ABSTRAK
BAHASA, SASTRA, DAN BUDAYA JAWA SERTA PERANANNYA SEBAGAI SUMBER
KEARIFAN KEHIDUPAN KELUARGA YANG
MERUPAKAN DAYA DUKUNG PEMBENTUKAN PEKERTI BANGSA
Sri Pamungkas,S.S.,
M.Hum.
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP PGRI Pacitan)
Bahasa dan sastra merupakan sarana untuk menyampaikan budaya dan keyakinan
budaya dari anggota masyarakat yang satu kepada anggota masyarakat yang lain
serta untuk mewariskannya dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Bahasa
sebagai alat primer dalam kehidupan manusia untuk berkomunikasi, berinteraksi
dan mengembangkan diri, mengungkapkan perasaan, mempelajari ilmu pengetahuan
dan lain sebaginya. Sedangkan, sastra merupakan potret kehidupan yang diangkat
pengarang dalam dunia imajinasi dan dengan kreativitasnya mampu disuguhkan
layaknya realitas kehidupan. Sastra lahir bukan atas kekosongan jiwa. Ada makna
tersurat dan tersirat yang perlu diilhami serta dipetik yang tentu saja sangat
bermanfaat untuk proses kehidupan manusia.
Krama inggil merupakan bentuk tataran tertinggi dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa ragam krama inggil digunakan oleh orang yang
usianya lebih muda ke orang yang lebih tua, atau digunakan kepada seseorang
yang sangat dihormati atau kedudukannya lebih tinggi.
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa ragam ini sudah mulai terkikis pada
genarasi sekarang. Padahal banyak nilai manfaat yang dipetik ketika sebuah
keluarga menerapkan pola komunikasi dan sekaligus menerapkan pola tingkah laku
kepada anak-anaknya dengan menggunakan tradisi Jawa.
Menyikapi angka perceraian yang sangat tinggi, semakin prihatinnya kita
terhadap kondisi generasi kita sekarang ini dengan sangat sedikit mengetahui
adab sopan santun, bertingkah laku, berbicara dengan orang yang lebih tua,
bahkan sebagian besar generasi kita seringkali memaknai adat Jawa dengan “tidak
gaul”. Disadari atau tidak penerapan bahasa, sastra, dan budaya Jawa di dalam
kehidupan rumah tangga akan memberikan daya dukung luar biasa terhadap
keharmonisan rumah tangga. Anak pun juga akan menirukan apa yang dilakukan
orang tuanya. Kita bisa memberikan sedikit analisis bahwa ketika komunikasi
yang dibangun antara suami istri menggunakan krama inggil, tentu hal ini akan meminimkan tingkat
kekurangharmonisan (pertengkaran) dalam kehidupan rumah tangga seperti
pertengkaran yang menggunakan kata-kata jorok berupa pisuhan, seperti matamu
‘mata kamu’, ndhasmu ‘kepalamu’ yang
dalam konteks bahasa Jawa hal tersebut sangat kasar. Namun, ketika bahasa Jawa
utamanya krama inggil diterapkan dalam
kehidupan rumah tangga, maka yang terjadi konteks matamu mau tidak mau harus diganti dengan soca panjenengen ‘mata kamu, matamu’, dan ndhasmu ‘kepalamu, kepala kamu’ menjadi mustaka panjenengan. Berdasarkan contoh tersebut, yang terjadi
adalah kelucuan, karena bentuk seperti itu tidak pernah didengar ketika adu
pendapat. Dengan demikian yang terjadi keharmonisan bukan pertengkaran. Selain
itu, penerapan bahasa Jawa ragam krama
inggil dalam kehidupan rumah tangga tentu akan diiringi dengan penerapan
budaya Jawa seperti membungkuk ketika berjalan di depan orang yang lebih tua,
memberikan sesuatu dengan menggunakan tangan kanan, dan lain sebaginya. Pola
tingkah laku yang diterapkan di dalam rumah tangga tentu akan menjadi teladan
bagi anak-anaknya.
Kata Kunci :
Bahasa, Sastra dan Kearifan Kehidupan Keluarga.
A.Pendahuluan
Kearifan kehidupan keluarga merupakan pilar pendidikan
pertama yang diterima seorang anak dalam proses hidup mereka. Artinya,
karakater anak yang pertama kali akan terbentuk dalam sebuah lingkungan
keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, anggota keluarga yang lain sebelum
kemudian melibatkan orang-orang di sekitarnya. Hal in mengandung pengertian
bahwa pola kehidupan yang dibentuk oleh sebuah keluarga akan dapat mempengaruhi
karkater anak.
Daya dukung kearifan kehidupan keluarga dirasakan sangat
besar dalam pembangunan negara dan bangsa Indonesia sebagai ‘proses budaya’,
mengingat mulai munculnya bias-bias yang terjadi saat ini, seperti
bentuk-bantuk tayangan di media cetak maupun elektronik tentu dibutuhkan energi
lebih dengan mempersiapkan senjata berupa totalitas dan pendayagunaan seluruh
potensi budaya. Oleh karena itu diperlukan reorientasi dalam pendekatan dan
strateginya. Prioritas pembangunan ekonomi saat ini perlu diimbangi dengan
pembangunan bidang sosial budaya. Oleh karenanya,pembangunan ekonomi perlu
diiringi dengan pembangunan sumber daa manusia yang berlandaskan pada human resources base, serta lebih
diprioritaskan pembangunan watak dan karakter.
Bahasa, sastra, dan budaya Jawa sangat luar biasa menarik
perhatian para peneliti baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini terbukti
dengan tidak pernah selesainya kajian terhadap bahasa, sastra dan budaya Jawa.
Kekayaan bahasa, sastra, dan budaya Jawa sangat unik sehingga memiliki daya
magis dan menggelitik untuk dillakukan kajian secara terus menerus (Benedict R
OG Anderson, 1965).
Kekayaan bahasa, sastra dan budaya Jawa dapat dilihat
dari adanya bentuk-bentuk aneka warna ngelmu
Jawa seperti: filsafat Jawa, setika
Jawa, kebatinan (kejawen), ngelmu kasampurnan, sangkan paraning dumadi,
kawaskithan, pawukon, wawangunan, dan masih banyak lagi yang lain. Wulangan Jawa berupa simbol juga
terdapat dalam tradisi (Harjono, 1965), adat istiadat, upacara (ritus, ritual),
pewayangan dan pedalangan, ungakapan-ungkapan tradisional dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, nilai-nilai budaya
Jawa akan dapat digali dan diidentifikasi sumbangannya dalam pembangunan
karakter bangsa. Oleh karena itu perlu dilakukan reinterpretasi, readaptasi,
dan reakonstekstualisasi, yang sangat berbeda bila dikaitkan dengan wacana
kekinian (Saliman).
B. Membentuk
Karakter Anak
Setiap
anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci dan dapat dipastikan bahwa
mereka dapat berkembang secara optimal. Anak-anak akan menjadi pribadi berkarakter apabila tumbuh
dalam keluarga yang berkarakter pula.
Ada tiga
hal yang berlangsung secara secara terus menerus, pertama, anak mengerti baik
dan buruk, mengerti tindakan yang harus diambil, mampu memberikan prioritas
yang baik. Kedua, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci
perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semngat untuk berbuat kebajikan. Misalnya,
anak tak mau berbohong, karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya
karena ia tahu bahwa hal tersebut tidak baik. Ketiga, anak mampu melakukan
kebajikan, dan terbiasa melakukannya (Saliman).
Ratna
(2003) menyampaikan bahwa seorang anak pada usia di bawah tujuh tahun merupakan
saat yang tepat untuk dilakukan pendidikan karakter. Pada usia ini menurut
Ratna sangat tepat dalam pembentukan watak, akhlak atau karkater bangsa (nasion and character building). Pada
usia tersebut, perlu ditanamkan sembilan pilar karakter yang penting, yaitu: (1)
cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, kedisiplinan,
dan kemandirian; (3) kejujuran; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang; (6)
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan
kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; (9) toleransi, cinta damai, dan
persatuan.
Seorang
anak yang lahir ke dunia ini ibarat sehelai kertas putih. Tinta serta goresan
apa yang nantinya akan terlihat tergantung pada orang tua (keluarga), sekolah
dan masyarakat. Hal mendasar yang sangat perlu diperhatikan adalah bagaimna
seorang anak dipersiapkan tumbuh dalam keluarganya dengan karakter yang baik.
Proses awal kehidupan seorang anak mulai ia dalam kandungan, lahir ke dunia
sampai dengan usia lima tahun adalah masih dalam usia kehidupan pendidikan
keluarga. Oleh karenanya, anak yang harus dikenalkan sejak dini (sebelum usia
tujuh tahun) tentang 56 sifat-sifat budi pekerti seperti disampaikan oleh
Sedyawati, dkk (1999), yaitu: bekerja keras, berani memikul resiko,
berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang, berpikir
jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bersyukur,
bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis,
efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri,
mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai
waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah
tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya
diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sikap adil, sikap hormat,
sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat
janji, terbuka dan ulet.
C.Membentuk
Karakater Anak dalam Keluarga Berdasarkan Teori Masaru Emoto
Seorang
anak yang lahir ke dunia ibarat selembar kertas putih tanpa goresan tinta.
Kertas tersebut pada akhirnya akan berbentuk apa, berwarna apa, atau berubah
menjadi apa tentu hal tersebut menjadi tanggung jawab dan bahkan dapat
dikatakan fondasinya berasal dari kehidupan keluarga.
Proses
kehidupan manusia, diakui atau tidak adalah akibat pertemuan sel telur dengan
sperma. Sperma yang diteteskan oleh ayah adalah berbentuk cair. Calon manusia tersebut kemudian
tumbuh dalam rahim seorang ibu dengan sangat bergantung pada air ketuban.
Seorang calon manusia akan sangat tergantung hidupnya pada kualitas air ketuban
karena oksigen dan asupan makanan semua berlangsung dalam air ketuban itu.
Artinya, proses kehidupan kita dalam kandungan ibu 90% tergantung pada air.
Masaru Emoto, seorang
peneliti berkebangsaan China pernah melakukan kajian terhadap beberapa cawan
air. Ia membagi air ke dalam cawan-cawan. Lima cawan disendirikan dari cawan
yang lain. Kelompok lima cawan yang satu setiap hari diberi energi positif, disapa
dengan kata-kata indah dan bahasa yang menyejukkan. Sedangkan, lima cawan yang
lain diberikan energi negatif, misalnya dengan umpatan, bahasa yang kasar, dan
bahasa-bahasa yang biasanya digunakan untuk mengekspresikan kemarahan
seseorang. Proses tersebut dilakukan selama beberapa waktu dan
setelah cawan-cawan itu masing-masing diberi energi, terbukti pada waktu yang
telah ditentukan ketika cawan-cawan tersebut diteliti kristal yang terbentuk
sangat berbeda. Cawan yang diberikan energi negatif membentuk kristal yang
wujudnya sangat mengerikan, bahkan ada berbentuk layaknya gambar makhluk halus
yang biasa diimajinasikan dengan gambar atau wujud yang mengerikan. Sedangkan,
cawan yang diberikan energi positif, membentuk kristal yang sangat indah.
Berdasarkan
hasil eksperimen dan analisis yang dilakukan oleh Masaru Emoto, dapat
digarisbawahi bahwa bahasa melalui kata-kata memberikan efek luar biasa dalam
pembentukan kristal. Artinya, apabila ini kita integralkan terhadap proses
hidup manusia, kehidupan manusia hingga akhirnya mati tentu sangat luar biasa.
Awal terbentuknya manusia merupakan hasil pertemuan antara sperma dan sel
telur. Sperma berbentuk cair. Tatkala calon manusia tumbuh dalam rahim seorang
ibu ia akan sangat terantung dalam air ketuban ibu, sebagai sumber oksigen dan
asupan makanan. Diakui atau tidak ketergantungan manusia terhadap air selama
masih dalam kandungan adalah kurang lebih 90%. Sedangkan, ketika manusia mulai
melakukan proses kehidupan di dunia, ketergantungan pada air sangat luar biasa,
bahkan sampai dengan manusia mati kandungan air dalam tubuh kita adalah 70%.
Totalitas jumlah air yang mendominasi dalam proses kehidupan manusia hingga
kemudian manusia harus berpulang ke rumah Illahi, memberikan sebuah wacana pada
kita bahwa kita jangan pernah memberikan energi negatif pada tubuh kita, anak-anak
kita, bahkan orang-orang di sekitar kita. Kita harus selalu memberikan energi
positif terhadap tubuh kita agar kristal yang terjadi adalah merefleksikan
kualitas manusia Indonesia yang berbudi pekerti.
Seorang
anak yang sejak dalam kandungan diberikan energi positif, selalu didambakan kelahirannya,
dialiri doa-doa positif, diberikan asupan gizi, dan rasa kasih sayang dari
kedua orang tua maka yang akan lahir adalah generasi yang dalam pertumbuhannya
akan lebih optimal. Komunikasi yang intensif dilakukan mulai seorang anak dalam
kandungan tentu akan memberikan ikatan batin dan efek luar biasa dalam
pembentukan pribadi anak.
Seorang
anak yang mulai berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang harmonis,
dengan selalu menggunakan kata-kata atau bahasa santun tentu anak akan tumbuh
menjadi pribadi yang lebih mapan dan berkualitas. Oleh karena itu, jangan
sekali-kali kita memberikan energi negatif kepada anak-anak kita kalau kita
merindukan sosok generasi berkualitas dalam kehidupan bangsa ini.
D. Memaknai Bahasa,
Sastra, dan Budaya Jawa untuk Pembentukan Karkater Anak dalam Keluarga
Sosok orang tua (ayah dan
ibu) dalam keluarga merupakan sosok yang paling dekat dengan anak-anak. Setiap
hari bahkan setiap saat mereka akan berinterkasi. Orang tua di mata anak
merupakan sosok pengayom, penyayang, dan akan selalu memberikan segala sesuatu
yang dimaui anak. Namun, kadang anak-anak juga harus menemui kenyataan pahit,
karena kadang sosok yang didambakannya tak seperti dalam dongeng.
Terlepas
dari hal itu semua, dalam makalah ini akan fokus dibicarakan bagaimana orang
tua menjadi sosok dan pemasok penting dalam pertumbuhan karakter anak. Seperti
kita ketahui bersama, bahasa tidak serta dimiliki anak sebagai bentuk genetis
(keturunan) tetapi adalah melalui proses pembelajaran. Artinya, tanpa proses
pembelajaran seorang anak tidak mengerti mana bahasa yang pantas dipergunakan
dan tidak, bahasa yang santun dan tidak dan lain-lain. Oleh karena awal
kehidupan seorang anak adalah dalam kehidupan keluarga maka pilar utama dalam
hal ini adalah bagiamana orang tua melakukan transfer bahasa, sastra dan budaya
kepada anak-anak secara arif dan bijaksana.
Setiap
manusia yang lahir ke dunia ini telah diberikan piranti oleh Tuhan untuk mampu
berbahasa. Piranti tersebut adalah LAD (Language
Aquisition Device) yang terdapat dalam struktur otak manusia. Dalam
perkembangan kemampuan bahasanya, seorang anak melalui tahap-tahap pemerolehan
bahasa, yaitu babling stage
(pengocehan), holoprastic stage (tahap
satu kata satu frasa), tahap dua kata satu frasa, dan tahap menyerupai bahasa
telegram.
Pada
tahap-tahap tersebut perlu adanya daya dukung yang luar biasa dari orang tua.
Tahap-tahap tersebut menurut Sri Utari Subyakto Nababan, terjadi sampai dengan
usia dua tahun. Artinya, hal tersebut sangat sejalan dengan teori Ratna di atas
yang menyebutkan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dan sangat bagus
dilakukan pada usia anak sebelum tujuh tahun.
Peradaban
sebuah bangsa dapat diukur dari kemampuan warganya bertindak sesuai dengan
aturan main (norma, etika) yang telah disepakati bersama. Etika dalam
masyarakat Jawa sering disebut sebagai unggah-ungguh,
suba sita, tata susila, tata krama, sopan santun, budi pekerti, wulang wuru,
pitutur, wejangan, wulangan, duga prayoga, wewelar, dan lain-lain. Orang
Jawa akan dikatakan berhasil hidupnya apabila dalam bermasyarakat dapat
menerapkan empan papan ‘berbicara
sesuai situasi dan kondisi’.
Keunikan
kultur Jawa, baik bahasa, sastra, maupun pada budayanya adalah diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya, melalui proses
pemberdayaan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat secara terus menerus,
dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dilakukan misalnya dengan pemberian pengetahuan,
pemahaman, praktik langsung, keteladanan, sampai dengan penyampaian melalui
lagu (ura-ura), atau dongeng sebelum
tidur.
Cara Pembentukan Karakter Anak dengan Kekuatan Bahasa dan
Sastra Jawa
- Pembiasaan
Penggunaan Bahasa Jawa Ragam Krama dalam Lingkungan Keluarga
Pudarnya bahasa Jawa utamanya ragam krama inggil dalam
kehidupan keluarga adalah menjadi tugas berat kita bersama. Pengamatan yang sempat penulis
lakukan terhadap keluarga yang menerapkan basa
krama dalam kehidupan keluarga ternyata sangat minim konflik. Pembiasaan
yang dilakukan pasangan suami-istri dengan menggunakan kata ganti penyebutan
nama dengan panjengan ternyata mampu
membangun efek luar biasa dalam memberikan pendidikan dan contoh kepada
anak-anak. Serta merta seorang anak yang setiap hari melihat dan mendengar penyampaian
serta bagaimana bentuk tersebut digunakan ternyata tidak disangka-sangka ketika
berbicara dengan orang lain juga menggunakan kata ganti tersebut.
Contoh orang tua terhadap anak dalam kehidupan keluarga
menjadi hal yang penting. Anak-anak juga akan meniru pola tingkah laku orang
tua dalam rumah, misalnya saat seorang ibu berjalan membungkuk di depan
mertuanya (nenek anak kita), berbicara dengan santun, menggunakan diksi
(pilihan kata) krama inggil ketika
berbicara dengan orang yang lebih tua, misalnya : menyebut kepala dengan mustaka, rambut rekma, irung grana,
tangan asta, kaki ampean, perut padharan, dan lain-lain. Pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua
dalam kehidupan sehari-hari akan lebih mudah dicerna anak daripada anak harus
dikursuskan. Anak-anak akan terbiasa dengan pola diksi yang mungkin pada
awalnya berbeda dengan pergaulan mereka di sekolah atau di lingkungannya.
Namun, anak akan menjadi terbiasa dengan pola tersebut ketika orang tua secara
terus menerus dan tanpa kenal lelah memperkenalkan hal tersebut sebagai sebuah
cara untuk membangun karkater anak sehingga anak akan tumbuh menjadi
orang-orang berkualitas.
Oleh
karena itu, berperilaku yang baik termasuk berperilaku terkait dengan perilaku
bahasa amat penting bagi pertumbuhan sikap anak selanjutnya. Anak akan terbiasa
menghormati orang tua atau orang yang lebih tua, misalnya : berjalan sedikit
membungkuk sambil mengucapkan nuwun sewu
(permisi) atau ndherek langkung
(numpang lewat) apabila berjalan di depan orang tua atau orang yang lebih tua.
- Kembali
pada Metode Klasik “Dongeng Sebelum Tidur”
Diakui atau tidak karya sastra memegang peran yang juga
penting dalam pembangunan karakter anak. Genre sastra yang terdiri atas cerpen,
novel, puisi, drama, dan lain-lain itu mampu memberikan inspirasi dan daya
dukung hebat dalam pembentukan karkater asal kita sebagai orang tua juga mampu
dan mengerti bagimana penerapannya. Selain itu, sastra yang mempunyai sifat utile at dulce ‘bermanfaat dan
menyenangkan’ akan dapat membangun jati diri seorang anak.
Sastra sebagai sebuah karya imajinasi, tidak semata-mata
lahir atas daya khayal pengarang. Diakui atau tidak seorang pengarang adalah
anggota masyarakat yang dalam pola kehidupannya sehari-hari tentu berinteraksi
dengan orang lain yang mungkin berbeda sosial budaya, adat istiadat, agama,
pendidikan, politik, dan lain-lain sehingga pengarang berusaha mengangkat sisi
menarik perbedaan itu dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra merupakan
potret kehidupan yang dicoba diangkat oleh pengarang dengan gaya penyajian yang
indah.
Sastra berdasarkan cara penyampaiannya dapat berbentuk
lisan dan tulisan. Sastra tulis dengan mudah dibaca para generasi bangsa dengan
membeli atau meminjam di perpustakaan. Tentu syarat utamanya adalah mampu
membaca. Berbeda dengan sastra lisan, yang biasanya disampaikan dari mulut ke
mulut. Sastra lisan pada zaman dulu diberikan orang tua sebagai dongeng
pengantar tidur. Namun, pada saat ini orang tua sudah mulai enggan melakukannya
karena dianggap membuang-buang waktu dan mereka lebih memilih mengandalkan
media elektronik dengan rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk dapat
memeblikan anaknya game sehingga mereka tidak berinteraksi dengan teman-teman
sebanyanya, tetapi bersahabat dengan game.
Diakui atau tidak pembentukan karakter anak yang
cenderung tertutup (introvert) adalah
kita sendiri penciptanya. Orang tua kadang trelalu egois untuk berbagi waktu
dengan putra putrinya, dan lebih mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada
game. Padahal, apabila upaya orang tua zaman dulu, dengan tetap mampu membagu
waktu walaupun sangat sibuk, dengan tetap menyempatkan diri menyampaikan
dongeng sebelum tidur kepada putra putrinya, utamanya di usia sebelum tujuh
tahun, pasti akan mempunyai manfaat yang luar biasa. Anak-anak tentu akan
menunggu-nunggu kehadiran orang tua di rumah. Saat ini tidak banyak orang tua
yang ketika pulang dari tempat kerja mendapat sambutan hangat dari anak-anak mereka. Anak-anak cenderung cuek dan tidak perduli karena
mereka sudah asyik dengan dunia game. Dengan
kembali kepada kebiasaan zaman dulu, yaitu mendongeng sebelum tidur, tentu anak
akan dibuat penasaran dengan “ibu/ayah saya hari ini akan bercerita apa ya”.
Selain muatan nilai dalam karya sastra yang akan dapat membangun jati diri
anak, tentu kedekatan antara orang tua dan anak akan semakin berkualitas.
Sastra lahir bukan atas kekosongan jiwa. Sastra lahir
sebagai penggabungan realitas sosial dan daya imajinasi pengarang. Sastra
menyajikan alur kehidupan yang diyakini mirip dengan alur kehidupan manusia
pada dunia nyata. Artinya, dengan membiasakan diri dengan membaca karya sastra
maka anak akan terbiasa mengenal konflik, cara penyelesaiannya, mengenal alur
kehidupan melalui cerita, sehingga seorang anak pun juga akan terbiasa nantinya
menyelesaikan pemasalahan dengan arif dan bijaksana. Selain itu, amanat atau
pesan dalam sastra tentu akan menjadi teladan bagi
anak-anak dan pada akhirnya ia akan paham mana yang baik dan buruk, mana yang
boleh dan tidak boleh serta lain-lain.
- Kembali
pada Cara Klasik dengan “Ura-Ura” (Nyanyian
Sebelum Tidur)
Ura-ura adalah bernyanyi gending Jawa sebelum anak-anak tidur
atau ketika seorang anak rewel dan tidak mau tidur. Ura-ura biasanya dilakukan
dengan memeluk anak dalam gendhongan atau memeluk anak di tempat tidur dengan
mengelus bagian jidat. Anak tanpa sadar
akan tidur pulas dan tidak rewel lagi.
Tak
lelo lelo lelo ledhung. Cep meneng ojo pijer nangis. Anakku sing ayu/bagus
rupane. Yen nangis ndhak ilang ayune/baguse. Tak gadhang bisa urip mulyo. Dadio
wanita/pria utama. Ngluhurke asmane wong tua. Dadio pendhekare bangsa.
Petikan tembang yang biasane dipakai untuk ura-ura atau nyanyian sebelum
Tidur seperti dia atas pada zaman dulu masih sering kita
dengar. Namun, saat sekarang ini sangat jarang orang tua yang masih mampu
melagukannya. Rentetan diksi (pllihan kata) pada diksi tersebut mengandung
energi positif yang luar biasa. Hal ini terbukti, bahwa tidak ada orang tua
yang tidak bangga kepada anak-anaknya. Semua anak yang lahir atas buah cinta
kasih dan dikirim Tuhan ke dunia adalah anak-anak berparas sempurna. Mereka
adalah anak-anak yang cantik dan tampan. Anak-anak yang cantik dan tampan
jangan sampai menangis karena kalau menangis kecantikan dan ketampanannya akan
hilang. Orang tua memberikan doa (energi posistif) agar kelak anaknya menjadi
pria atau wanita utama yang mampu di depan yang mampu membawa nama baik orang
tuadan menjadi orang yang berguna bagi usa dan bangsa. Sungguh sangat hebat
kekuatan makna yang terkandung dalam petikan ura-ura di atas. Bila orang tua menyempatkan waktu untuk mau
melakukan hal tersebut juga didukung dengan totalitas rasa kasih sayang, tentu
kedekatan (hubungan batin) antara orang tua dengan anak akan semakin
berkualitas sehingga anak-anak akan mengidolakan orang tuanya sebagai sosok
yang patut ditiru sehingga suatu saat ia akan berucap, berperilaku dan juga
memperlakukan orang lain seperti layaknya orang tua mereka yang menjadi teladan dalam
hidupnya.
Pada dewasa ini seringkali upaya
para peduli pendidikan tidak diimbangi oleh bagian masyarakat yang lain. hal
yang sangat nyata juga terjadi negara kita ini. Pendidikan karakter sedang
dibumikan, namun di sisi lain ada beberapa musisi yang tidak peka, tetapi
justru menciptakan lagu-lagu yang tidak mendidik. Petikan lagu “sudah tiga
bulan ku hamil duluan” secara etika Jawa urutan diksi tersebut sama sekali
tidak medidik. Anak-anak TK sampai dengan remaja semua mengetahui dan sangat
mudah mengaksesnya karena derasnya arus komunikasi melalui berbagai media.
Tersirat makna dari potongan syair lagu tersebut bahwa apa yang digambarkan
adalah perbuatan yang tidak terpuji, namun anak-anak yang bahkan sebenarnya
tidak tahu maknanya ikut menyanyi. Hal yang menjadi kekhawatiran adalah ketika
syair-syair seperti itu sudah biasa didengar dikawatirkan akan mudah
melakukannya juga. Hal ini benar-benar sangat memprihatinkan. Oleh karena itu
pendidikan karakter di dalam keluarga benar-benar menjadi pondasi penting dalam
pembangunan kepribadian dan mental anak pada tahap dan tempat selanjutnya.
- Mengajarkan
Budaya Jawa pada Anak dalam Rumah Tangga
Seorang anak seperti dikemukakan dalam pembahasan di atas
pada awal kehidupannya adalah mengenal bahasa, sastra, dan budayanya dari orang
tua. Oleh karena itu, tidak salah kiranya apabila orang tua mengajarkan hal-hal
yang menurut orang Jawa ora ilok/ora
elok.
Kata-kata ora ilok
penulis petik dari tulisan Saliman, yang disebutnya sebagai hal-hal yang berisi
nasihat orang tua kepada anak-anaknya atau yang lebih muda seolah-olah kalau
dikerjakan sudah setengah dosa atau masih dalam tahapan kualat, dan bahkan ada
kepercayaan bahwa ketika seseorang sudah terlanjur melakukan maka perlu
diruwat.
Beberapa perbuatan ora ilok beserta
hikmahnya antara lain:
a. tidak makan dan tidur di depan pintu, karena akan
menganggu orang yang akan ke luar atau masuk rumah
b. tidak menyapu di malam hari, karena pada malam hari
biasanya cenderung lebih gelap.
c. tidak memotong kuku di malam hari, karena pada malam
hari biasanya pandangan seseorang tidak seterang pada waktu siang hari. Sehingga
dikawatirkan kuku yang dipotong akan terlalu pendek hingga membuat sakit
dijari-jari.
d. anak kecil tidak boleh ke luar setelah jam enam sore,
karena udara malam tidak baik untuk kesehatan anak-anak.
e. anak kecil tidak boleh makan brutu, karena brutu
banyak mengandung lemak, lunak, tidak bertulang sehingga tidak banyak serat
yang menyebabkan sulit dicerna.
f. tidak boleh makan dengan piring disangga, karena
apabila keseimbangan berkurang maka makanan bisa tumpah dan piring bisa pecah.
Oleh karenanya dianjurkan untuk makan sebaiknya dipegang atau diletakkan di
meja makan.
g. pintu dan jendela harus ditutup pada saat matahari
terbenam, karena pada transisi siang dan malam dimungkinkan hewan-hewan akan
masuk ke dalam rumah dan kemungkinan bisa amendatangkan penyakit.
h. tidak boleh bertopang dagu karena biasanya akan
membuat pikiran kosong, melamun, malas dan membuang-buang waktu.
i. tidak boleh siso
atau bersiul sembarangan karena akan menganggu ketenangan orang lain. Siso
dapat memberikan makna yang bermacam-macam sehingga orang yang sering siso
dianggap tidak sopan karena siso biasanya tidak perduli dengan orang
disekitarnya dengan demikian orang tersebut dianggap sombong.
j. tidak diperbolehkan duduk di atas bantal karena bantal
fungsinya adalah tempat kepala ketika kita sedang tidur yang hal ini tentu
sangat tidak sopan dan secara etika tidak pas
Beberapa ajaran budaya Jawa di
atas diakui atau tidak sangat penting peranannya dalam kehidupan keluarga
maupun masyarakat. Apabila hal tersebut diterapkan dengan sungguh-sungguh maka
yang terjadi adalah saling menghormati antara yang satu dengan yang lain, rasa
kebersaam akan semakin tinggi dijunjung, sehingga keluarga dan masyarakat yang
ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi akan terwujud.
E.
Penutup
Kearifan kehidupan keluarga sangat berpengaruh dalam
pola pembentukan perilaku anak. Anak-anak yang pada zamannya nanti akan menjadi
generasi penerus bangsa hendaknya diberikan bekal yang “maha luar biasa” dalam
membentengi dirinya dari gelombang dan prahara keidupan yang semakin tidak
menentu.
Proses
budaya yang kita lakukan mulai dalam keluarga sampai dengan pada pembangunan
negara dan bangsa akan terus berlangsung dan tentunya akan mengalami
penyempurnaan dalam dimensi strategi maupun implementasinya. Oleh karenanya
pembangunan karkater bangsa yang dimulai dari sekup yang paling kecil yaitu
keluarga sangatlah penting. Kehidupan keluarga merupakan kehidupan yang paling
dekat dengan anak-anak, setiap saat mereka berinteraksi, mengamati dan tentunya
dalam sekup ini anak-anak mempunyai waktu yang lebih untuk menimba segala hal
yang nantinya sangat penting bagi kehidupannya.
Berdasarkan
keterangan tersebut di atas maka yang dilakukan adalah dengan memberikan ruang
kepada anak untuk menemukan jati dirinya. Seorang anak yang mempunyai keseimbangan
kecerdasan IQ, EQ, dan SQ tentu tidak
lepas peran dari para orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus selalu
memberikan energi positif dengan banyak memberika pujian, mendudukan anak
sebagai bagian yanga penting, menjaga kualitas pertemuan dengan kembali pada
metode klasik seperti dongeng sebelum tidur, nyanyian sebelum tidur,
memperkenalkan budaya Jawa dengan contoh-contoh real dalam kehidupan rumah
tangga. Contoh yang dibangun antara kedua orang tua mempunyai efek cerdas baik
secara sikap yang luar biasa maupun bahasa komunikasi sehari-hari. Tanpa
disadari anak akan mengamati tata bahasa atau diksi yang dipilih orang tuanya
ketika berbicara dengan suami atau istri, dengan orang yang lebih tua, dengan
teman sebaya dan seterusnya. Selain itu, contoh hebat terkait perilaku orang
tua turut memberikan warna dalam pendidikan karakter dalam rumah tangga. Hal
yang penting juga seperti disebutkan di atas bahwa dengan kebiasaan menggunakan
bahasa-bahasa yang nilai rasanya menghargai orang lain maka anak secara serta
merta akan menirukan apa yang dilakukan orang tuanya. Budaya Jawa juga tidak
kalah penting dalam pembentukan kepribadian anak. Kebiasaan yang dibangun orang
tua dalam rumah tentu mampu memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan
karakter bangsa ini.
Sumber
Rujukan
Anderson, Benedict R.Og., 2003. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Benteng Budaya
Emoto,
Masaru.2006. The True Power of Water.
Diterjemahkan oleh Azam “Hikmah Air dalam Olah Jiwa”. Bandung: MQ
Publishing.
http://sosbud.
kompasiana.com/2011/pepadi-1sumbangan-jawa-untuk-pembangunan-karakter bangsa/
Nababan, Sri
Utari Subyakto.1992. Psikolinguistik
Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman
Kutha.2010. Metodologi Penelitian Kajian
Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saliman. Membangun
Karakter Bangsa Melalui Bahasa Simbolik Jawa.
Sedyawati, Edi,dkk.1999.
Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur.
Jakarta: Balai Pustaka.
Disampaikan dalam Kongres Bahasa Jawa ke V di Surabaya Th. 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar