajak umat untuk melakukan sesuatu, tapi banyak penolakan, pertanda
sang figur masih belum dipercaya. Kredibilitasnya masih dipertanyakan.
Di samping kredibel di mata umat, pemimpin
yang kita maksud harus kapabel, yakni mampu, sanggup, cakap, pandai. Dia adalah
sosok yang memiliki kemampuan dalam memimpin, menjadi problem solver,
cakap dan cerdas dalam memecahkan masalah bagi rakyat (umat)nya.
Di zaman vivere
pericoloso ini, seorang pemimpin sekadar memiliki kredibilitas dan kapabilitas, tak cukup.
Keduanya tak punya arti apa-apa, kalau tak didukung dan diterima banyak pihak.
Karenanya, seorang pemimpin harus akseptabel, yakni diterima banyak kalangan. Akseptabilitas pemimpin
itu sangat bergantung pada kredibilitas dan kapabilitasnya. Dalam arti, akseptabilitas dengan sendirinya didapat, jika kredibilitas dan kapabilitas
dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Ananda, Mutataqin Tri,
Mc.1991”Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan”. Resensi Buku Buku
dalam Buletin Antropologi, Th.VII.Yogyakarta:Keluarga
Mahasiswa Antropologi UGM.
Anderson,
Benedict,R.OG.1986.”Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa” dalam
Miriam Budiharjo(ed) Aneka Pemikiran
Tentang Kuasa dan Wibawa.Jakarta: Sinar Harapan.
Budihardjo,
Miriam(ed).1986.”Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan” dalam Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa.Jakarta:
Sinar Harapan.
Latif,Yudi.2013.”Tahun
Vivere Pericoloso” dalam
serbasejarah.wordpress.com/2009/12/08/tahun-vivere-pericoloso. Diunduh 1 April
2013 pukul 09.13.
Mulyana (ed).2005.
“Pulung: Antara Legitimasi Kekuasaan dan Penyimpangan Demokrasi dalam Kultur
Politik Jawa” dalam Demokrasi dalam
Budaya Lokal.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Norma, Ahmad.1998.Zaman Edan. Yogyakarta: Benteng.
Sudjarwadi I.C.1991.”bahasa Jawa dalam Pedukunan”, dalam
Prosiding KBJ I. Semarang : Harapan
Massa.
Wahjono,
Parwatri.2005.”Ungkapan-ungkapan dan Ajaran Jawa: Kearifan dalam
Berdemokrasi”.dalam Mulyana(ed).Demokrasi
dalam Budaya Lokal.Yogyakarta: Tiara Wacana.
www.id.wikipedia.org/wiki/vivere_pericoloso.2013.”Idealisme Keberanian Pemimpin Muda” .1 April.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar