Sabtu, 17 Mei 2014

Pembentukan Sikap dan Kecerdasan Verbal Pada Anak Melalui Pengenalan Kearifan Lokal


PEMBENTUKAN SIKAP DAN KECERDASAN VERBAL PADA ANAK MELALUI PENGENALAN KEARIFAN LOKAL
Sri Pamungkas, S.S.
 Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP PGRI Pacitan)
             
            Setiap manusia yang lahir ke dunia ini telah diberi piranti oleh Tuhan untuk mampu berbahasa yang disebut  sebagai Language Aquisition Device (LAD). Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap manusia mempunyai potensi untuk mampu berbahasa apa pun. Seorang anak yang baru lahir adalah ibarat sehelai kertas putih. Kertas ini pada hari kemudian akan ditulisi apa, dilukis apa, serta dipersiapkan untuk apa adalah menjadi tugas para orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk membuatnya menjadi sesuatu yang indah, menyenangkan, beretika, dan lain-lain.
Manusia dilahirkan ke dunia ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Manusia secara kodrati selalu berusaha untuk mengembangkan dirinya. Manusia dapat mengembangkan dirinya, berinteraksi dan berkomunikasi tentu saja dengan menggunakan bahasa. Namun, bukan hanya bahasa yang dibutuhkan tetapi juga harus diikuti dengan menempatkan serta menjunjung tinggi budaya yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
            Kita patut mempertanyakan kembali, penyebab hilangnya perasaan santun dalam bertutur kata. Salah satu faktor adalah  karena ketidakmampuan generasi kita menyerap nilai-nilai tata krama sebagai pedoman tingkah laku. Atau barangkali faktor lainnya, yang menjadikan kurang diserapnya nilai-nilai tatakrama itu bisa jadi karena kesalahan orang tua yang tidak mampu mentransfer dan menanamkan nilai-nilai itu kepada generasi kita, sehingga tak ada lagi filter untuk menangkis pengaruh-pengaruh negatif.
             Membahas tata krama menyangkut aspek yang sangat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997 ) tata krama bermakna: adat sopan santun. Demikian juga dalam Kamus Pepak Basa Jawa (2001 ) tata krama berarti “unggah-ungguh gunem tuwin tindak tanduk” , ini sangat erat kaitannya dengan bahasa dan sikap berbahasa, salah satunya adalah penggunaan bahasa daerah.
Terkikisnya nilai-nilai tata krama itu di tengah-tengah kita salah satunya ditandai dengan semakin berkurangnya pengguna bahasa daerah. Hal itu disebabkan  kemampuan berbahasa daerah bagi generasi muda sekarang sangat rendah, berarti semakin tidak akrab dengan bahasa daerahnya. Berdasarkan hal terebut, maka pemahaman mereka terhadap nilai-nilai kultural juga rendah. Sebagai salah satu contoh, karena tidak paham akan nilai-nilai tersebut, maka sangat sulit menghayati nilai-nilai semacam bagaimana seharusnya dalam tingkah laku, tidak tahu apa itu empan papan, tepa selira, andhap asor, atau mungkin wewaler yang seharusnya tidak dilanggar.
             Lunturnya tata krama berbahasa bisa dilihat dari semakin surutnya pemilihan kosa kata yang tak mencerminkan nilai rasa. Masyarakat Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur, mempunyai bahasa Ibu bahasa Jawa. Bahasa Jawa menjadi bahasa komunikasi sehari-hari. Kemungkinan berbeda dengan di daerah lain masyarakat di Kabupaten Pacitan mayoritas masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dalam situasi informal. Namun, bila kita menilik pada generasi mudanya sudah mulai kesulitan menggunakan krama inggil ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Seperti, mereka kesulitan dan banyak yang tidak paham menggunakan kata mangan, maem dhahar, dan masih banyak lagi yang lain.

:





1. Pendahuluan
Semua orang mempunyai dan menggunakan bahasa. Berbahasa adalah suatu kegiatan yang kita lakukan selama kita bangun, bahkan juga kadang-kadang waktu tidur atau mimpi, sehingga kita menganggap berbahasa itu sebagai sesuatu yang normal, bahkan alamiah seperti bernapas dan kita tidak memikirkannya. Akan tetapi, bila kita pikirkan kedaan kita andaikata tidak ada bahasa , dan kita tidak melakukan tindakan berbahasa , maka barangkali identitas kita sebagai “genus manusia” (homo sapiens) akan hilang juga. Kiranya tidak terbayangkan ada “kemanusiaa” kita tanpa bahasa, tanpa berbahasa.
Adanya bahasa membuat kita menjadi makhluk yang bermasyarakat  atau makhluk sosial. Kemasyarakatan kita tercipta dengan bahasa, dibina dan dikembangkan dengan bahasa; Lindgrend (dalam Nababan, 1992:1) menyebutkan bahasa sebagai “perekat masyarakat”; Broom dan Selznik (dalam Nababan, 1992:1) menyebutnya sebagai “faktor penentu dalam penciptaan masyarakat manusia”.
Masyarakat Indonesia termasuk di dalamnya anak-anak Indonesia cenderung sebagai dwibahasawan atau bahkan mutibahasawan. Hal ini terbukti dengan kemampuan mereka menggunakan bahasa daerahnya, bahasa nasionalnya, bahkan bahasa-bahasa asing.
Hal tersebut menurut penulis merupakan suatu cara yang dilakukan oleh manusia agar mereka dapat diterima di lingkungannya bahkan di lingkungan orang lain yang baru dikenalnya. Dengan kondisi seperti tersebut, memberikan penjelasan kepada kita bahwa bahasa sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia tidak dapat berkembang, berkomunikasi dan mengembangkan dirinya tanpa menguasai bahasa karena tidak mungkin ia akan bersosialisasi dengan orang lain.  Kekomplekkan tersebut dikaitkan dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial. Oleh karenanya, disamping seorang individu harus memahami orang lain dan memahami kehidupan bersama di dalam masyarakat.
Dari zaman yang paling primitif sekali pun, seorang manusia membutuhkan manusia lain. Bahkan manusia (yang diperkirakan) tertua yang pernah ditemukan, Zinj—dari spesies Australopithecus Boisei yang hidup 1,75 juta tahun yang lalu—memerlukan orang lain. Dia tidak dapat hidup sendiri. Apa yang tidak bisa kita lakukan, bisa dilakukan orang lain. Apa yang tidak kita punyai, dipunyai orang lain. Tuhanlah yang mengatur itu semua agar sebagai manusia, kita saling mengisi dan berbagi.
Manusia baik secara individu maupun berkelompok sangat membutuhkan untuk  berbagi, bersosialisasi, dan berkomunikasi. Dia bisa menciptakan komunikasi dengan orang lain lewat ide-ide yang ada pada dirinya. Kita bertukar pikiran, mengobrol, chatting, dan lain-lain dengan teman atau kenalan. Setiap pagi hingga petang kita terlibat dalam kegiatan komunikasi. Kebenaran yang mutlak bila ada ungkapan: manusia tidak mungkin tidak berkomunikasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa komunikasi pasti akan melibatkan bahasa dan budaya. Bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi, sedangkan budaya adalah landasan, sesuatu yang dipengaruhi oleh, dan salah satu hasil dari komunikasi. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan, satu mendukung dan melingkupi yang lain.


2.        Pemerolehan Bahasa
Setiap anak manusia yang lahir ke dunia ini pasti empunyai potensi, salah satunya adalah potensi berbahasa. Setiap anak yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasa pertama atau bahasa ibu atau bahasa runmah tangga  dalam tahun -tahun pertama dalam hidupnya dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masa pubertas (kira-kira umur 12-14 tahun) hingga menginjak dewasa (kira-kira umur 18 – 20 tahun), anak itu akan tetap masih belajar bahasanya  (Nababan, 1992:72).
Seorang anak yang lahir ke dunia ini akan mengalami proses atau tahapan-tahapan pemerolehan bahasa pertamanya. Proses pemerolehan bahasa pertamanya tentu didukung oleh adanya perkembangan faktor kognitif anak dan perkembangan faktor sosial anak.
Perkembangan kognitif berkaitan dengan kemampuan seorang anak untuk menggunakan ujaran-ujaran yang bentuk-bentuknya benar-benar (gramatikal). Namun, dalam bahasa anak sesuatu yang disampaikan secara gramatikal belum tentu memebri arti yang lain pada kalimat-kalimat yang diucapkannya. Seorang anak dapat dikatakan menguasai bahasa pertamanya apabila ada beberapa unsur yang  yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa atau kognitif anak itu. Perkembangan nosi seperti waktu, ruang, modalitas dan sebab akibat merupakan bagian penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Melalui bahasa, khususnya B1, seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinghinan pendirian, dan sebagainya, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap tinggi. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima oelh anggota masyarakatnya dan bahwa ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Nababan (1992:75) mengatakan bahwa ada ciri lain yang khas dari anak yang sudah mulai masuk SD (di dalam masyarakat Barat maupun Timur), yakni keinginan yang kuat untuk “menyatu” dengan anggota-anggota masyarakat sekelilingnya, khususnya anak sebayanya. Ia tidak mau tampak berlainan dengan cara berpakaian, berperilaku, dan berbahasa dari teman-teman sebayanya. Kalau teman-teman seorang anak itu menggunakan kata-kata asyik, kece, memble, dan sebagainya, maka dengan segera istilah-istilah itu digunakannya juga.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas jelas bahwa kegiatan berbahasa tidak hanya mementingkan apsek gramatikal namun juga perlunya menyikapi dan memahami adanya aspek kebudayaan. Desa mawa cara. negara mawa tata dan sebagainya, sangat perlu kita sampaikan kepada para generasi muda saat ini. Pergeseran penggunaan bahasa ibu mulai sangat kita rasakan. Anak-anak kita semakin sulit mengenali bahasanya sendiri apalagi menggunakannya secara tepat.

3. Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa Anak
a.  Tahap Pengocehan (babbling stage)
            Tahap ini terjadi kira-kira anak memasuki usia 6 bulan. Pada tahap ini anak biasanya menucapkan sejumlah besar bunyi ujar yang sebagian besar tidak bermakna, dan sebagian kecil menyerupai kata atau penggal kata yang bermakna hanya kebetulan saja. Hasil kajian yang dilajukan oleh Nababan bahwa mengoceh ini tidak tergantung pada masukan akustik atau yang didengar anak itu dari sekelilingnya. Ini dibuktikan dari hasil beberapa eksperimen yang melibatkan anak-anak yang bukan tunarungu, tetapi yang orang tuanya demikian dan mereka mengoceh juga.
            Tahap ini sangat penting artinya , karena dalam tahap ini anak itu belajar untuk menggunakan bunyi-bunyi ujar yang “benar” (diterima orang sekelilingnya) dan membuang bunyi-bunyi ujar yang “salah” (yang tidak diterima oleh orang sekelilingnya). 

b. Tahap Satu Kata Satu Frasa (Holophrastic Stage)
            Kira-kira usia satu tahun seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang utnuk makna yang sama. Pada usia ini, anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna atau mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Tahap ini dinamakan sebagai tahap satu kata sama dengan satu frasa atau kalimat., yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep lengkap.
            Para peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yakni: (1) kata-kata dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri, atau suatu keinginan untuk suatu perilaku; (2) untuk mengungkapkan suatu perasaan, atau (3) untuk memberi nama kepada sesuatu benda.Dalam bentuknya kata-kata yang diucapkan terdiri dari konsosnan-konsonan yang mudah dilafal seperti (m,p,s,k) dan vokal-vokal seperti (a,i,u,e). Tetapi, meskipun pengungkapan anak itu masih sangat terbatas, menurut peneyelidikan-penyelidikan yang diadakan para ahli seorang anak mampu memahami perbedaan-perbedaan bunyi yang lebih banyak daripada yang sanggup diucapkannya.

c. Tahap Dua Kata Satu Frasa
            Tahap ini terjadi pada anak usia kira-kira memasuki dua tahun. Mereka biasanya sudah mampu mengucapkan ujaran-ujaran yang terdiri dari dua kata. Dalam tahap ini anak menggunakan rangkaian dari ucapan satu kata dengan intonasi seakan-akan ada dua ucapan.

d.Tahap “Menyerupai Bahasa Telegram
Apabila seorang anak sudah mampu menggunakan lebih dari dua kata maka jumlah kata yang dipakai dapat tiga, empat, bahkan lebih. Pada usia kira-kira dua tahun, anak itu sudah mulai menguasai “kalimat-kalimat” yang lebih lengkap. Hubungan-hubungan sintaktik (grammatical relations) sudah mulai tampak dengan jelas, meskipun hingga usia ini yang menjadi topik pembicaraan ialah hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, yakni yang ada di tempat dan terjadi pada waktu itu (the here and now).

4. Sendi Pragmatik dalam Bahasa Anak
            Pragmatig berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang sama (Dardjowidjojo,2005:264). Pada konteks ini, makna semantik tidak selamanya identik dengan makna pada interpretasi pragmatig. Hal ini disebabkan karena pemaknaan pragmatik mengacu pada interpretasi penutur dan mitra tuturnya, serta konteks situasi yang relevan. Dalam hal pemerolehan bahasa pertama, anak memiliki advantage karena proses pemerolehan tersebut terjadi dalam lingkup alami, ketika interlokutor di sekelilingnya menggunakan bahasa untuk komunikasi.
             Anak sebagai bagian dari masyarakat tentu harus diperkenalkan sejak dini tantang hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi. Orang tua sebagai partner dalam belajar tentu saja mempunyai tugas untuk memberikan pembelajaran, dukungan dan juga wawasan kepada anak tentang sesuatu yang boleh digunakan di masyarakat dan tidak. Berkaitan dengan hal tersebut, unsur budaya juga tidak kalah pentingnya kita perkenalkan kepada anak selain unsur bahasa.
           Kesepakatan antara kedua orang tua dalam mendidik anak serta bahasa apa yang harus mereka pergunakan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di lingkungan, di sekolah dan sebagainya harus mulai kita perkenalkan sejak dini. Orang tua hendaknya memilih diksi dan juga artikulasi yang jelas ketika berbicara dengan anak.

5. Kehidupan Bahasa Daerah (Jawa) Dewasa ini
           Masyarakat Indonesia umumnya termasuk masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia terutama masyarakat perkotaan, dapat menggunakan lebih dari satu bahasa (daerah dan Indonesia). Dalam masyarakat multibahasa persaingan bahasa merupakan fenomena yang sering terjadi sebagai akibat kontak bahasa (Weinreich,1986:1; baca pula Gunpersz, 1968 dalam Giglioli,1990;219). Persaingan yang terjadi yaitu antara punahnya bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Oleh karen itu, kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah semakin beralasan. Gejala kepunahan tersebut ditandai secara awal oleh merosotnya jumlah penutur karena adanya persaingan bahasa (desakan bahasa Indonesia dan bahasa asing) dan semakin kurangnya loyalitas penutur terhadap pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa ibu serta sekaligus sebagai simbol budaya (Yadnya, 2003:3; baca Alwi,2003:8).
             Persebaran pemakaian bahasa Indonesiadi berbagai wilyah Indonesia hari demi hari semakin meingkat. Oleh karena itu, bnyaknya keluhan yang muncul ditujukan terutama pada pemakaian bahasa di kalangan generasi muda. Hal ini berkaitan dengan gejala makin berkurangnya kemampuan generasi muda dalam hal penguasaan bahasa daerah. Generasi muda tidak lagi sepenuhnya menggunakan bahasa daerah pada waktu berkomunikasi dengan sesamanya. Tetapi cenderung menggunakan bahasa Indonesia (Masinambow dan Haenan,2002:88).
              Kekurangmampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah, tidak terlepas dari desakan bahasa Indonesia, yang semula hanya digunakan dalam situasi resmi, kini menyeruak pada situasi tidak resmi pula, seperti di tempat-tempat umum, di lingkungan tetangga dan bahkan di lingkungan keluarga. Hal ini ditegaskan pula oleh Yadnya (2003:3) bahwa menyusutnya fungsi bahasa daerah ini menjadikan daya tahan dan daya saingnya tidak seimbang  dengan bahasa nasional atau keliru bahwa bahasa daerah merupakan lambang keterbelakangan. Di samping itu, sebagian masyarakat mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwibahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak.

6. Bahasa, Budaya dan Kecerdasan Verbal
            Bahasa sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan sangat perlu mendapatkan perhatian. Budaya tanpa bahasa rasanya sulit berkembang demikian sebaliknya, bahasa tanpa budaya juga sulit diterima. Artinya kedua hal tersebut sangat penting kehadirannya, bahkan dapat menjadi tolak ukur apakah seseorang akan dapat diterima dalam lingkungan pergaulannya atau tidak.
Sebenarnya bagaimana bahasa diperoleh? Seorang anak keturunan Jawa, bila sejak lahir diajari bahasa Inggris, misalnya, tentu dia akan menguasainya. Begitu juga ketika seorang anak keturunan suku Dayak, misalnya, akan menguasai bahasa Cina jika memang diajarkan sejak dini. Ketika seorang anak dihadapkan pada sebuah bahasa sejak masa sangat dini, dia akan menguasainya jika memang diberi stimuli yang berkesinambungan.
Bahasa, sebagai sebuah struktur, mempunyai pakem-pakem tertentu yang teratur dan berlainan satu dengan lainnya. Sebagai sebuah simbol, bahasa juga mempunyai simbol-simbol yang khas yang membedakannya dengan bahasa lain. Kita mengenal huruf-huruf Jawa, Pallawa, India, dan sebagainya yang semuanya memiliki kekhasan tersendiri.
Manusia, apabila sejak dini diperkenalkan pada sebuah bahasa yang bukan bahasa ibunya, maka niscaya ia dapat menguasainya. Mengapa bisa demikian? Pastilah ada sesuatu yang universal pada sebuah bahasa. Ada sesuatu yang merupakan ciri universal bahasa yang bisa dikenali dan bisa diaplikasikan kepada semua bahasa.
Chomsky memberi pengertian mengenai keuniversalan bahasa. Dia membagi keuniversalan bahasa menjadi dua kelompok, yaitu keuniversalan substantif dan keuniversalan formal. Keuniversalan substantif merupakan elemen pembentuk bahasa sedangkan keuniversalan formal merupakan formula untuk meramu elemen bahasa.
Nomina dan verba pada sebuah bahasa adalah contoh keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini dipergunakan adalah urusan keuniversalan formal. Masih menurut Chomsky, otak manusia memiliki kapling-kapling intelektual. Salah satu kapling itu nantinya diperuntukkan bagi pemakaian dan pemerolehan bahasa. Pada saat lahir, seorang anak memiliki bekal bawaan yang dinamakan Language Acquisition Device. Piranti inilah yang nantinya menerima korpus dari lingkungan dalam bentuk—antara lain—kalimat. Dengan demikian, pemerolehan bahasa bukanlah proses yang dilakukan oleh, melainkan terjadi pada anak.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas jelas bahwa kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui proses pembelajaran (not instinctive). Artinya, seorang anak tidak serta merta mampu berbahasa tanpa proses pembelajaran walaupun telah ada LAD (piranti atau alat pemerolehan bahasa) di dalam struktur otaknya.
Tanpa kita sadari bahwa anak meneladani apa yang diucapkan dan diperbuat orang tuanya. Anak akan sangat mencermati dan bahkan ia akan menjadikan orang tuanya sebagai idola. Energi positif yang kita berikan pada anak tentu saja akan menghasilkan sesuatu yang positif.
Berdasarkan kajian Masaru Emoto tentang air, penulis sangat berkeyakinan bahwa kualitas manusia akan meningkat atau menjadi lebih baik atau buruk bergantung pada informasi yang diterimanya. Keyakinan ini berawal dari sebuah penelitian bahwa kita manusia juga dipengaruhi oleh informasi yang kita terima karena 70% tubuh manusia adalah air.
Pada konsep terbentuknya manusia, telur dibuahi 96%-nya adalah air. Setelah lahir, 80% tubuh seorang bayi adalah air. Semakin tubuh manusia berkembang, persentase air berkurang dan menetap sampai batas 70 % ketika manusia mencapai usia dewasa. Dengan kata lain, selama ini kita hidup sebagai air. Jadi, sebenarnya manusia adalah air (Emoto,2006:17).
Kualitas air bergantung pada informasi yang diterimanya. Konsekuensi logisnya adalah manusia sebagai makhluk yang sebagian besar terbentuk dari air-sudah seharusnya diberikan informasi yang baik.  Oleh karena itu, dalam rangka membentuk sikap generasi muda yang mempunyai kemampuan verbal sesuai dengan kearifan lokal perlu kiranya kita berikan informasi-informasi yang positif. Informasi yang positif tentu memberikan energi yang positif sehingga memberikan daya dukung untuk membentuk sikap serta kepedulian generasi muda terhadap bahasa dan budaya daerahnya.

Bahasa juga memegang peranan penting dalam perkembangan seorang anak. Ketika orang tua menceritakan cerita-cerita rakyat daerahnya, secara tidak langsung dia juga telah mengenalkan dan menanamkan rasa cinta kepada bahasa ibu si anak. Pada saat itu pula, benih-benih kecintaan akan bahasanya mulai tumbuh.
Bagaimana seandainya seorang anak suku Dayak (Ngaju) tidak tahu-menahu tentang bahasa ibunya sendiri? Bagaimana dia bisa mengapresiasi bahasa dan budayanya? Memang di Kalimantan Tengah, kini, bahasa Ngaju sudah diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal, namun porsinya masih sangat kurang. Bahasa Ngaju hanya diajarkan selama setahun di tingkat sekolah dasar.
Masyarakat Dayak mengenal seni karungut, semacam tembang, yang syairnya berisi ajaran-ajaran mengenai kebajikan, dan deder, semacam berbalas pantun. Syair-syair karungut dan deder juga bisa menjadi wahana yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai keluhuran budaya. Karungut biasanya dinyanyikan dengan iringan katambung (semacam gendang), kangkanong (semacam gambang), dan kacapi (semacam gitar dengan dua senar).
Karungut biasa dinyanyikan dalam sebuah acara adat. Biasanya karungut dibawakan oleh sekelompok orang (biasanya terdiri atas 3—4 orang). Seorang memainkan kacapi, seorang memainkan katambung, dan seorang lagi memainkan kangkanong, sedangkan orang terakhir bertindak sebagai penyanyi.
Dalam sebuah karungut, yang kurang lebih mirip dengan tembang macapat dalam masyarakat Jawa, mengandung pesan-pesan yang luhur. Tema yang diusung biasanya berkisar pada tingkah laku manusia, alam sekitar, dan mite atau legenda.
Anak juga bisa belajar banyak dari syair-syair karungut itu. Dia bisa belajar bahasa sekaligus nilai keluhurannya. Pendekatan dan pengenalan yang komprehensif tentu akan membuat anak merasa nyaman dalam mempelajari dan meresapinya.
Dewasa ini, eksistensi ritual dan budaya semacam karungut, upacara-upacara adat, dan cerita-cerita tradisional mulai terancam. Serbuan budaya global semakin menyempitkan area tempat tinggalnya. Budaya barat dengan prestise yang ditawarkan telah membuat muatan lokal semacam ini kehilangan identitasnya.
Provinsi Kalimantan Tengah, dengan luas lebih dari 153.000 km2, adalah provinsi terluas ketiga di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur. Dengan begitu luasnya wilayah, provinsi ini juga memiliki bahasa (dan budaya) yang sangat beragam. Menurut SIL, ada 14 bahasa di Kalimantan Tengah. Namun, pendapat ini ditentang beberapa tokoh pemerhati bahasa di Kalimantan Tengah. Ada lebih dari 25 bahasa di Kalimantan Tengah dengan ratusan dialek.
Bahasa dengan penutur terbesar di Kalimantan Tengah adalah bahasa Ngaju. Kata Ngaju—yang berarti hulu/udik—sering disalahartikan. Bahasa ini pertama kali digunakan oleh penduduk di daerah hulu-hulu sungai yang ada di sana sehingga mereka menyebutnya bahasa Ngaju.
Seiring dengan perkembangan peradaban, bahasa Ngaju sedikit demi sedikit mulai bergeser ke ranah rumah tangga atau ranah-ranah lain yang lebih sempit. Penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa tingkat apresiasi masyarakat penutur jati bahasa Ngaju sudah banyak berkurang. Anak-anak sekolah, para pelaku perekonomian, dan para pejabat lebih memilih memakai bahasa lain, dalam hal ini bahasa Bajnar, sebagai bahasa pergaulan mereka.
Hal ini tentu merupakan pertanda yang tidak baik. Bahasa Ngaju yang seharusnya menjadi bahasa ibu dan bahasa pertama yang dikuasai sudah mulai termarjinalkan. Orang-orang tua akan lebih suka mengajarkan bahasa Banjar atau bahasa lain. Tindakan mereka mungkin bisa dipahami. Faktor sosial ekonomi lebih banyak berbicara di sini.
Ketika seorang anak mulai mengenal budaya dan bahasa ibunya, sejak saat itulah nilai-nilai luhur dari budaya itu tertanam dalam dirinya. Seorang anak adalah mahluk yang sangat reseptif. Dia akan ‘memakan’ apa saja yang dilihat atau didengarnya tanpa tahu apakah itu baik atau tidak.
Pondasi budaya yang baik tercipta manakala orang tua berhasil menanamkan esensi dan nilai-nilai budaya sehingga akan tertanam kokoh di benak seorang anak. Dengan kokohnya pondasi ini sekaligus akan berperan sebagai penyaring dan pemilah dalam menyikapi budaya yang sekiranya bertentangan.
Ketika seorang anak menonton sebuah tayangan televisi atau terlibat dalam sebuah kegiatan komunikasi, pada saat itu pula anak sedang terpajan oleh budaya luar. Budaya luar ini ada yang baik dan sepaham dengan pemahamannya, ada juga yang menyimpang. Dengan pondasi budaya yang telah dipunyai, anak akan mampu menjadi filter bagi dirinya sendiri untuk menyaring mana yang baik dan buruk.
Yang menarik perhatian ialah hasil pengamatan Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen, Jerman. Menurut Grossweiler, situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah  di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan bahasa-bahasa daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami nasib yang sama dengan bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah itu disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa nasionalisme dengan menggunakan bahasa nasional, dan mengalpakan bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang rasanya juga berlaku di Indonesia] industrialisasi dan factor-faktor lain mendukung upaya itu. Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai perkembangan yang mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh dunia. Dalam bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya bahasa internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.
Selain faktor di atas khusus mengenai situasi bahasa daerah di Indonesia, Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang mempengaruhi menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa, yaitu (1) orang tua mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwi-bahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya para sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan bahasa daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya multi-bahasa yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah, dan (7) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara sesama forum peduli perkembangan bahasa daerah.


  
7. Objek Budaya
Ketika terlahir, anak adalah sebuah lembaran kosong, pita perekam yang juga kosong, yang nantinya adalah tugas sang orang tua untuk menulisinya atau menggunakan pita kosong tersebut. Seorang anak, dengan kemampuan memori yang luar biasa, tanpa kita sadari menangkap semua yang ada di sekelilingnya. Apa yang ia tangkap, lihat, dengar, dan rasa, semua akan terekam dengan baik dalam memorinya. Semua ia rekam dan selanjutnya diproses dan disimpan dalam memorinya. Semua ini akan tercermin dan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari ketika si anak bertambah usia.
Berbicara mengenai bahasa, kita tidak mungkin terlepas dari budaya. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Kita juga tidak mungkin bisa terpisah dari hasil-hasil budaya. Televisi, radio, sepakbola, koran, adalah bagian dari budaya. Pengertian budaya secara luas adalah buah atau hasil dari pemikiran manusia yang memanfaatkan akal budinya yang nantinya dipergunakan untuk kehidupannya.
Apakah kebudayaan? Kebudayaan sebagai sebuah pandangan hidup adalah bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol—yang mereka terima tanpa sadar—yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah seni. Kebudayaan lebih dari sekedar seni. Dia adalah sebuah jaringan kerja antarmanusia. Kebudayaan memengaruhi perilaku dan sikap manusia.
Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Pacitan juga memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam. Mulai dari ritual dan upacara-upacara adat, cerita rakyat, dan kebhinekaan penduduk yang mendiaminya. Ada beberapa karya sastra yang berbentuk cerita rakyat atau legenda, diantaranya Legenda Kanjeng Jimat, Belik Bagong, Watu Tarung, Ceprotan dan sebagainya.
Pada era sekarang, banyak orang yang sudah melupakan esensi dari cerita-cerita rakyat itu. Anak-anak lebih senang dengan dongeng yang berasal dari luar, misalnya Cinderella, Ipin dan Upin, Spongbob, dan lain-lain. Memang cerita-cerita tersebut pada dasarnya mencerminkan sifat manusia, ada yang baik dan buruk, ada yang suci dan profan, ada yang hitam dan putih, namun identitas budaya daerah memegang peran yang jauh lebih kompleks.
Apabila para orang tua mempunyai tingkat kepedulian dan kecintaan yang tinggi terhadap budayanya, maka nilai-nilai kebaikan dari cerita-cerita tersebut akan dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Salah satu caranya adalah dengan menceritakan kembali kepada anak-anak mereka. Dengan menceritakan kembali, anak diharapkan dapat menangkap esensi dan nilai-nilai kebaikan dari cerita-cerita tersebut.
Dalam sebuah cerita rakyat atau legenda, biasanya terdapat karakter yang jahat dan baik. Sebuah cerita biasanya juga melukiskan bagaimana para tokoh protagonis mengarungi gegap gempitanya kehidupan dunia untuk mencapai tujuannya. Kisah yang dialami para tokoh inilah yang seharusnya dijadikan teladan oleh para anak.
Seorang anak perlu dikenalkan dengan budaya-budaya tersebut sejak dini. Di Brasil, bahkan, seorang anak wajib terjun bebas—dengan hanya memakai alat bantu dari akar pohon—dari ketinggian sekitar 20 meter untuk menunjukkan ia sudah dewasa. Apa yang bisa kita petik dari sini? Hal-hal semacam ini adalah kekayaan, warisan budaya dunia yang harus dijaga kelestariannya. Upacara-upacara tersebut tidak terjadi dan dijadikan begitu saja oleh para nenek moyang, melainkan sudah melalui proses yang sangat panjang dan totalisme berbudaya.
Nilai-nilai kebijaksanaanlah yang harus dikenal dan diselami oleh seorang anak agar ia bisa mendewasakan dirinya untuk menghadapi kehidupan yang lebih kompleks. Anak memang perlu mengenal kebudayaan lain, bahkan sebuah keharusan, namun budaya lain hanya sebagai pembanding dan pemerkaya wawasan sang anak. Anak perlu mengenal Cinderella, Si Bongkok dari Notre Dame, Hitch Hiker, dan banyak lagi. Namun, semua itu hanya sebagai pemberi gambaran, bahwa masih ada dunia lain yang sangat luas di luar dunianya.
Ketika seorang anak beranjak dewasa, nilai-nilai budaya yang dia kenal akan terakumulasi menjadi sebuah bangunan atau pondasi budaya. Anak hanya perlu memupuknya dan memeliharanya. Dialah sendiri yang nanti memutuskan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau tidak.
Kompleksitas budaya adalah sebuah keniscayaan untuk dihadapi oleh anak pada suatu masa. Kontak antarbudaya ini akan menimbulkan suatu pembelajaran dan pemahaman timbal balik, saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Di sini, anak sebagai pelaku budaya tengah menjalankan tugasnya. Dia akan menjadi duta budaya bagi dirinya sendiri dan mengusung nilai-nilai budaya yang dipunyainya. Pada saat yang sama, dia juga bertindak sebagai objek budaya karena dia menerima pajanan dari budaya lain.



5. Simpulan
Efektivitas komunikasi antarmanusia sangat tergantung pada pemahaman tentang nilai. Nilai adalah sesuatu yang abstrak tentang tujuan budaya yang akan kita bangun bersama melalui bahasa dan simbol, baik verbal maupun nonverbal. Dengan nilai, seseorang menentukan sesuatu itu boleh atau tidak boleh dilakukan.
Kecerdasan verbal dengan pondasi kultural yang mantap akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi anak dalam menatap dunianya ke depan. Kecerdasan verbal, sebagai salah satu sekian macam kelebihan multiaspek manusia, di samping kecerdasan emosional, musikal, spiritual, dan sebagainya, akan secara aktif bekerja, baik ketika mendapat rangsangan ataupun tidak. Ketika seorang anak memaknai sebuah pesan yang didapatnya secara langsung maupun tak langsung, memori dalam otaknya akan otomatis bekerja untuk mendefinisikan pesan itu secara proporsional.
Ketika seorang anak berhadapan dengan dunia yang lebih majemuk, dua hal ini akan memainkan perannya secara bersamaan. Pondasi budaya yang kuat dan sarat dengan nilai-nilai luhur akan menyaring informasi-informasi yang masuk secara bijak. Kecerdasan verbal akan membantu dari segi penalaran dan penyampaian. Dua dasar di atas juga membantu anak untuk bersikap rasional, menggunakan kecerdasan untuk melakukan tidakan terbaik dalam suatu keadaan.
Dengan kecerdasan verbalnya, anak bisa mengutarakan jalan pikirannya, melontarkan ide-idenya, mengomunikasikan perasaannya kepada orang lain, dengan cara yang baik, terstruktur, dan easily understandable. Dengan landasan budaya yang kokoh, kegiatan komunikasi yang ia lakukan akan berjalan dengan baik sesuai dengan esensi nilai budaya yang dianutnya. Kegiatan komunikasi akan berjalan dengan baik, santun, dan akrab.



Daftar Pustaka
Calne, Donald B. 2005. Batas Nalar. Jakarta: Gramedia.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Goodenough, Ward H. 1981. Culture, Language, and Society. Philiphines: Benjamin/Cumming Publishing.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Leakey, Richard. 2003. Asal-usul Manusia. Jakarta: Gramedia.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi. Jakarta: Rajawali.

Disampaikan di Seminar Internasional di Bandung Tahun 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar