1. Pendahuluan
Semua orang mempunyai dan
menggunakan bahasa. Berbahasa adalah suatu kegiatan yang kita lakukan selama
kita bangun, bahkan juga kadang-kadang waktu tidur atau mimpi, sehingga kita
menganggap berbahasa itu sebagai sesuatu yang normal, bahkan alamiah seperti
bernapas dan kita tidak memikirkannya. Akan tetapi, bila kita pikirkan kedaan
kita andaikata tidak ada bahasa , dan kita tidak melakukan tindakan berbahasa
, maka barangkali identitas kita sebagai “genus manusia” (homo sapiens) akan
hilang juga. Kiranya tidak terbayangkan ada “kemanusiaa” kita tanpa bahasa,
tanpa berbahasa.
Adanya bahasa membuat kita
menjadi makhluk yang bermasyarakat
atau makhluk sosial. Kemasyarakatan kita tercipta dengan bahasa,
dibina dan dikembangkan dengan bahasa; Lindgrend (dalam Nababan, 1992:1)
menyebutkan bahasa sebagai “perekat masyarakat”; Broom dan Selznik (dalam
Nababan, 1992:1) menyebutnya sebagai “faktor penentu dalam penciptaan
masyarakat manusia”.
Masyarakat Indonesia termasuk
di dalamnya anak-anak Indonesia cenderung sebagai dwibahasawan atau bahkan
mutibahasawan. Hal ini terbukti dengan kemampuan mereka menggunakan bahasa
daerahnya, bahasa nasionalnya, bahkan bahasa-bahasa asing.
Hal tersebut menurut penulis
merupakan suatu cara yang dilakukan oleh manusia agar mereka dapat diterima
di lingkungannya bahkan di lingkungan orang lain yang baru dikenalnya. Dengan
kondisi seperti tersebut, memberikan penjelasan kepada kita bahwa bahasa
sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia tidak dapat berkembang,
berkomunikasi dan mengembangkan dirinya tanpa menguasai bahasa karena tidak
mungkin ia akan bersosialisasi dengan orang lain. Kekomplekkan tersebut dikaitkan dengan kedudukannya
sebagai makhluk sosial. Oleh karenanya, disamping seorang individu harus
memahami orang lain dan memahami kehidupan bersama di dalam masyarakat.
Dari zaman yang paling
primitif sekali pun, seorang manusia membutuhkan manusia lain. Bahkan manusia
(yang diperkirakan) tertua yang pernah ditemukan, Zinj—dari spesies
Australopithecus Boisei yang hidup 1,75 juta tahun yang lalu—memerlukan orang
lain. Dia tidak dapat hidup sendiri. Apa yang tidak bisa kita lakukan, bisa
dilakukan orang lain. Apa yang tidak kita punyai, dipunyai orang lain.
Tuhanlah yang mengatur itu semua agar sebagai manusia, kita saling mengisi
dan berbagi.
Manusia baik secara individu
maupun berkelompok sangat membutuhkan untuk
berbagi, bersosialisasi, dan berkomunikasi. Dia bisa menciptakan
komunikasi dengan orang lain lewat ide-ide yang ada pada dirinya. Kita
bertukar pikiran, mengobrol, chatting, dan lain-lain dengan
teman atau kenalan. Setiap pagi hingga petang kita terlibat dalam kegiatan
komunikasi. Kebenaran yang mutlak bila ada ungkapan: manusia tidak mungkin
tidak berkomunikasi.
Berdasarkan uraian tersebut
di atas dapat dikatakan bahwa komunikasi pasti akan melibatkan bahasa dan
budaya. Bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi, sedangkan budaya adalah
landasan, sesuatu yang dipengaruhi oleh, dan salah satu hasil dari
komunikasi. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu
kesatuan, satu mendukung dan melingkupi yang lain.
2.
Pemerolehan Bahasa
Setiap anak manusia yang lahir ke dunia ini
pasti empunyai potensi, salah satunya adalah potensi berbahasa. Setiap anak
yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasa pertama atau bahasa
ibu atau bahasa runmah tangga dalam
tahun -tahun pertama dalam hidupnya dan proses ini terjadi hingga kira-kira
umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masa pubertas (kira-kira umur 12-14 tahun)
hingga menginjak dewasa (kira-kira umur 18 – 20 tahun), anak itu akan tetap
masih belajar bahasanya (Nababan,
1992:72).
Seorang anak yang lahir ke dunia ini akan
mengalami proses atau tahapan-tahapan pemerolehan bahasa pertamanya. Proses
pemerolehan bahasa pertamanya tentu didukung oleh adanya perkembangan faktor
kognitif anak dan perkembangan faktor sosial anak.
Perkembangan kognitif berkaitan dengan kemampuan
seorang anak untuk menggunakan ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya
benar-benar (gramatikal). Namun, dalam bahasa anak sesuatu yang disampaikan
secara gramatikal belum tentu memebri arti yang lain pada kalimat-kalimat
yang diucapkannya. Seorang anak dapat dikatakan menguasai bahasa pertamanya apabila
ada beberapa unsur yang yang penting
yang berkaitan dengan perkembangan jiwa atau kognitif anak itu. Perkembangan
nosi seperti waktu, ruang, modalitas dan sebab akibat merupakan bagian
penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Melalui bahasa, khususnya B1, seorang anak
belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk
mengungkapkan perasaan, keinghinan pendirian, dan sebagainya, dalam
bentuk-bentuk bahasa yang dianggap tinggi. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk
yang tidak dapat diterima oelh anggota masyarakatnya dan bahwa ia tidak
selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Nababan (1992:75) mengatakan bahwa ada ciri lain
yang khas dari anak yang sudah mulai masuk SD (di dalam masyarakat Barat
maupun Timur), yakni keinginan yang kuat untuk “menyatu” dengan
anggota-anggota masyarakat sekelilingnya, khususnya anak sebayanya. Ia tidak
mau tampak berlainan dengan cara berpakaian, berperilaku, dan berbahasa dari
teman-teman sebayanya. Kalau teman-teman seorang anak itu menggunakan
kata-kata asyik, kece, memble, dan
sebagainya, maka dengan segera istilah-istilah itu digunakannya juga.
Berdasarkan keterangan
tersebut di atas jelas bahwa kegiatan berbahasa tidak hanya mementingkan
apsek gramatikal namun juga perlunya menyikapi dan memahami adanya aspek
kebudayaan. Desa mawa cara. negara mawa tata dan sebagainya,
sangat perlu kita sampaikan kepada para generasi muda saat ini. Pergeseran
penggunaan bahasa ibu mulai sangat kita rasakan. Anak-anak kita semakin sulit
mengenali bahasanya sendiri apalagi menggunakannya secara tepat.
3. Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa Anak
a.
Tahap Pengocehan (babbling stage)
Tahap ini terjadi kira-kira anak memasuki usia 6 bulan. Pada tahap ini
anak biasanya menucapkan sejumlah besar bunyi ujar yang sebagian besar tidak
bermakna, dan sebagian kecil menyerupai kata atau penggal kata yang bermakna
hanya kebetulan saja. Hasil kajian yang dilajukan oleh Nababan bahwa mengoceh
ini tidak tergantung pada masukan akustik atau yang didengar anak itu dari
sekelilingnya. Ini dibuktikan dari hasil beberapa eksperimen yang melibatkan
anak-anak yang bukan tunarungu, tetapi yang orang tuanya demikian dan mereka
mengoceh juga.
Tahap ini sangat penting artinya , karena dalam tahap ini anak itu
belajar untuk menggunakan bunyi-bunyi ujar yang “benar” (diterima orang
sekelilingnya) dan membuang bunyi-bunyi ujar yang “salah” (yang tidak
diterima oleh orang sekelilingnya).
b. Tahap Satu Kata Satu Frasa (Holophrastic Stage)
Kira-kira usia satu tahun seorang anak mulai menggunakan serangkaian
bunyi berulang-ulang utnuk makna yang sama. Pada usia ini, anak sudah
mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna atau mulai mengucapkan
kata-kata yang pertama. Tahap ini dinamakan sebagai tahap satu kata sama
dengan satu frasa atau kalimat., yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan
anak itu merupakan satu konsep lengkap.
Para
peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yakni:
(1) kata-kata dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri, atau suatu
keinginan untuk suatu perilaku; (2) untuk mengungkapkan suatu perasaan, atau
(3) untuk memberi nama kepada sesuatu benda.Dalam bentuknya kata-kata yang
diucapkan terdiri dari konsosnan-konsonan yang mudah dilafal seperti
(m,p,s,k) dan vokal-vokal seperti (a,i,u,e). Tetapi, meskipun pengungkapan
anak itu masih sangat terbatas, menurut peneyelidikan-penyelidikan yang
diadakan para ahli seorang anak mampu memahami perbedaan-perbedaan bunyi yang
lebih banyak daripada yang sanggup diucapkannya.
c. Tahap Dua Kata Satu Frasa
Tahap ini terjadi pada anak usia kira-kira memasuki dua tahun. Mereka
biasanya sudah mampu mengucapkan ujaran-ujaran yang terdiri dari dua kata.
Dalam tahap ini anak menggunakan rangkaian dari ucapan satu kata dengan
intonasi seakan-akan ada dua ucapan.
d.Tahap “Menyerupai Bahasa Telegram”
Apabila seorang anak sudah
mampu menggunakan lebih dari dua kata maka jumlah kata yang dipakai dapat
tiga, empat, bahkan lebih. Pada usia kira-kira dua tahun, anak itu sudah
mulai menguasai “kalimat-kalimat” yang lebih lengkap. Hubungan-hubungan
sintaktik (grammatical relations)
sudah mulai tampak dengan jelas, meskipun hingga usia ini yang menjadi topik
pembicaraan ialah hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, yakni yang ada di
tempat dan terjadi pada waktu itu (the
here and now).
4. Sendi Pragmatik dalam Bahasa Anak
Pragmatig berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
orang lain dalam masyarakat yang sama (Dardjowidjojo,2005:264). Pada konteks
ini, makna semantik tidak selamanya identik dengan makna pada interpretasi
pragmatig. Hal ini disebabkan karena pemaknaan pragmatik mengacu pada
interpretasi penutur dan mitra tuturnya, serta konteks situasi yang relevan.
Dalam hal pemerolehan bahasa pertama, anak memiliki advantage karena proses pemerolehan tersebut terjadi dalam
lingkup alami, ketika interlokutor di sekelilingnya menggunakan bahasa untuk
komunikasi.
Anak sebagai bagian dari masyarakat tentu harus diperkenalkan sejak
dini tantang hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi. Orang tua sebagai
partner dalam belajar tentu saja mempunyai tugas untuk memberikan
pembelajaran, dukungan dan juga wawasan kepada anak tentang sesuatu yang boleh
digunakan di masyarakat dan tidak. Berkaitan dengan hal tersebut, unsur
budaya juga tidak kalah pentingnya kita perkenalkan kepada anak selain unsur
bahasa.
Kesepakatan antara kedua orang tua dalam mendidik anak serta bahasa
apa yang harus mereka pergunakan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di
lingkungan, di sekolah dan sebagainya harus mulai kita perkenalkan sejak
dini. Orang tua hendaknya memilih diksi dan juga artikulasi yang jelas ketika
berbicara dengan anak.
5. Kehidupan Bahasa Daerah (Jawa) Dewasa ini
Masyarakat Indonesia umumnya termasuk masyarakat dwibahasa atau
multibahasa. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia terutama masyarakat perkotaan, dapat menggunakan lebih dari satu
bahasa (daerah dan Indonesia). Dalam masyarakat multibahasa persaingan bahasa
merupakan fenomena yang sering terjadi sebagai akibat kontak bahasa
(Weinreich,1986:1; baca pula Gunpersz, 1968 dalam Giglioli,1990;219).
Persaingan yang terjadi yaitu antara punahnya bahasa daerah, bahasa nasional,
dan bahasa asing. Oleh karen itu, kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah
semakin beralasan. Gejala kepunahan tersebut ditandai secara awal oleh
merosotnya jumlah penutur karena adanya persaingan bahasa (desakan bahasa
Indonesia dan bahasa asing) dan semakin kurangnya loyalitas penutur terhadap
pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu serta sekaligus sebagai simbol
budaya (Yadnya, 2003:3; baca Alwi,2003:8).
Persebaran pemakaian bahasa Indonesiadi berbagai wilyah Indonesia hari
demi hari semakin meingkat. Oleh karena itu, bnyaknya keluhan yang muncul
ditujukan terutama pada pemakaian bahasa di kalangan generasi muda. Hal ini
berkaitan dengan gejala makin berkurangnya kemampuan generasi muda dalam hal
penguasaan bahasa daerah. Generasi muda tidak lagi sepenuhnya menggunakan
bahasa daerah pada waktu berkomunikasi dengan sesamanya. Tetapi cenderung
menggunakan bahasa Indonesia (Masinambow dan Haenan,2002:88).
Kekurangmampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah, tidak
terlepas dari desakan bahasa Indonesia, yang semula hanya digunakan dalam
situasi resmi, kini menyeruak pada situasi tidak resmi pula, seperti di
tempat-tempat umum, di lingkungan tetangga dan bahkan di lingkungan keluarga.
Hal ini ditegaskan pula oleh Yadnya (2003:3) bahwa menyusutnya fungsi bahasa
daerah ini menjadikan daya tahan dan daya saingnya tidak seimbang dengan bahasa nasional atau keliru bahwa
bahasa daerah merupakan lambang keterbelakangan. Di samping itu, sebagian
masyarakat mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwibahasa menjadi penghalang
proses pendidikan anak.
6. Bahasa, Budaya dan Kecerdasan Verbal
Bahasa sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan sangat perlu
mendapatkan perhatian. Budaya tanpa bahasa rasanya sulit berkembang demikian
sebaliknya, bahasa tanpa budaya juga sulit diterima. Artinya kedua hal
tersebut sangat penting kehadirannya, bahkan dapat menjadi tolak ukur apakah
seseorang akan dapat diterima dalam lingkungan pergaulannya atau tidak.
Sebenarnya bagaimana bahasa
diperoleh? Seorang anak keturunan Jawa, bila sejak lahir diajari bahasa
Inggris, misalnya, tentu dia akan menguasainya. Begitu juga ketika seorang
anak keturunan suku Dayak, misalnya, akan menguasai bahasa Cina jika memang
diajarkan sejak dini. Ketika seorang anak dihadapkan pada sebuah bahasa sejak
masa sangat dini, dia akan menguasainya jika memang diberi stimuli yang
berkesinambungan.
Bahasa, sebagai sebuah
struktur, mempunyai pakem-pakem tertentu yang teratur dan berlainan satu dengan
lainnya. Sebagai sebuah simbol, bahasa juga mempunyai simbol-simbol yang khas
yang membedakannya dengan bahasa lain. Kita mengenal huruf-huruf Jawa,
Pallawa, India, dan sebagainya yang semuanya memiliki kekhasan tersendiri.
Manusia, apabila sejak dini
diperkenalkan pada sebuah bahasa yang bukan bahasa ibunya, maka niscaya ia
dapat menguasainya. Mengapa bisa demikian? Pastilah ada sesuatu yang
universal pada sebuah bahasa. Ada sesuatu yang merupakan ciri universal
bahasa yang bisa dikenali dan bisa diaplikasikan kepada semua bahasa.
Chomsky memberi pengertian
mengenai keuniversalan bahasa. Dia membagi keuniversalan bahasa menjadi dua
kelompok, yaitu keuniversalan substantif dan keuniversalan formal.
Keuniversalan substantif merupakan elemen pembentuk bahasa sedangkan
keuniversalan formal merupakan formula untuk meramu elemen bahasa.
Nomina dan verba pada sebuah
bahasa adalah contoh keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini
dipergunakan adalah urusan keuniversalan formal. Masih
menurut Chomsky, otak manusia memiliki kapling-kapling intelektual. Salah
satu kapling itu nantinya diperuntukkan bagi pemakaian dan pemerolehan
bahasa. Pada saat lahir, seorang anak memiliki bekal bawaan yang dinamakan Language
Acquisition Device. Piranti inilah yang nantinya menerima korpus dari
lingkungan dalam bentuk—antara lain—kalimat. Dengan demikian, pemerolehan
bahasa bukanlah proses yang dilakukan oleh, melainkan terjadi
pada anak.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas jelas
bahwa kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui proses pembelajaran
(not instinctive). Artinya, seorang anak tidak serta merta mampu berbahasa
tanpa proses pembelajaran walaupun telah ada LAD (piranti atau alat
pemerolehan bahasa) di dalam struktur otaknya.
Tanpa kita sadari bahwa anak meneladani apa yang
diucapkan dan diperbuat orang tuanya. Anak akan sangat mencermati dan bahkan
ia akan menjadikan orang tuanya sebagai idola. Energi positif yang kita
berikan pada anak tentu saja akan menghasilkan sesuatu yang positif.
Berdasarkan kajian Masaru Emoto tentang air,
penulis sangat berkeyakinan bahwa kualitas manusia akan meningkat atau
menjadi lebih baik atau buruk bergantung pada informasi yang diterimanya.
Keyakinan ini berawal dari sebuah penelitian bahwa kita manusia juga dipengaruhi
oleh informasi yang kita terima karena 70% tubuh manusia adalah air.
Pada konsep terbentuknya manusia, telur dibuahi
96%-nya adalah air. Setelah lahir, 80% tubuh seorang bayi adalah air. Semakin
tubuh manusia berkembang, persentase air berkurang dan menetap sampai batas
70 % ketika manusia mencapai usia dewasa. Dengan kata lain, selama ini kita
hidup sebagai air. Jadi, sebenarnya manusia adalah air (Emoto,2006:17).
Kualitas air bergantung pada informasi yang
diterimanya. Konsekuensi logisnya adalah manusia sebagai makhluk yang
sebagian besar terbentuk dari air-sudah seharusnya diberikan informasi yang
baik. Oleh karena itu, dalam rangka
membentuk sikap generasi muda yang mempunyai kemampuan verbal sesuai dengan
kearifan lokal perlu kiranya kita berikan informasi-informasi yang positif.
Informasi yang positif tentu memberikan energi yang positif sehingga
memberikan daya dukung untuk membentuk sikap serta kepedulian generasi muda
terhadap bahasa dan budaya daerahnya.
Bahasa juga memegang peranan
penting dalam perkembangan seorang anak. Ketika orang tua menceritakan
cerita-cerita rakyat daerahnya, secara tidak langsung dia juga telah
mengenalkan dan menanamkan rasa cinta kepada bahasa ibu si anak. Pada saat
itu pula, benih-benih kecintaan akan bahasanya mulai tumbuh.
Bagaimana seandainya seorang
anak suku Dayak (Ngaju) tidak tahu-menahu tentang bahasa ibunya sendiri?
Bagaimana dia bisa mengapresiasi bahasa dan budayanya? Memang di Kalimantan
Tengah, kini, bahasa Ngaju sudah diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal,
namun porsinya masih sangat kurang. Bahasa Ngaju hanya diajarkan selama
setahun di tingkat sekolah dasar.
Masyarakat Dayak mengenal
seni karungut, semacam tembang, yang syairnya berisi ajaran-ajaran
mengenai kebajikan, dan deder, semacam berbalas pantun. Syair-syair
karungut dan deder juga bisa menjadi wahana yang sangat efektif untuk
menanamkan nilai-nilai keluhuran budaya. Karungut biasanya dinyanyikan dengan
iringan katambung (semacam gendang), kangkanong (semacam
gambang), dan kacapi (semacam gitar dengan dua senar).
Karungut biasa dinyanyikan
dalam sebuah acara adat. Biasanya karungut dibawakan oleh sekelompok orang
(biasanya terdiri atas 3—4 orang). Seorang memainkan kacapi, seorang
memainkan katambung, dan seorang lagi memainkan kangkanong, sedangkan orang
terakhir bertindak sebagai penyanyi.
Dalam sebuah karungut, yang
kurang lebih mirip dengan tembang macapat dalam masyarakat Jawa,
mengandung pesan-pesan yang luhur. Tema yang diusung biasanya berkisar pada
tingkah laku manusia, alam sekitar, dan mite atau legenda.
Anak juga bisa belajar banyak
dari syair-syair karungut itu. Dia bisa belajar bahasa sekaligus nilai
keluhurannya. Pendekatan dan pengenalan yang komprehensif tentu akan membuat
anak merasa nyaman dalam mempelajari dan meresapinya.
Dewasa ini, eksistensi ritual
dan budaya semacam karungut, upacara-upacara adat, dan cerita-cerita
tradisional mulai terancam. Serbuan budaya global semakin menyempitkan area
tempat tinggalnya. Budaya barat dengan prestise yang ditawarkan telah
membuat muatan lokal semacam ini kehilangan identitasnya.
Provinsi Kalimantan Tengah,
dengan luas lebih dari 153.000 km2, adalah provinsi terluas ketiga
di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur. Dengan begitu luasnya
wilayah, provinsi ini juga memiliki bahasa (dan budaya) yang sangat beragam.
Menurut SIL, ada 14 bahasa di Kalimantan Tengah. Namun, pendapat ini
ditentang beberapa tokoh pemerhati bahasa di Kalimantan Tengah. Ada lebih
dari 25 bahasa di Kalimantan Tengah dengan ratusan dialek.
Bahasa dengan penutur
terbesar di Kalimantan Tengah adalah bahasa Ngaju. Kata Ngaju—yang berarti
hulu/udik—sering disalahartikan. Bahasa ini pertama kali digunakan oleh
penduduk di daerah hulu-hulu sungai yang ada di sana sehingga mereka
menyebutnya bahasa Ngaju.
Seiring dengan perkembangan
peradaban, bahasa Ngaju sedikit demi sedikit mulai bergeser ke ranah rumah
tangga atau ranah-ranah lain yang lebih sempit. Penelitian yang pernah
dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa tingkat apresiasi masyarakat penutur
jati bahasa Ngaju sudah banyak berkurang. Anak-anak sekolah, para pelaku
perekonomian, dan para pejabat lebih memilih memakai bahasa lain, dalam hal
ini bahasa Bajnar, sebagai bahasa pergaulan mereka.
Hal ini tentu merupakan
pertanda yang tidak baik. Bahasa Ngaju yang seharusnya menjadi bahasa ibu dan
bahasa pertama yang dikuasai sudah mulai termarjinalkan. Orang-orang tua akan
lebih suka mengajarkan bahasa Banjar atau bahasa lain. Tindakan mereka
mungkin bisa dipahami. Faktor sosial ekonomi lebih banyak berbicara di sini.
Ketika seorang anak mulai
mengenal budaya dan bahasa ibunya, sejak saat itulah nilai-nilai luhur dari
budaya itu tertanam dalam dirinya. Seorang anak adalah mahluk yang sangat
reseptif. Dia akan ‘memakan’ apa saja yang dilihat atau didengarnya tanpa
tahu apakah itu baik atau tidak.
Pondasi budaya yang baik
tercipta manakala orang tua berhasil menanamkan esensi dan nilai-nilai budaya
sehingga akan tertanam kokoh di benak seorang anak. Dengan kokohnya pondasi
ini sekaligus akan berperan sebagai penyaring dan pemilah dalam menyikapi
budaya yang sekiranya bertentangan.
Ketika seorang anak menonton
sebuah tayangan televisi atau terlibat dalam sebuah kegiatan komunikasi, pada
saat itu pula anak sedang terpajan oleh budaya luar. Budaya luar ini ada yang
baik dan sepaham dengan pemahamannya, ada juga yang menyimpang. Dengan
pondasi budaya yang telah dipunyai, anak akan mampu menjadi filter
bagi dirinya sendiri untuk menyaring mana yang baik dan buruk.
Yang menarik perhatian ialah hasil pengamatan
Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen,
Jerman. Menurut Grossweiler, situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah di
Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan bahasa-bahasa
daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami nasib yang sama dengan
bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah itu
disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa nasionalisme dengan menggunakan
bahasa nasional, dan mengalpakan bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang
rasanya juga berlaku di Indonesia] industrialisasi dan factor-faktor lain
mendukung upaya itu. Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai
perkembangan yang mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh
dunia. Dalam bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya
bahasa internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.
Selain faktor di atas khusus mengenai situasi
bahasa daerah di Indonesia, Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang
mempengaruhi menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa,
yaitu (1) orang tua mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwi-bahasa menjadi
penghalang proses pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang
aktif menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan
buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha
menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya para
sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan bahasa
daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya multi-bahasa
yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah, dan (7) belum
tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara sesama forum peduli
perkembangan bahasa daerah.
7. Objek Budaya
Ketika terlahir, anak adalah
sebuah lembaran kosong, pita perekam yang juga kosong, yang nantinya adalah
tugas sang orang tua untuk menulisinya atau menggunakan pita kosong tersebut.
Seorang anak, dengan kemampuan memori yang luar biasa, tanpa kita sadari
menangkap semua yang ada di sekelilingnya. Apa yang ia tangkap, lihat,
dengar, dan rasa, semua akan terekam dengan baik dalam memorinya. Semua ia
rekam dan selanjutnya diproses dan disimpan dalam memorinya. Semua ini akan
tercermin dan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari ketika si anak
bertambah usia.
Berbicara mengenai bahasa,
kita tidak mungkin terlepas dari budaya. Bahasa adalah bagian dari
kebudayaan. Kita juga tidak mungkin bisa terpisah dari hasil-hasil budaya.
Televisi, radio, sepakbola, koran, adalah bagian dari budaya. Pengertian
budaya secara luas adalah buah atau hasil dari pemikiran manusia yang
memanfaatkan akal budinya yang nantinya dipergunakan untuk kehidupannya.
Apakah kebudayaan? Kebudayaan
sebagai sebuah pandangan hidup adalah bentuk perilaku, kepercayaan, nilai,
dan simbol-simbol—yang mereka terima tanpa sadar—yang semuanya diwariskan
melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya.
Ada sebagian orang yang
berpendapat bahwa kebudayaan adalah seni. Kebudayaan lebih dari sekedar seni.
Dia adalah sebuah jaringan kerja antarmanusia. Kebudayaan memengaruhi
perilaku dan sikap manusia.
Sebagai bagian dari kekayaan
budaya Indonesia, Pacitan juga memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam.
Mulai dari ritual dan upacara-upacara adat, cerita rakyat, dan kebhinekaan
penduduk yang mendiaminya. Ada beberapa karya sastra yang berbentuk cerita
rakyat atau legenda, diantaranya Legenda Kanjeng Jimat, Belik Bagong, Watu
Tarung, Ceprotan dan sebagainya.
Pada era sekarang, banyak
orang yang sudah melupakan esensi dari cerita-cerita rakyat itu. Anak-anak
lebih senang dengan dongeng yang berasal dari luar, misalnya Cinderella, Ipin
dan Upin, Spongbob, dan lain-lain. Memang cerita-cerita tersebut pada
dasarnya mencerminkan sifat manusia, ada yang baik dan buruk, ada yang suci
dan profan, ada yang hitam dan putih, namun identitas budaya daerah memegang
peran yang jauh lebih kompleks.
Apabila para orang tua
mempunyai tingkat kepedulian dan kecintaan yang tinggi terhadap budayanya,
maka nilai-nilai kebaikan dari cerita-cerita tersebut akan dapat diwariskan
kepada anak-anaknya. Salah satu caranya adalah dengan menceritakan kembali
kepada anak-anak mereka. Dengan menceritakan kembali, anak diharapkan dapat
menangkap esensi dan nilai-nilai kebaikan dari cerita-cerita tersebut.
Dalam sebuah cerita rakyat
atau legenda, biasanya terdapat karakter yang jahat dan baik. Sebuah cerita
biasanya juga melukiskan bagaimana para tokoh protagonis mengarungi gegap
gempitanya kehidupan dunia untuk mencapai tujuannya. Kisah yang dialami para
tokoh inilah yang seharusnya dijadikan teladan oleh para anak.
Seorang anak perlu dikenalkan
dengan budaya-budaya tersebut sejak dini. Di Brasil, bahkan, seorang anak
wajib terjun bebas—dengan hanya memakai alat bantu dari akar pohon—dari
ketinggian sekitar 20 meter untuk menunjukkan ia sudah dewasa. Apa yang bisa
kita petik dari sini? Hal-hal semacam ini adalah kekayaan, warisan budaya
dunia yang harus dijaga kelestariannya. Upacara-upacara tersebut tidak
terjadi dan dijadikan begitu saja oleh para nenek moyang, melainkan sudah
melalui proses yang sangat panjang dan totalisme berbudaya.
Nilai-nilai kebijaksanaanlah
yang harus dikenal dan diselami oleh seorang anak agar ia bisa mendewasakan
dirinya untuk menghadapi kehidupan yang lebih kompleks. Anak memang perlu
mengenal kebudayaan lain, bahkan sebuah keharusan, namun budaya lain hanya
sebagai pembanding dan pemerkaya wawasan sang anak. Anak perlu mengenal
Cinderella, Si Bongkok dari Notre Dame, Hitch Hiker, dan banyak lagi. Namun,
semua itu hanya sebagai pemberi gambaran, bahwa masih ada dunia lain yang
sangat luas di luar dunianya.
Ketika seorang anak beranjak
dewasa, nilai-nilai budaya yang dia kenal akan terakumulasi menjadi sebuah
bangunan atau pondasi budaya. Anak hanya perlu memupuknya dan memeliharanya.
Dialah sendiri yang nanti memutuskan untuk mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari atau tidak.
Kompleksitas budaya adalah
sebuah keniscayaan untuk dihadapi oleh anak pada suatu masa. Kontak
antarbudaya ini akan menimbulkan suatu pembelajaran dan pemahaman timbal
balik, saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Di sini, anak sebagai
pelaku budaya tengah menjalankan tugasnya. Dia akan menjadi duta budaya bagi
dirinya sendiri dan mengusung nilai-nilai budaya yang dipunyainya. Pada saat
yang sama, dia juga bertindak sebagai objek budaya karena dia menerima
pajanan dari budaya lain.
5. Simpulan
Efektivitas komunikasi
antarmanusia sangat tergantung pada pemahaman tentang nilai. Nilai adalah
sesuatu yang abstrak tentang tujuan budaya yang akan kita bangun bersama
melalui bahasa dan simbol, baik verbal maupun nonverbal. Dengan nilai,
seseorang menentukan sesuatu itu boleh atau tidak boleh dilakukan.
Kecerdasan verbal dengan
pondasi kultural yang mantap akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi anak
dalam menatap dunianya ke depan. Kecerdasan verbal, sebagai salah satu sekian
macam kelebihan multiaspek manusia, di samping kecerdasan emosional, musikal,
spiritual, dan sebagainya, akan secara aktif bekerja, baik ketika mendapat
rangsangan ataupun tidak. Ketika seorang anak memaknai sebuah pesan yang
didapatnya secara langsung maupun tak langsung, memori dalam otaknya akan
otomatis bekerja untuk mendefinisikan pesan itu secara proporsional.
Ketika seorang anak
berhadapan dengan dunia yang lebih majemuk, dua hal ini akan memainkan
perannya secara bersamaan. Pondasi budaya yang kuat dan sarat dengan
nilai-nilai luhur akan menyaring informasi-informasi yang masuk secara bijak.
Kecerdasan verbal akan membantu dari segi penalaran dan penyampaian. Dua
dasar di atas juga membantu anak untuk bersikap rasional, menggunakan
kecerdasan untuk melakukan tidakan terbaik dalam suatu keadaan.
Dengan kecerdasan verbalnya,
anak bisa mengutarakan jalan pikirannya, melontarkan ide-idenya, mengomunikasikan
perasaannya kepada orang lain, dengan cara yang baik, terstruktur, dan easily
understandable. Dengan landasan budaya yang kokoh, kegiatan komunikasi
yang ia lakukan akan berjalan dengan baik sesuai dengan esensi nilai budaya
yang dianutnya. Kegiatan komunikasi akan berjalan dengan baik, santun, dan
akrab.
Daftar Pustaka
Calne,
Donald B. 2005. Batas Nalar. Jakarta: Gramedia.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2000. Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Goodenough,
Ward H. 1981. Culture, Language, and Society. Philiphines:
Benjamin/Cumming Publishing.
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Leakey,
Richard. 2003. Asal-usul Manusia. Jakarta: Gramedia.
Liliweri,
Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
LKiS.
Soekanto,
Soerjono. 2002. Sosiologi. Jakarta: Rajawali.
Disampaikan di Seminar Internasional di Bandung Tahun 2010
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar