Minggu, 18 Mei 2014

KAJIAN DERIVASI DAN INFLEKSI PADA KATA ULANG BAHASA INDONESIA (Berdasar Perspektif Prof. Dr. D. Edi Subroto)


A.    Pendahuluan
Kata ulang merupakan salah satu jenis kata yang ada dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan melalui pengulangan. Pengulangan atau juga dikenal dengan reduplikasi merupakan salah satu cara pembentukan kata selain afiksasi dan komposisi. Ketiga hal tersebut tentunya tercakup dalam ilmu yang disebut morfologi.
Morfologi sebagai salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik) mengaji atau mempelajari masalah perubahan bentuk-bentuk kata dan pengaruhnya terhadap golongan dan arti kata (Ramlan, 1987:21). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa morfologi tidak sekedar mempelajari tentang bentuk kata namun lebih lengkap dari itu yakni berkaitan dengan fungsi dan nosi setelah proses morfologi terjadi.
Morfologi berasal dari kata morf= bentuk dan logi=logos=ilmu. Merujuk pada etimologi tersebut sangat jelas bagi kita bahwa morfologi benar adanya merujuk pada hal yang dikutip dari pendapat Ramlan seperti tersebut di atas.
Dikutip dari Subroto (2012: 7) Aronoff dan Fudeman (2005) menyatakan bahwa morfologi dapat dipakai dalam anatomi (ilmu kedokteran), geologi, dan juga dalam linguistik. Dalam linguistik morfologi berkaitan dengan “pembentukan kata” atau cabang linguistik yang mengaji seluk beluk kata dalam sebuah bahasa bagaiman struktur internal kata dan bagaimana kata-kata itu dibentuk.
Suatu kata dapat terbentuk tentunya melalui proses. Proses pembentukan kata lebih lanjut disebut sebagai proses morfologi. Proses morfologi dalam setiap bahasa sangat unik dan bisa jadi berbeda-beda dari bahasa yang satu dengan lainnya. Proses morfologi yang dikenal dalam bahasa Indonesia dan lazim dibicarakan adalah terdiri atas tiga proses yaitu, (1) afiksasi, yaitu proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar (BD), sedangkan hasil dari proses tersebut adalah kata jadian (berimbuhan) ; (2) pemajemukan (komposisi) menghasilkan kata majemuk; (3) serta prosen pengulangan (reduplikasi) menghasilkan kata ulang.
Proses pengulangan atau reduplikasi dalam bahasa Indonesia ikut memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Namun demikian, betuk ini seringkali dikacaukan dengan bentuk kata yang “mirip” dengan kata ulang. Kata alon-alon ‘lapangan’, laba-laba ‘binatang’, kupu-kupu ‘binatang’, biri-biri ‘binatang’, dan masih banyak lagi yang lain. Bila disejajarkan dengan bentuk duduk-duduk, anak-anakan, bola-bola bentuk di atas dapat dikatakan mirip. Hal inilah yang perlu mendapatkan pencermatan lebih dalam sebelum melangkah melakukan analisis berkaitan dengan derivasi dan infleksi pada bentuk ulang bahasa Indonesia.
Derivasi dan infleksi seolah menjadi hal yang sangat langka. Padahal diakui atau tidak dalam morfologi bahasa Indonesia derivasi dan infleksi masih jarang dibicarakan. Sebagai bahasa aglutinatif (bahasa yang pembentukan katanya dengan afiksasi), tentu konsep infleksi, khususnya menjadi hal yang diperdebatkan karena bertentang dengan konsep aglutinatif.
Linguis Indonesia yang pernah menolak adanya kedua hal di atas adalah Harimurti Kridalaksana, dengan alasan karena bahasa Indonesia tidaklah tergolong infleksional. Namun demikian, berdasarkan pada kepustakaan yang lebih mutakhir (Mattews, 1974; Verhaar 1977; Aronoff 1981; Bauer 1983; Sudaryanto 1983) konsep tersebut dapat digunakan untuk mempertajam perian terhadap morfologi bahasa Indonesia tentunya dengan pemikiran pemaksaan bahwa bahasa Indonesia itu termasuk infleksional karena memang tidak relevan.
Infleksi (fleksi) adalah perubahan morfemis kata-kata yang mempertahankan identitas leksikal kata yang bersangkutan (Subroto, 2012:10). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa infleksi tidak mengubah kelas kata, dapat diprediksi berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis tertentu. Berbeda dengan infleksi, derivasi menurut (Subroto, 2012: 10) adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas leksikal yang berbeda (kata baru atau leksem baru). Hal ini mengandung pengertian bahwa derivasional mengacu pada konsep perubahan struktur internal kata dilihat dari urutan morfem-morfemnya yang secara umum dilabeli dengan “pembentukan kata”.
Hal unik dari morfologi bahasa Indonesia walaupun secara kategori bukanlah termasuk bahasa flektif namun pada kenyataannya bentuk-bentuk fleksi (infleksi) dalam morfologi bahasa Indonesia juga ditemukan. Hal ini menggelitik penulis untuk melakukan kajian lebih mendalam lagi karena pada hakekatnya bahasa mempunyai sifat universal namun juga unik sehingga kaidah-kaidah yang ada dalam setiap bahasa tentu dapat digunakan untuk memperkaya analisis sehingga bahasa manusia yang dikenal arbitrer atau mana suka tersebut bukan semata-mata tanpa aturan dan tanpa proses namun semua pastilah berkaidah.
Secara umum dalam makalah ini akan dibahasa tentang (1) konsep infleksi dan derviasi yang diangkat oleh D. Edi Subroto; (2) analisis derivasi dan infleksi berdasar pada tes fitur-fitur semantik D. Edi Subroto, dan (3) kemungkinan penerapan fitur-fitur semantik tersebut dalam beberapa data bahasa Indonesia khususnya pada kata ulang bahasa Indonesia.

B.     Konsep Bentuk Ulang dalam Bahasa Indonesia
Kata ulang seperti telah dijelaskan di atas merupakan bentuk kata yang lahir dari proses pengulangan. Sebagai bentuk kata yang lahir karena pengulangan tentu terdapat syarat-syarat sehingga suatu kata disebut sebagai bentuk ulang. Identifikasi terhadap suatu kata disebut sebagai bentuk ulang adalah sebagai berikut.
1.      Kata ulang pasti mempunyai bentuk dasar.
2.      Bentuk dasar kata ulang itu lazim digunakan dalam kehidupan berbahasa.
3.      Bentuk dasar dan bentuk ulang pada kata ulang  mempunyai jenis kata yang sama.
4.      Terdapat keterkaitan makna antara bentuk dasar dan bentuk ulang.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas jelaslah bahwa bila suatu kata tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat tersebut maka suatu kata tidak bisa disebut sebagai bentuk ulang. Contoh kasus pada kata lari yang diulang menjadi lari-lari, berlari-lari, berlari-larian,  dan kata laba-laba, biri-biri, kupu-kupu. Kedua klasifiksasi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut.
Tabel I
Bentuk Ulang
Bentuk Dasar
Kelaziman Bentuk Dasar
Jenis Kata BD-BU
Keterkaitan Makna BD-BU
Lari-lari
lari
Lazim
KK-KK
Merujuk makna yang sama beda intensitasnya saja
Berlari-lari
berlari
Lazim
KK-KK
Merujuk makna yang sama beda intensitasnya saja
Berlaria-larian
Berlarian
Lazim
KK-KK
Merujuk makna yang sama beda intensitasnya saja

Tabel II
Dicurigai Bentuk Ulang
Bentuk Dasar
Kelaziman Bentuk Dasar
Jenis Kata BD-BU
Keterkaitan Makna BD-BU
Alon-laon
Alon?
Tidak lazim
-
-
Laba-laba
Laba?
Tidak lazim
KB-KB
Binatang-Keuntungan
Biri-biri
Biri?
Tidak Lazim
KB_KB
-

Berdasar pada data di atas dapat dilakukan analisis bahwa pada tabel 1 dapat bentuk yang disajikan baik mulai bentuk dasar sampai dengan pengulangannya adalah hal yang lazim dalam bahasa Indonesia. Kelaziman dan ketidaklaziman diperoleh dari pemenuhan syarat kata ulang secara keseluruhan oleh bentuk tersebut di atas (tabel I).
            Berbeda halnya data pada tabel II yang menunjukkan sulitnya penentuan bentuk dasar (BD). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada tabel II kata-kata yang muncul bukanlah kata ulang karena tidak memenuhi sebagian syarat-syarat kata ulang.

C.    Jenis-jenis Kata Ulang
Ramlan (1987:69) menyebutkan bahwa kata ulang berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya dapat digolongkan menjadi empat golongan. Keempat golongan tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Pengulangan seluruh (pengulangan utuh)
Pengulangan seluruh ialah pengulangan pada bentuk dasar secara menyeluruh. Dalam hal ini bentuk yang diulang, diulang secara apa adanya tanpa berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Hal ini dapat dicontohkan pada kata-kata sebgai berikut.
a.       sepeda →sepeda-sepeda
b.      pertempuran → pertempuran-pertempuran
c.       kebaikan → kebaikan-kebaikan
2.      Pengulangan Sebagian
Pengulangan sebagian ialah pengulangan yang dilakukan dari sebagin bentuk dasar. Hal ini mengandung pengertian bahwa bentuk dasar tidak diulang secara keseluruhan. Disebutkan oleh Ramlan (1987:70) bahwa pengulangan jenis ini biasanya terjadi ada bentuk kompleks. Bentuk pengulangan sebagian contohnya sebagai berikut:
membaca → membaca-baca, melambaikan → melambai-lambaikan.

3.      Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks
Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks dihasilkan dari pengulangan bentuk dasar seluruhnya dan kemudian berkombinasi dengan afiks. Hal ini megandung pengertian bahwa pengulangan tersebut terjadi bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks dan bersama-sama mendukung satu fungsi. Misalnya pada kata kereta-keretaan. Proses terbentuknya kata tersebut adalah dari kereta → kereta-kereta →kereta-keretaan dan kemungkinan kedua adalah berasal dari kereta → kereta-keretaan.
4.      Pengulangan dengan Perubahan Fonem
Kata ulang golongan ini disebutkan oleh Ramlan bentuknya sangat sedikit. Pengulangan ini dilakukan dengan mengubah bunyi fonem suatu kata menjadi fonem lain pada bentuk pengulangannya. Misalnya pada kata bolak-balik. Fonem /o/ pada bolak berubah menjadi /a/ pada balik dan /a/ pada bolak berubha menjadi /i/ pada balik.

D.    Konsep Morfologi Derivasional dan Morfologi Infleksional
Konsep morfologi derivasional dan infleksional seperti telah dicuplik di atas perlu kiranya dipaparkan lebih mendalam lagi sebelum memasuki ranah pemikiran serta sudut pandang D. Edi Subroto berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas. Konsep ini sangat penting dibicarakam karena tanpa memahami gagasan dekotomi derivasi dan infleksi dari linguis lain tentu akan ditemukan kesulitan dalam menggarisbawahi pemikiran D. Edi Subroto berkaitan dengan derivasi dan infleksi.
Beberapa ahli seperti Bauer (1988:80) menjelaskan gagasannya tentang konsep derivasi dan infleksi dalam bukunya yang berjudul Introducing Linguistic Morphology. Bauer menyatakan bahwa morfologi dipilah menjadi berdasarkan dua cabang yaitu morfologi derivasional dan morfologi infleksional. Infleksi menurut Bauer merupakan bagian dari sintaksis karena sifanya melengkapi bentuk-bentuk leksem sedangkan derivasi menjadi bagian dari leksis karena menyediakan leksem-leksem baru.
Matthews mempunyai gagasan yang sama dengan Bauer. Dalam bukunya Morphology: An Introduction to the Theory of Word-Structure (1974), Matthews membagi morfologi menjadi dua bidang yaitu morfologi infleksional dan morfologi leksikal. Matthews memandang adanya perbedaan antara proses infleksi dan proses pembentukan kata (word formation). Word formation sendiri menurut Mattews terbagi atas dua hal yaitu derivasi dan komposisi. Matthews secara eksplisit menyebutkan bahwa yang termasuk dalam ruang lingkup pembentukan kata hanyalah morfologi derivasional (leksikal) sedangkan morfologi infleksional tidak.
Morfologi leksikan disebutkan oleh Matthews mengaji kaidah-kaidah pembentukan kata yang menghasilkan kata-kata baru yang secara leksikal berbeda (beridentitas baru) dari kata yang menjadi dasarnya. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa kata-kata baru dibentuk dari sebuah proses dalam bahasa yang secara nyata (eksplisit) tampak terjadi perubahan pada kata-kata yang dimaksud berkaitan dengan bentuk maupun jenis katanya.
Hal tersebut di atas sangat berbeda dengan konsep infleksi, yang disebut Matthews dengan morfologi infleksional. Morfologi infleksional dimaknai oleh Matthews sebagai upaya untuk mengaji hasil-hasil pembentukan kata yang berasal dari leksem yang sama.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat ditarik benang merah bahwa pada prinsipnya derivasi merupakan proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda). Berbeda dengan derivasi, infleksi berdasarkan paparan di atas dapat dimaknai sebagai sebagai proses pembentukan kata yang menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Pembentukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan sedangkan pembentukan infleksi bersifat teramalkan (predictable). Contohnya verba sing, sings, singing, sang yang penggunaan kata tersebut dapat teramalkan karena sudah ada sistem yang membentuk kapan menggunakan sing, sings dan seterusnya. Berbeda halnya dengan bentuk derivasional dalam kata do menjadi doer dan have menjadi *haver. Kata have secara logika seharusnya dapat ditambahkan dengan sufiks –r/-er kata do dan have memiliki kelas yang sama (do dan have adalah verba). Oleh karena itu, pasti dapat ditambahkan –r atau –er.  Namun demikian, aturan do + er ini tidaklah berlaku pada kata kerja have karena secara tata bahasa tidak berterima. Berdasarkan hal tersebut dapat ditegaskan bahwa proses derivasi adalah proses yang tidak teramalkan (unpredictable).
Secara rinci perbedaan derivasional dan infleksional dikemukakan oleh Nida dalam Subroto (1985: 269) sebagai berikut.

No
Derivasi
Infleksi
1.
Pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan tunggal (yang termasuk sistem jenis kata tertentu) seperti singer ‘penyanyi’ (nomina) dari verba (to) sing ‘menyanyi’, termasuk jenis kata yang sama dengan boy ‘anak laki-laki’
Pembentukan infleksional tidak termasuk kata yang sama dalam suatu sistem kebahasaan. Misalnya kata walked tidak termasuk beridentitas sama dengan verba monomorfemis yang mana pun juga dalam sistem morfologi bahasa Inggris.
2.
Secara statistik afisk derivasional lebih beragam, misalnya terdapatnya afiks-afiks pembentuk nomina dalam bahasa Inggris, yaitu –er, -ment, - -ion, - ation, - ness.
Secara statistik afiks inflesional kurang beragam, misalnya –s dengan segala variasinya, -ed1, -ed2, ing, work, worked1, worked2, working.
3.
Afiks-afiks derivasional dapat mengubah kelas kata
Afiks-afiks infleksional tidak dapat mengubah kelas kata

4.
Afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas (misalnya: afiks derivasional –er diramalkan tidak selalu terdapat pada dasar verba untuk membentuk nomina)
Afiks-afiks infleksional mempunyai distribusi yang lebih luas
5.
Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar pembentukan berikutnya, misalnya sing (V)→singer (N)→singers (N)
Pembentukan infleksional tidak dapat menjadi dasar pembentukan berikutnya.

            Penerapan konsep derivasi dan infleksi dalam bahasa-bahasa Eropa, utamanya Inggris dapat diterapkan secara konsisten. Bentuk lingual cats (dari cat), stop, stopped, stoping (stop), dan lain-lain merupakan bentuk infleksi. Bentuk derivasi dicontohkan, misalnya runner (run), beautify (beauty). Semu bentuk chair, jika mendapatkan sufiks –s maka pastilah bentuk jamak (plural) seperti halnya book, wall dan lain-lain. Namun, dalam bahasa Indonesia tidaklah demikian karena bahasa Indonesia merupakan bahasa aglutinatif bukan flekstif. Ikhwal bentuk lingual membaca dan mendengar adalah infleksi sedangkan menggunting adalah derivasi. Hal yang menarik yang perlu dicermati di sini adalah apakah pengertian infleksi dan derivasi dapat diterapkan secara konsisiten dalam bahasa Indonesia.
E.       Konsep Derivasional dan Infleksional Edi Subroto
Pendapat Edi Subroto berkaitan dengan konsep derivasi dan infleksi pada hakekatnya adalah sama dengan yang diungkapkan oleh para linguis yang lain. Linguis Indonesia yang sudah mengemukakan secara eksplisit konsep derivasi dan infleksi ialah Verhaar (1977, 1996) dan Edi Subroto (1985, 1987, 1996) yang dikutip dari buku Edi Subroto (2012:10), yang menyatakan  konsep derivasi dan infeksi sebagai berikut.
Infleksi menurut pendapat kedua ahli di atas adalah perubahan morfemis kata-kata yang mempertahankan identitas leksikal kata yang bersangkutan, sedangkan derivasi adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas leksikal yang berbeda (kata baru atau leksem baru). Perubahan morfemis yang dimaksud di atas adalah berkaitan dengan perubahan struktur internal kata dilihat dari urutan morfem-morfemnya, yang secara umum dilabeli dengan pembentukan kata. Hal ini dapat ditilik dari contoh kata menggunting yang dibentuk dari kata (morfem dasar) gunting terdapat urutan morfem dasar sepeda yang memeroleh prefiks me(Ng)-. Bentuk lingual gunting →menggunting sangat jelas terjadi perubahan kelas kata, yaitu dari kata benda (KB/N) menjadi kata kerja (KK/V). Berdasar contoh tersebut dapat dicermati bahwa dengan afiksasi berupa prefiks pada kata gunting maka terjadi perubahan kelas kata. Dengan demikian, pembentukan tersebut dikategorikan dalam derivasional.
Verhaar menyatakan setiap pembentukan yang mengubah kelas kata berarti pula mengubah identitas leksikal kata. Dipertegas oleh Subroto bahwa pembentukan yang tidak mengubah kelas kata tetap termasuk derivasional apabila identitas leksikal berubah.
Hal yang kedua di atas sedikit menggelitik karena konsep derivasi tidak semata-mata dilihat dari ada atau tidaknya perubahan kelas kata namun sudah mulai dilihat dari struktur dalam bentuk lingual. Hal ini mengandung pengertian bahwa bukan sekedar perubahan secara nyata yang dilihat (surface structure) namun lebih kepada deep structute, sehingga dapatlah dikatakan bahwa dalam perspektif Edi Subroto penganalisisan suatu bentuk lingual dikategorikan sebagai derivasi atau infleksi juga didasarkan pada segi makna (semantik). Upaya penganalisisan serta pembuktian bentuk infleksi dan derivasi dikemukakan oleh Edi Subroto dengan menggunakan fitur-fitur semantik yang oleh Verhaar disebut sebagai tes dekomposisi leksikal.

F.      Analisis Derivasi dan Infleksi pada Jenis Kata Ulang Bahasa Indonesia Berdasar Pembagian Ramlan dari Perspektif Prof. Dr. D. Edi Subroto
            Tes dekomposisi leksikal merupakan tes menguarai fitur-fitur semantik dari suatu satuan leksikal. Dicontohkan dalam buku Edi Subroto (2012), satuan leksikal LURAH memiliki fitur-fitur semantik benda, bernyawa, manusia, konkret, dan memiliki jabatan sebagai lurah. Sedangkan, satuan leksikal KELURAHAN memiliki fitur-fitur semantik benda, tak bernyawa, bukan manusia, tingkat pemerintahan terendah, ada batas wilayah, konkret, memiliki perangkat, ada sistemnya, dan mengurusi pemerintahan tingkat desa.
            Leksem KELURAHAN yang dibentuk dari leksem LURAH dengan konfiks ke-an tidak mengubah kelas kata. Artinya, KELURAHAN dan LURAH semua berjenis kata benda. Namun demikian, kedua kata tersebut mempunyai identitas leksikal berbeda karena fitur-fitur semantiknya berbeda, demikian juga dengan referen kedua leksem tersebut yang berbeda.
            Apa yang dicontohkan oleh Edi Subroto di atas menggelitik penulis untuk menerapkannya dalam kata ulang bahasa Indonesia. Pada fenomena di atas dapat dikatakan bahwa kasus infleksi dan derivasi tersebut adalah pada proses morfologi afiksasi (pengimbuhan). Selama ini, hal tersebut sudah sangat biasa dan marak dibicarakan. Namun, pada kasus pengulangan dan pemajemukan yang menghasilkan kata ulang dan majemuk masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan disajikan tentang analisis derivasi dan infleksi pada kata ulang yang dibagi penjenisannya oleh Ramlan dari sudut pandang Prof. Dr. D. Edi Subroto.

G.    Penerapan Fitur-fitur Semantik dalam Kata Ulang Bahasa Indonesia
B                                                         A                                                         C
LARI  <-------------------------    BERLARI  ---------------------> BERLARIAN
lari-lari                                          Berlari-lari                                   Berlari-larian

            JAUH                                                                                          BERJAUHAN
            Jauh-jauh                                                                                      Berjauh-jauhan

            PUKUL                                                                                      BERPUKULAN
            Pukul-pukul                                                                                 Berpukul-pukulan

            Pada contoh di atas dapat diketahui adanya bentuk pengulangan baik pengulangan seluruhnya seperti lari-lari, jauh-jauh, dan pukul-pukul, terdapat pula bentuk pengulangan sebagian seperti berlari-lari, yaitu adanya pengulangan kata lari, dan bentuk kata ulang dengan penambahan fonem seperti pada bentuk kata ulang dengan bentuk dasar berupa kata berimbuhan. Hal ini dapat dicermati dari munculnya kata ulang berlari-larian dari kata dasar berlarian, berjauh-jauhan dari kata dasar berjauhan, dan bentuk ulang berpukul-pukulan yang berasal dari bentuk dasar berpukulan.       
            Bentuk dasar lari yang membentuk kata ulang lari-lari merupakan bentuk infleksional karena pengulangan tersebut tidak mengubah kelas kata. Lari mempunyai jenis kata KK setelah diulang menjadi lari-lari tetap berjenis KK. Kedua kata tersebut mempunyai makna sepadan hanya intensitasnya yang sedikit berbeda.Demikian juga dengan kata berlari-lari dari bentuk dasar berlari, serta berlarian yang membentuk kata ulang berlari-larian merupakan bentuk infleksional karena pada prinsipnya jenis katanya tetap (tidak mengubah jenis kata) dari KK dan tetap KK ketika diulang. Hal serupa juga terjadi pada bentuk berlarian yang memunculkan kata-berlari-larian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prefiks ber, dan konfiks ber-an merupakan imbuhan infleksional bila melekat dengan kata ulang seperti tersebut di atas.   
AMBIL                                  MENGAMBIL
            Ambil-ambil                            mengambil-ambil
           
            LAMBAI                               MELAMBAI                         MELAMBAIKAN
            Lambai-lambai                        melambai-lambai                     Melambai-lambaikan
            Sama halnya dengan bentuk lari-lari, bentuk ambil-ambil yang berasal dari bentuk dasar ambil yang berjenis KK tetap KK pada bentuk ulangnya. Dalam peristiwa ini karena tidak terjadi perubahan jenis kata dari dasar ke ulang maka bentukan tersebut termasuk dalam kaidah infleksional. Demikian juga pada kata lambai menjadi lambai-lambai tidak mengubah jenis kata, yaitu tetap kata kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada bentuk ulang penuh tidak terjadi perubahan kelas kata yang hal ini mengandung kaidah infleksional.
            Selain pengulangan penuh berdasar data di atas juga terdapat kata ulang sebagian. Bentuk dasar melambai yang diulang menjadi melambai-lambai, dan bentuk ulang melambaikan menjadi melambai-lambaikan tidaklah mengubah jenis kata. Bentuk dasar pada kata-kata tersebut adalah KK dan kata ulang yang dibetuknya tetap kata kerja (KK).
            Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa imbuhan atau afiks me- serta me-kan seperti halnya ber- dan ber-an di atas tidak mengubah kelas atau jenis kata. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengimbuhan pada bentuk dasar tidak mengubah jenis kata yang hal ini berarti mengandung kaidah infleksional.

MINUM                                  MINUMAN
Minum-minum                        minum-minuman
                                                TUMBUHAN
                                                Tumbuh-tumbuhan
           
Bentuk dasar minum menjadi minum-minum pada prinsipnya tidak mengubah jenis kata. Minum berjenis kata kerja (KK) dan minum-minuman juga berjenis KK. Dalam hal ini terdapat kaidah infleksional karena tidak terjadi perubahan jenis kata. Sedikit berbeda dengan minum kata dasar tumbuh tidak lazim dilakukan pengulangan penuh menjadi tumbuh-tumbuh. Bentuk yang lazim muncul dalam kebahasaan adalah tumbuh-tumbuhan yang berarti tanaman. Antara tumbuhan dan tumbuh-tumbuhan mempunyai jenis kata yang sama yaitu KB. Dengan demikian, prinsipnya bahwa pengulangan sebagian tidak mengubah jenis kata sehingga di dalamnya terdapat kaidah infleksional.

ANAK           
Anak-anak                               Anak-anakan

RUMAH
Rumah-rumah                         Rumah-rumahan

ORANG
Orang-orang                            Orang-orangan

            Contoh di atas berdasarkan kategorisasi kata ulang menurut Ramlan adalah termasuk dalam kata ulang dengan pembubuhan fonem. Hal unik dan sedikit berbeda dengan jenis kata ulang sebelumnya, pada kata ulang ini pada prinspnya juga sama yaitu tidak mengubah jenis kata. Hal ini dapat dicontohkan dari kata dasar anak membentuk anak-anak, rumah membentuk rumah-rumah, orang membentuk orang-orang adalah mempunyai bentuk dasar dan bentuk ulang dengan jenis kata yang sama yaitu KB (kata Benda). Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam pembentukan kata ulang dengan penambahan fonem tidak terjadi perubahan jenis kata. Namun demikian, fitur semantik atau makna yang dibangun dari bentuk dasar dan bentuk ulang pada contoh di atas adalah berbeda. Anak mengacu pada referen seorang manusia yang masih kecil (usia tertentu/belum dewasa). Sedangkan, anak-anakan mengancu pada mainan (tiruan manusia kecil). Dengan demikian, pada bentukan kata ulang dengan penambahan fonem tersebut terjadi peristiwa derivasional karena fitur semantik atau makna yang dibangun berbeda walapun jens kata dari bentuk dasar ke bentuk ulang tidak mengalami perubahan.

HITAM                                               PUTIH                                                           
Hitam-hitam                                        Putih-putih                                         
Kehitam-hitaman                                Keputih-putihan                                 

Berdasar data di atas dapat dicermati bahwa bentuk dasar hitam mempunyai jenis kata sifat (KS). Bentuk dasar tersebut setelah diulang menjadi hitam-hitam juga mempunyai jenis kata KS. Namun demikian, setelah dilakukan pengulangan dengan pembubuhan afiks (penambahan afiks) yang berdasarkan data tersebut di atas adalah konfiks ke-an menjadi kehitam-hitaman mempunyai makna ‘agak hitam’ yang sedikit berbeda dari mana dasarnya ‘benar-benar/sangat hitam’ walaupun jenis katanya tetap KS. Jenis kata yang tidak berubah tetapi fitur semantik berubah menandakan bahwa bentukan tersebut terdapat kaidah peristiwa derivasional.

GERAK                                              SERBA
Gerak-gerik                                         Serba-serbi

Pada data di atas dapat dicermati bahwa antara bentuk dasar yaitu gerak dan bentuk ulang gerak gerik mempunyai jenis kata yang sama, yaitu kata KK. Demikian juga pada kata dasar serba yang mempunyai bentuk ulang serba-serbi, pengulangan tersebut tidak mengubah jenis kata.
            Pada bentuk dasar gerak yang menjadi bentuk ulang gerak-gerik terjadi perubahan fonem /a/ menjadi /i/. Demikian juga pada kata serba-serbi juga terjadi perubahan fonem /a/ menjadi /i/. Oleh karenanya bentuk ualng yang demikian disebut sebagai kata ulang dengan perubahan fonem.
            Ditilik dari jenis kata bentuk dasar dan bentuk ulang pada data di atas adalah sama, yaitu merujuk pada kata kerja (KK). Namun demikian, bila ditinjau dari sisi makna (fitur semantik) kedua data tersebut menunjukkan konsep sedikit berbeda antara bentuk dasar dan bentuk ulangnya. Kata gerak mempunyai makna berpindah dari satu tempat ke tempat lain berbeda maknanya dengan gerak-gerik yang lebih merujuk pada tingkah laku, misalnya pada kalimat “Gerak geriknya mencurigakan”. Demikian juga pada kata serba yang menjadi serba-serbi. Berdasar analisis di atas dapat dikatakan bahwa terdapat kaidah derivasional karena fitur semantik antara bentuk dasar dan ulang berbeda walaupun perstiwa pengulangan dengan perubahan fonem tersebut tidak mengubah jenis kata.


H.    Penutup
Berdasarkan analisis serta paparan di atas, utamnya yang berkaitan dengan hal ikhwal derivasi dan infleksi dari sudut pandang Prof. Dr. D. Edi Subroto terutama yang berkaitan dengan kata ulang bahasa Indoneisa dapat disimpulkan beberap hal sebagai berikut.
1.      Proses pembentukan kata pada setiap bahasa sangat banyak jumlahnya.
2.      Kata dapat dibentuk untuk memenuhi fungsi derivasional maupun infleksional demikian juga dengan kata ulang dalam bahasa Indonesia.
3.      Cara-cara untuk melakukan identifikasi apakah sebuah afiks bersifat derivasional atau infleksional adalah sebagai berikut.
a.       Jika sebuah afiks merubah bentuk dasarnya, maka afiks tersebut bersifat derivasional. Sedangkan, afiks-afiks yang tidak merubah kelas kata bentuk dasarnya maka disebut sebagai afiks infleksional.
b.      Afiks-afiks infleksional selalu menampakkan makna yang teratur atau dapat diprediksi namun sebaliknya, makna-makna dari afiks-afiks derivasional tidak dapat diramalkan.
c.       Afiks-afiks infleksional bersifat tidak produktif sedangkan afiks-afiks derivasional bersifat produktif.
d.      Proses pengulangan dalam bahasa Indonesia yang melahirkan kata ulang mempunyai spesifikasi dan keunikan berkaitan dengan infleksi dan derivasi. Kata ulang utuh (seluruhnya) pada intinya tidak mengubah jenis kata demikian juga dengan makna. Dengan demikian pada bentuk kata ulang tersebut terdapat kaidah infleksional. Demikian juga pada kata ulang sebagian yang tidak mengubah jenis kata dan tidak mengubah fitur semantik.
e.       Kaidah derivasional juga ditemukan dalam proses pengulangan (reduplikasi) bahasa Indonesia. Hal terjadi pada pembentukan kata ulang yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, seperti kereta menjadi kereta-keretaan. Kedua Kata tersebut mempunyai jenis kata yang sama, yaitu kata benda (KB) tetapi fitur semantik di antara keduanya berbeda kereta merujuk pada alat angkutan (transportasi) darat sedangkan kereta-keretaan merujuk pada tiruan alat transportasi (mainan anak-anak). Demikian juga pada bentuk hitam menjadi kehitam-hitaman yang berbeda fitur semantinya.
f.       Proses pengulangan yang merujuk pada jenis kata ulang dengan perubahan fonem pada prinsipnya tidak mengubah jenis kata walaupun secara fitur semantik berbeda. Sayur menjadi sayur mayur, mempunyai fitur semantik yang berbeda sehingga pada bentukan ini mengandung kaidah derivasional.



PUSTAKA ACUAN
Bauer, Laurie. 1983. English Word Formation. London: Cambridge University Press.
------------. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Great Britain: Edinburg University Press.

Brinton, Laurel J. 2000. The Structure of Modern English: A Linguistic Introduction. Amsterdam: John Benjamins.

Katamba, Francis. 1993. Morphology. England: The Macmillan Press LTD.
Matthews, P.H. 1974. Morphology: An Introduction to The Theory of Word Strucuture. London: Cambridge University Press.

Ramlan. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V. Karyono.
Subroto, Edi.2012. Pemerian Morfologi Bahasa Indonesia (Berdasarkan Perspektif Derivasi dan Infleksi Proses Afiksasi). Surakarta: Yuma Pressindo.

Verhaar, J.W.M., 2008. Azaz-Azaz Linguistik Umum.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar