A.
Pendahuluan
Kata
ulang merupakan salah satu jenis kata yang ada dalam bahasa Indonesia yang
dihasilkan melalui pengulangan. Pengulangan atau juga dikenal dengan
reduplikasi merupakan salah satu cara pembentukan kata selain afiksasi dan
komposisi. Ketiga hal tersebut tentunya tercakup dalam ilmu yang disebut morfologi.
Morfologi
sebagai salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik) mengaji atau mempelajari
masalah perubahan bentuk-bentuk kata dan pengaruhnya terhadap golongan dan arti
kata (Ramlan, 1987:21). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa morfologi
tidak sekedar mempelajari tentang bentuk kata namun lebih lengkap dari itu
yakni berkaitan dengan fungsi dan nosi setelah proses morfologi terjadi.
Morfologi
berasal dari kata morf= bentuk dan logi=logos=ilmu. Merujuk pada etimologi
tersebut sangat jelas bagi kita bahwa morfologi benar adanya merujuk pada hal
yang dikutip dari pendapat Ramlan seperti tersebut di atas.
Dikutip
dari Subroto (2012: 7) Aronoff dan Fudeman (2005) menyatakan bahwa morfologi
dapat dipakai dalam anatomi (ilmu kedokteran), geologi, dan juga dalam
linguistik. Dalam linguistik morfologi berkaitan dengan “pembentukan kata” atau
cabang linguistik yang mengaji seluk beluk kata dalam sebuah bahasa bagaiman
struktur internal kata dan bagaimana kata-kata itu dibentuk.
Suatu
kata dapat terbentuk tentunya melalui proses. Proses pembentukan kata lebih
lanjut disebut sebagai proses morfologi. Proses morfologi dalam setiap bahasa
sangat unik dan bisa jadi berbeda-beda dari bahasa yang satu dengan lainnya.
Proses morfologi yang dikenal dalam bahasa Indonesia dan lazim dibicarakan
adalah terdiri atas tiga proses yaitu, (1) afiksasi, yaitu proses pembubuhan
afiks pada bentuk dasar (BD), sedangkan hasil dari proses tersebut adalah kata
jadian (berimbuhan) ; (2) pemajemukan (komposisi) menghasilkan kata majemuk; (3)
serta prosen pengulangan (reduplikasi) menghasilkan kata ulang.
Proses
pengulangan atau reduplikasi dalam bahasa Indonesia ikut memperkaya kosa kata
bahasa Indonesia. Namun demikian, betuk ini seringkali dikacaukan dengan bentuk
kata yang “mirip” dengan kata ulang. Kata alon-alon ‘lapangan’, laba-laba
‘binatang’, kupu-kupu ‘binatang’, biri-biri ‘binatang’, dan masih banyak lagi
yang lain. Bila disejajarkan dengan bentuk duduk-duduk, anak-anakan, bola-bola
bentuk di atas dapat dikatakan mirip. Hal inilah yang perlu mendapatkan
pencermatan lebih dalam sebelum melangkah melakukan analisis berkaitan dengan
derivasi dan infleksi pada bentuk ulang bahasa Indonesia.
Derivasi
dan infleksi seolah menjadi hal yang sangat langka. Padahal diakui atau tidak
dalam morfologi bahasa Indonesia derivasi dan infleksi masih jarang
dibicarakan. Sebagai bahasa aglutinatif (bahasa yang pembentukan katanya dengan
afiksasi), tentu konsep infleksi, khususnya menjadi hal yang diperdebatkan
karena bertentang dengan konsep aglutinatif.
Linguis
Indonesia yang pernah menolak adanya kedua hal di atas adalah Harimurti
Kridalaksana, dengan alasan karena bahasa Indonesia tidaklah tergolong
infleksional. Namun demikian, berdasarkan pada kepustakaan yang lebih mutakhir
(Mattews, 1974; Verhaar 1977; Aronoff 1981; Bauer 1983; Sudaryanto 1983) konsep
tersebut dapat digunakan untuk mempertajam perian terhadap morfologi bahasa
Indonesia tentunya dengan pemikiran pemaksaan bahwa bahasa Indonesia itu
termasuk infleksional karena memang tidak relevan.
Infleksi
(fleksi) adalah perubahan morfemis kata-kata yang mempertahankan identitas
leksikal kata yang bersangkutan (Subroto, 2012:10). Hal tersebut mengandung
pengertian bahwa infleksi tidak mengubah kelas kata, dapat diprediksi
berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis tertentu. Berbeda dengan infleksi, derivasi
menurut (Subroto, 2012: 10) adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata
dengan identitas leksikal yang berbeda (kata baru atau leksem baru). Hal ini
mengandung pengertian bahwa derivasional mengacu pada konsep perubahan struktur
internal kata dilihat dari urutan morfem-morfemnya yang secara umum dilabeli
dengan “pembentukan kata”.
Hal
unik dari morfologi bahasa Indonesia walaupun secara kategori bukanlah termasuk
bahasa flektif namun pada kenyataannya bentuk-bentuk fleksi (infleksi) dalam
morfologi bahasa Indonesia juga ditemukan. Hal ini menggelitik penulis untuk
melakukan kajian lebih mendalam lagi karena pada hakekatnya bahasa mempunyai
sifat universal namun juga unik sehingga kaidah-kaidah yang ada dalam setiap
bahasa tentu dapat digunakan untuk memperkaya analisis sehingga bahasa manusia
yang dikenal arbitrer atau mana suka tersebut bukan semata-mata tanpa aturan
dan tanpa proses namun semua pastilah berkaidah.
Secara
umum dalam makalah ini akan dibahasa tentang (1) konsep infleksi dan derviasi
yang diangkat oleh D. Edi Subroto; (2) analisis derivasi dan infleksi berdasar
pada tes fitur-fitur semantik D. Edi Subroto, dan (3) kemungkinan penerapan
fitur-fitur semantik tersebut dalam beberapa data bahasa Indonesia khususnya
pada kata ulang bahasa Indonesia.
B.
Konsep
Bentuk Ulang dalam Bahasa Indonesia
Kata ulang seperti telah dijelaskan di atas
merupakan bentuk kata yang lahir dari proses pengulangan. Sebagai bentuk kata
yang lahir karena pengulangan tentu terdapat syarat-syarat sehingga suatu kata
disebut sebagai bentuk ulang. Identifikasi terhadap suatu kata disebut sebagai
bentuk ulang adalah sebagai berikut.
1. Kata
ulang pasti mempunyai bentuk dasar.
2. Bentuk
dasar kata ulang itu lazim digunakan dalam kehidupan berbahasa.
3. Bentuk
dasar dan bentuk ulang pada kata ulang
mempunyai jenis kata yang sama.
4. Terdapat
keterkaitan makna antara bentuk dasar dan bentuk ulang.
Berdasarkan
ciri-ciri tersebut di atas jelaslah bahwa bila suatu kata tidak memenuhi salah satu
dari keempat syarat tersebut maka suatu kata tidak bisa disebut sebagai bentuk
ulang. Contoh kasus pada kata lari yang diulang menjadi lari-lari,
berlari-lari, berlari-larian, dan kata
laba-laba, biri-biri, kupu-kupu. Kedua klasifiksasi kata tersebut dapat
dianalisis sebagai berikut.
Tabel I
Bentuk Ulang
|
Bentuk Dasar
|
Kelaziman Bentuk Dasar
|
Jenis Kata BD-BU
|
Keterkaitan Makna BD-BU
|
Lari-lari
|
lari
|
Lazim
|
KK-KK
|
Merujuk makna
yang sama beda intensitasnya saja
|
Berlari-lari
|
berlari
|
Lazim
|
KK-KK
|
Merujuk makna
yang sama beda intensitasnya saja
|
Berlaria-larian
|
Berlarian
|
Lazim
|
KK-KK
|
Merujuk makna
yang sama beda intensitasnya saja
|
Tabel II
Dicurigai Bentuk Ulang
|
Bentuk Dasar
|
Kelaziman Bentuk Dasar
|
Jenis Kata BD-BU
|
Keterkaitan Makna BD-BU
|
Alon-laon
|
Alon?
|
Tidak
lazim
|
-
|
-
|
Laba-laba
|
Laba?
|
Tidak
lazim
|
KB-KB
|
Binatang-Keuntungan
|
Biri-biri
|
Biri?
|
Tidak
Lazim
|
KB_KB
|
-
|
Berdasar pada data di
atas dapat dilakukan analisis bahwa pada tabel 1 dapat bentuk yang disajikan
baik mulai bentuk dasar sampai dengan pengulangannya adalah hal yang lazim
dalam bahasa Indonesia. Kelaziman dan ketidaklaziman diperoleh dari pemenuhan
syarat kata ulang secara keseluruhan oleh bentuk tersebut di atas (tabel I).
Berbeda halnya data pada tabel II yang menunjukkan
sulitnya penentuan bentuk dasar (BD). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pada tabel II kata-kata yang muncul bukanlah kata ulang karena tidak memenuhi
sebagian syarat-syarat kata ulang.
C.
Jenis-jenis
Kata Ulang
Ramlan (1987:69) menyebutkan bahwa kata ulang
berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya dapat digolongkan menjadi empat
golongan. Keempat golongan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pengulangan
seluruh (pengulangan utuh)
Pengulangan
seluruh ialah pengulangan pada bentuk dasar secara menyeluruh. Dalam hal ini
bentuk yang diulang, diulang secara apa adanya tanpa berkombinasi dengan proses
pembubuhan afiks. Hal ini dapat dicontohkan pada kata-kata sebgai berikut.
a. sepeda
→sepeda-sepeda
b. pertempuran
→ pertempuran-pertempuran
c. kebaikan
→ kebaikan-kebaikan
2. Pengulangan
Sebagian
Pengulangan
sebagian ialah pengulangan yang dilakukan dari sebagin bentuk dasar. Hal ini
mengandung pengertian bahwa bentuk dasar tidak diulang secara keseluruhan.
Disebutkan oleh Ramlan (1987:70) bahwa pengulangan jenis ini biasanya terjadi
ada bentuk kompleks. Bentuk pengulangan sebagian contohnya sebagai berikut:
membaca
→ membaca-baca, melambaikan → melambai-lambaikan.
3. Pengulangan
yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks
Pengulangan yang berkombinasi dengan proses
pembubuhan afiks dihasilkan dari pengulangan bentuk dasar seluruhnya dan
kemudian berkombinasi dengan afiks. Hal ini megandung pengertian bahwa
pengulangan tersebut terjadi bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks dan
bersama-sama mendukung satu fungsi. Misalnya pada kata kereta-keretaan. Proses
terbentuknya kata tersebut adalah dari kereta → kereta-kereta →kereta-keretaan
dan kemungkinan kedua adalah berasal dari kereta → kereta-keretaan.
4. Pengulangan
dengan Perubahan Fonem
Kata
ulang golongan ini disebutkan oleh Ramlan bentuknya sangat sedikit. Pengulangan
ini dilakukan dengan mengubah bunyi fonem suatu kata menjadi fonem lain pada
bentuk pengulangannya. Misalnya pada kata bolak-balik. Fonem /o/ pada bolak
berubah menjadi /a/ pada balik dan /a/ pada bolak berubha menjadi /i/ pada balik.
D.
Konsep
Morfologi Derivasional dan Morfologi Infleksional
Konsep
morfologi derivasional dan infleksional seperti telah dicuplik di atas perlu
kiranya dipaparkan lebih mendalam lagi sebelum memasuki ranah pemikiran serta
sudut pandang D. Edi Subroto berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas.
Konsep ini sangat penting dibicarakam karena tanpa memahami gagasan dekotomi
derivasi dan infleksi dari linguis lain tentu akan ditemukan kesulitan dalam
menggarisbawahi pemikiran D. Edi Subroto berkaitan dengan derivasi dan
infleksi.
Beberapa
ahli seperti Bauer (1988:80) menjelaskan gagasannya tentang konsep derivasi dan
infleksi dalam bukunya yang berjudul Introducing Linguistic Morphology. Bauer
menyatakan bahwa morfologi dipilah menjadi berdasarkan dua cabang yaitu
morfologi derivasional dan morfologi infleksional. Infleksi menurut Bauer
merupakan bagian dari sintaksis karena sifanya melengkapi bentuk-bentuk leksem
sedangkan derivasi menjadi bagian dari leksis karena menyediakan leksem-leksem
baru.
Matthews
mempunyai gagasan yang sama dengan Bauer. Dalam bukunya Morphology: An Introduction to the Theory of Word-Structure (1974),
Matthews membagi morfologi menjadi dua bidang yaitu morfologi infleksional dan
morfologi leksikal. Matthews memandang adanya perbedaan antara proses infleksi
dan proses pembentukan kata (word
formation). Word formation sendiri menurut Mattews terbagi atas dua hal
yaitu derivasi dan komposisi. Matthews secara eksplisit menyebutkan bahwa yang
termasuk dalam ruang lingkup pembentukan kata hanyalah morfologi derivasional
(leksikal) sedangkan morfologi infleksional tidak.
Morfologi
leksikan disebutkan oleh Matthews mengaji kaidah-kaidah pembentukan kata yang
menghasilkan kata-kata baru yang secara leksikal berbeda (beridentitas baru)
dari kata yang menjadi dasarnya. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa
kata-kata baru dibentuk dari sebuah proses dalam bahasa yang secara nyata
(eksplisit) tampak terjadi perubahan pada kata-kata yang dimaksud berkaitan
dengan bentuk maupun jenis katanya.
Hal
tersebut di atas sangat berbeda dengan konsep infleksi, yang disebut Matthews
dengan morfologi infleksional. Morfologi infleksional dimaknai oleh Matthews
sebagai upaya untuk mengaji hasil-hasil pembentukan kata yang berasal dari
leksem yang sama.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas dapat ditarik benang merah bahwa pada prinsipnya
derivasi merupakan proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru
(menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-kata yang berbeda dari paradigma
yang berbeda). Berbeda dengan derivasi, infleksi berdasarkan paparan di atas
dapat dimaknai sebagai sebagai proses pembentukan kata yang menghasilkan
bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Pembentukan
derivasi bersifat tidak dapat diramalkan sedangkan pembentukan infleksi
bersifat teramalkan (predictable).
Contohnya verba sing, sings, singing,
sang yang penggunaan kata tersebut dapat teramalkan karena sudah ada sistem
yang membentuk kapan menggunakan sing,
sings dan seterusnya. Berbeda halnya dengan bentuk derivasional dalam kata do menjadi doer dan have menjadi *haver. Kata have secara logika seharusnya dapat ditambahkan dengan sufiks –r/-er kata do dan have memiliki
kelas yang sama (do dan have adalah verba). Oleh karena itu,
pasti dapat ditambahkan –r atau –er.
Namun demikian, aturan do + er ini tidaklah berlaku pada kata kerja
have karena secara tata bahasa tidak berterima. Berdasarkan hal tersebut dapat
ditegaskan bahwa proses derivasi adalah proses yang tidak teramalkan (unpredictable).
Secara
rinci perbedaan derivasional dan infleksional dikemukakan oleh Nida dalam
Subroto (1985: 269) sebagai berikut.
No
|
Derivasi
|
Infleksi
|
1.
|
Pembentukan derivasional termasuk
jenis kata yang sama dengan tunggal (yang termasuk sistem jenis kata
tertentu) seperti singer ‘penyanyi’ (nomina) dari verba (to) sing ‘menyanyi’,
termasuk jenis kata yang sama dengan boy ‘anak laki-laki’
|
Pembentukan infleksional tidak
termasuk kata yang sama dalam suatu sistem kebahasaan. Misalnya kata walked tidak termasuk beridentitas
sama dengan verba monomorfemis yang mana pun juga dalam sistem morfologi
bahasa Inggris.
|
2.
|
Secara statistik afisk derivasional
lebih beragam, misalnya terdapatnya afiks-afiks pembentuk nomina dalam bahasa
Inggris, yaitu –er, -ment, - -ion, -
ation, - ness.
|
Secara statistik afiks inflesional
kurang beragam, misalnya –s dengan
segala variasinya, -ed1, -ed2, ing,
work, worked1, worked2, working.
|
3.
|
Afiks-afiks derivasional dapat
mengubah kelas kata
|
Afiks-afiks infleksional tidak dapat
mengubah kelas kata
|
4.
|
Afiks-afiks derivasional mempunyai
distribusi yang lebih terbatas (misalnya: afiks derivasional –er diramalkan
tidak selalu terdapat pada dasar verba untuk membentuk nomina)
|
Afiks-afiks infleksional mempunyai
distribusi yang lebih luas
|
5.
|
Pembentukan derivasional dapat menjadi
dasar pembentukan berikutnya, misalnya sing (V)→singer (N)→singers (N)
|
Pembentukan infleksional tidak dapat
menjadi dasar pembentukan berikutnya.
|
Penerapan
konsep derivasi dan infleksi dalam bahasa-bahasa Eropa, utamanya Inggris dapat diterapkan
secara konsisten. Bentuk lingual cats (dari cat), stop, stopped, stoping
(stop), dan lain-lain merupakan bentuk infleksi. Bentuk derivasi dicontohkan,
misalnya runner (run), beautify (beauty). Semu bentuk chair, jika mendapatkan
sufiks –s maka pastilah bentuk jamak (plural) seperti halnya book, wall dan
lain-lain. Namun, dalam bahasa Indonesia tidaklah demikian karena bahasa
Indonesia merupakan bahasa aglutinatif bukan flekstif. Ikhwal bentuk lingual
membaca dan mendengar adalah infleksi sedangkan menggunting adalah derivasi.
Hal yang menarik yang perlu dicermati di sini adalah apakah pengertian infleksi
dan derivasi dapat diterapkan secara konsisiten dalam bahasa Indonesia.
E.
Konsep
Derivasional dan Infleksional Edi Subroto
Pendapat Edi
Subroto berkaitan dengan konsep derivasi dan infleksi pada hakekatnya adalah
sama dengan yang diungkapkan oleh para linguis yang lain. Linguis Indonesia
yang sudah mengemukakan secara eksplisit konsep derivasi dan infleksi ialah
Verhaar (1977, 1996) dan Edi Subroto (1985, 1987, 1996) yang dikutip dari buku
Edi Subroto (2012:10), yang menyatakan
konsep derivasi dan infeksi sebagai berikut.
Infleksi menurut
pendapat kedua ahli di atas adalah perubahan morfemis kata-kata yang
mempertahankan identitas leksikal kata yang bersangkutan, sedangkan derivasi
adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas leksikal yang
berbeda (kata baru atau leksem baru). Perubahan morfemis yang dimaksud di atas
adalah berkaitan dengan perubahan struktur internal kata dilihat dari urutan
morfem-morfemnya, yang secara umum dilabeli dengan pembentukan kata. Hal ini
dapat ditilik dari contoh kata menggunting
yang dibentuk dari kata (morfem dasar) gunting terdapat urutan morfem dasar
sepeda yang memeroleh prefiks me(Ng)-. Bentuk lingual gunting →menggunting
sangat jelas terjadi perubahan kelas kata, yaitu dari kata benda (KB/N) menjadi
kata kerja (KK/V). Berdasar contoh tersebut dapat dicermati bahwa dengan
afiksasi berupa prefiks pada kata gunting maka terjadi perubahan kelas kata.
Dengan demikian, pembentukan tersebut dikategorikan dalam derivasional.
Verhaar
menyatakan setiap pembentukan yang mengubah kelas kata berarti pula mengubah
identitas leksikal kata. Dipertegas oleh Subroto bahwa pembentukan yang tidak
mengubah kelas kata tetap termasuk derivasional apabila identitas leksikal
berubah.
Hal yang kedua
di atas sedikit menggelitik karena konsep derivasi tidak semata-mata dilihat
dari ada atau tidaknya perubahan kelas kata namun sudah mulai dilihat dari
struktur dalam bentuk lingual. Hal ini mengandung pengertian bahwa bukan
sekedar perubahan secara nyata yang dilihat (surface structure) namun lebih kepada deep structute, sehingga dapatlah dikatakan bahwa dalam perspektif
Edi Subroto penganalisisan suatu bentuk lingual dikategorikan sebagai derivasi
atau infleksi juga didasarkan pada segi makna (semantik). Upaya penganalisisan
serta pembuktian bentuk infleksi dan derivasi dikemukakan oleh Edi Subroto
dengan menggunakan fitur-fitur semantik yang oleh Verhaar disebut sebagai tes
dekomposisi leksikal.
F. Analisis Derivasi dan Infleksi pada
Jenis Kata Ulang Bahasa Indonesia Berdasar Pembagian Ramlan dari Perspektif
Prof. Dr. D. Edi Subroto
Tes dekomposisi leksikal merupakan
tes menguarai fitur-fitur semantik dari suatu satuan leksikal. Dicontohkan
dalam buku Edi Subroto (2012), satuan leksikal LURAH memiliki fitur-fitur
semantik benda, bernyawa, manusia, konkret, dan memiliki jabatan sebagai lurah.
Sedangkan, satuan leksikal KELURAHAN memiliki fitur-fitur semantik benda, tak
bernyawa, bukan manusia, tingkat pemerintahan terendah, ada batas wilayah,
konkret, memiliki perangkat, ada sistemnya, dan mengurusi pemerintahan tingkat
desa.
Leksem KELURAHAN yang dibentuk dari
leksem LURAH dengan konfiks ke-an tidak mengubah kelas kata. Artinya, KELURAHAN
dan LURAH semua berjenis kata benda. Namun demikian, kedua kata tersebut
mempunyai identitas leksikal berbeda karena fitur-fitur semantiknya berbeda, demikian
juga dengan referen kedua leksem tersebut yang berbeda.
Apa yang dicontohkan oleh Edi
Subroto di atas menggelitik penulis untuk menerapkannya dalam kata ulang bahasa
Indonesia. Pada fenomena di atas dapat dikatakan bahwa kasus infleksi dan
derivasi tersebut adalah pada proses morfologi afiksasi (pengimbuhan). Selama
ini, hal tersebut sudah sangat biasa dan marak dibicarakan. Namun, pada kasus
pengulangan dan pemajemukan yang menghasilkan kata ulang dan majemuk masih
jarang dilakukan. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan disajikan tentang
analisis derivasi dan infleksi pada kata ulang yang dibagi penjenisannya oleh
Ramlan dari sudut pandang Prof. Dr. D. Edi Subroto.
G.
Penerapan
Fitur-fitur Semantik dalam Kata Ulang Bahasa Indonesia
B A C
LARI <------------------------- BERLARI
---------------------> BERLARIAN
lari-lari
Berlari-lari Berlari-larian
JAUH BERJAUHAN
Jauh-jauh Berjauh-jauhan
PUKUL BERPUKULAN
Pukul-pukul Berpukul-pukulan
Pada contoh di atas dapat diketahui
adanya bentuk pengulangan baik pengulangan seluruhnya seperti lari-lari, jauh-jauh, dan pukul-pukul,
terdapat pula bentuk pengulangan sebagian seperti berlari-lari, yaitu adanya pengulangan kata lari, dan bentuk kata ulang dengan penambahan fonem seperti pada
bentuk kata ulang dengan bentuk dasar berupa kata berimbuhan. Hal ini dapat
dicermati dari munculnya kata ulang berlari-larian
dari kata dasar berlarian, berjauh-jauhan
dari kata dasar berjauhan, dan bentuk ulang berpukul-pukulan yang berasal dari bentuk dasar berpukulan.
Bentuk dasar lari yang membentuk
kata ulang lari-lari merupakan bentuk
infleksional karena pengulangan tersebut tidak mengubah kelas kata. Lari mempunyai jenis kata KK setelah
diulang menjadi lari-lari tetap
berjenis KK. Kedua kata tersebut mempunyai makna sepadan hanya intensitasnya
yang sedikit berbeda.Demikian juga dengan kata berlari-lari dari bentuk dasar berlari,
serta berlarian yang membentuk kata
ulang berlari-larian merupakan bentuk
infleksional karena pada prinsipnya jenis katanya tetap (tidak mengubah jenis
kata) dari KK dan tetap KK ketika diulang. Hal serupa juga terjadi pada bentuk berlarian yang memunculkan kata-berlari-larian. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa prefiks ber, dan konfiks
ber-an merupakan imbuhan infleksional
bila melekat dengan kata ulang seperti tersebut di atas.
AMBIL MENGAMBIL
Ambil-ambil mengambil-ambil
LAMBAI MELAMBAI MELAMBAIKAN
Lambai-lambai melambai-lambai Melambai-lambaikan
Sama halnya dengan bentuk lari-lari, bentuk ambil-ambil yang berasal dari bentuk dasar ambil yang berjenis KK
tetap KK pada bentuk ulangnya. Dalam peristiwa ini karena tidak terjadi
perubahan jenis kata dari dasar ke ulang maka bentukan tersebut termasuk dalam
kaidah infleksional. Demikian juga pada kata lambai menjadi lambai-lambai
tidak mengubah jenis kata, yaitu tetap kata kerja. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pada bentuk ulang penuh tidak terjadi perubahan kelas kata yang
hal ini mengandung kaidah infleksional.
Selain pengulangan penuh berdasar
data di atas juga terdapat kata ulang sebagian. Bentuk dasar melambai yang diulang menjadi melambai-lambai, dan bentuk ulang melambaikan menjadi melambai-lambaikan tidaklah mengubah jenis kata. Bentuk dasar pada
kata-kata tersebut adalah KK dan kata ulang yang dibetuknya tetap kata kerja
(KK).
Berdasarkan keterangan tersebut di
atas dapat dikatakan bahwa imbuhan atau afiks me- serta me-kan seperti
halnya ber- dan ber-an di atas tidak mengubah kelas atau jenis kata. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa pengimbuhan pada bentuk dasar tidak mengubah jenis
kata yang hal ini berarti mengandung kaidah infleksional.
MINUM MINUMAN
Minum-minum minum-minuman
TUMBUHAN
Tumbuh-tumbuhan
Bentuk
dasar minum menjadi minum-minum pada prinsipnya tidak
mengubah jenis kata. Minum berjenis kata kerja (KK) dan minum-minuman juga berjenis KK. Dalam hal ini terdapat kaidah
infleksional karena tidak terjadi perubahan jenis kata. Sedikit berbeda dengan minum kata dasar tumbuh tidak lazim dilakukan pengulangan penuh menjadi tumbuh-tumbuh. Bentuk yang lazim muncul
dalam kebahasaan adalah tumbuh-tumbuhan
yang berarti tanaman. Antara tumbuhan
dan tumbuh-tumbuhan mempunyai jenis
kata yang sama yaitu KB. Dengan demikian, prinsipnya bahwa pengulangan sebagian
tidak mengubah jenis kata sehingga di dalamnya terdapat kaidah infleksional.
ANAK
Anak-anak Anak-anakan
RUMAH
Rumah-rumah Rumah-rumahan
ORANG
Orang-orang Orang-orangan
Contoh di atas berdasarkan
kategorisasi kata ulang menurut Ramlan adalah termasuk dalam kata ulang dengan
pembubuhan fonem. Hal unik dan sedikit berbeda dengan jenis kata ulang
sebelumnya, pada kata ulang ini pada prinspnya juga sama yaitu tidak mengubah jenis
kata. Hal ini dapat dicontohkan dari kata dasar anak membentuk anak-anak,
rumah membentuk rumah-rumah, orang membentuk orang-orang adalah mempunyai bentuk dasar dan bentuk ulang dengan
jenis kata yang sama yaitu KB (kata Benda). Hal ini mengandung pengertian bahwa
dalam pembentukan kata ulang dengan penambahan fonem tidak terjadi perubahan
jenis kata. Namun demikian, fitur semantik atau makna yang dibangun dari bentuk
dasar dan bentuk ulang pada contoh di atas adalah berbeda. Anak mengacu pada referen seorang manusia yang masih kecil (usia
tertentu/belum dewasa). Sedangkan, anak-anakan
mengancu pada mainan (tiruan manusia kecil). Dengan demikian, pada bentukan
kata ulang dengan penambahan fonem tersebut terjadi peristiwa derivasional
karena fitur semantik atau makna yang dibangun berbeda walapun jens kata dari
bentuk dasar ke bentuk ulang tidak mengalami perubahan.
HITAM PUTIH
Hitam-hitam Putih-putih
Kehitam-hitaman Keputih-putihan
Berdasar
data di atas dapat dicermati bahwa bentuk dasar hitam mempunyai jenis kata sifat (KS). Bentuk dasar tersebut
setelah diulang menjadi hitam-hitam juga
mempunyai jenis kata KS. Namun demikian, setelah dilakukan pengulangan dengan
pembubuhan afiks (penambahan afiks) yang berdasarkan data tersebut di atas
adalah konfiks ke-an menjadi kehitam-hitaman
mempunyai makna ‘agak hitam’ yang sedikit berbeda dari mana dasarnya
‘benar-benar/sangat hitam’ walaupun jenis katanya tetap KS. Jenis kata yang
tidak berubah tetapi fitur semantik berubah menandakan bahwa bentukan tersebut
terdapat kaidah peristiwa derivasional.
GERAK SERBA
Gerak-gerik
Serba-serbi
Pada
data di atas dapat dicermati bahwa antara bentuk dasar yaitu gerak dan bentuk ulang gerak gerik mempunyai jenis kata yang
sama, yaitu kata KK. Demikian juga pada kata dasar serba yang mempunyai bentuk ulang serba-serbi, pengulangan tersebut tidak mengubah jenis kata.
Pada bentuk dasar gerak yang menjadi bentuk ulang gerak-gerik terjadi perubahan fonem /a/ menjadi /i/. Demikian juga pada kata serba-serbi juga terjadi perubahan
fonem /a/ menjadi /i/. Oleh karenanya bentuk ualng yang demikian
disebut sebagai kata ulang dengan perubahan fonem.
Ditilik dari jenis kata bentuk dasar
dan bentuk ulang pada data di atas adalah sama, yaitu merujuk pada kata kerja
(KK). Namun demikian, bila ditinjau dari sisi makna (fitur semantik) kedua data
tersebut menunjukkan konsep sedikit berbeda antara bentuk dasar dan bentuk
ulangnya. Kata gerak mempunyai makna
berpindah dari satu tempat ke tempat lain berbeda maknanya dengan gerak-gerik yang lebih merujuk pada
tingkah laku, misalnya pada kalimat “Gerak
geriknya mencurigakan”. Demikian juga pada kata serba yang menjadi
serba-serbi. Berdasar analisis di atas dapat dikatakan bahwa terdapat kaidah
derivasional karena fitur semantik antara bentuk dasar dan ulang berbeda
walaupun perstiwa pengulangan dengan perubahan fonem tersebut tidak mengubah
jenis kata.
H.
Penutup
Berdasarkan
analisis serta paparan di atas, utamnya yang berkaitan dengan hal ikhwal
derivasi dan infleksi dari sudut pandang Prof. Dr. D. Edi Subroto terutama yang
berkaitan dengan kata ulang bahasa Indoneisa dapat disimpulkan beberap hal
sebagai berikut.
1. Proses
pembentukan kata pada setiap bahasa sangat banyak jumlahnya.
2. Kata
dapat dibentuk untuk memenuhi fungsi derivasional maupun infleksional demikian
juga dengan kata ulang dalam bahasa Indonesia.
3. Cara-cara
untuk melakukan identifikasi apakah sebuah afiks bersifat derivasional atau
infleksional adalah sebagai berikut.
a. Jika
sebuah afiks merubah bentuk dasarnya, maka afiks tersebut bersifat
derivasional. Sedangkan, afiks-afiks yang tidak merubah kelas kata bentuk
dasarnya maka disebut sebagai afiks infleksional.
b. Afiks-afiks
infleksional selalu menampakkan makna yang teratur atau dapat diprediksi namun
sebaliknya, makna-makna dari afiks-afiks derivasional tidak dapat diramalkan.
c. Afiks-afiks
infleksional bersifat tidak produktif sedangkan afiks-afiks derivasional
bersifat produktif.
d. Proses
pengulangan dalam bahasa Indonesia yang melahirkan kata ulang mempunyai
spesifikasi dan keunikan berkaitan dengan infleksi dan derivasi. Kata ulang
utuh (seluruhnya) pada intinya tidak mengubah jenis kata demikian juga dengan
makna. Dengan demikian pada bentuk kata ulang tersebut terdapat kaidah
infleksional. Demikian juga pada kata ulang sebagian yang tidak mengubah jenis
kata dan tidak mengubah fitur semantik.
e. Kaidah
derivasional juga ditemukan dalam proses pengulangan (reduplikasi) bahasa
Indonesia. Hal terjadi pada pembentukan kata ulang yang berkombinasi dengan
proses pembubuhan afiks, seperti kereta
menjadi kereta-keretaan. Kedua Kata
tersebut mempunyai jenis kata yang sama, yaitu kata benda (KB) tetapi fitur
semantik di antara keduanya berbeda kereta merujuk pada alat angkutan
(transportasi) darat sedangkan kereta-keretaan
merujuk pada tiruan alat transportasi (mainan anak-anak). Demikian juga
pada bentuk hitam menjadi kehitam-hitaman yang berbeda fitur
semantinya.
f. Proses
pengulangan yang merujuk pada jenis kata ulang dengan perubahan fonem pada
prinsipnya tidak mengubah jenis kata walaupun secara fitur semantik berbeda. Sayur menjadi sayur mayur, mempunyai fitur semantik yang berbeda sehingga pada
bentukan ini mengandung kaidah derivasional.
PUSTAKA ACUAN
Bauer,
Laurie. 1983. English Word Formation.
London: Cambridge University Press.
------------.
1988. Introducing Linguistic Morphology.
Great Britain: Edinburg University Press.
Brinton,
Laurel J. 2000. The Structure of Modern
English: A Linguistic Introduction. Amsterdam: John Benjamins.
Katamba, Francis. 1993. Morphology. England: The Macmillan Press
LTD.
Matthews,
P.H. 1974. Morphology: An Introduction to
The Theory of Word Strucuture. London: Cambridge University Press.
Ramlan.
1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif.
Yogyakarta: C.V. Karyono.
Subroto,
Edi.2012. Pemerian Morfologi Bahasa
Indonesia (Berdasarkan Perspektif Derivasi dan Infleksi Proses Afiksasi).
Surakarta: Yuma Pressindo.
Verhaar,
J.W.M., 2008. Azaz-Azaz Linguistik
Umum.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar