Sabtu, 17 Mei 2014

Bahasa. Sastra, dan Peranannya Dalam Pembentukan Kecerdasan Emosi Pada Anak


ABSTRAK

            BAHASA, SASTRA, DAN PERANANNYA DALAM PEMBENTUKAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK
(Studi Kasus Kelas Sastra Anak dan Sastra Madya di Lembaga Pendidikan “Bintang Indonesia” Kabupaten Pacitan)

Sri Pamungkas
 Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP PGRI Pacitan)
             
            Bahasa dan sastra merupakan sarana untuk menyampaikan budaya dan keyakinan budaya dari anggota masyarakat yang satu kepada anggota masyarakat yang lain serta untuk mewariskannya dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Bahasa sebagai alat primer dalam kehidupan manusia untuk berkomunikasi, berinteraksi dan mengembangkan diri, mengungkapkan perasaan, mempelajari ilmu pengetahuan dan lain sebaginya. Sedangkan, sastra merupakan potret kehidupan yang diangkat pengarang dalam dunia imajinasi dan dengan kreativitasnya mampu disuguhkan layaknya realitas kehidupan. Sastra lahir bukan atas kekosongan jiwa. Ada makna tersurat dan tersirat yang perlu diilhami serta dipetik yang tentu saja sangat bermanfaat untuk proses kehidupan manusia.
Setiap manusia mempunyai peluang untuk cerdas. Kecerdasan manusia ditentukan bagaimana ia mampu melakukan optimalisasi otaknya. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini telah diberi piranti oleh Tuhan untuk mampu berbahasa yang disebut  sebagai Language Aquisition Device (LAD). Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap manusia mempunyai potensi untuk mampu berbahasa apa pun. Seorang anak yang baru lahir adalah ibarat sehelai kertas putih. Kertas ini pada hari kemudian akan ditulisi apa, dilukis apa, serta dipersiapkan untuk apa adalah menjadi tugas para orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk membuatnya menjadi sesuatu yang indah, menyenangkan, beretika, dan bertanggung jawab.
Menghadapi fenomena saat ini, yang mengedepankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ dan jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreatifitas, katahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri, atau sinergi. Kita akui atau tidak hal itulah sebenarnya yang penting dalam rangka membentuk manusia-manusia Indonesia yang berkualitas di kemudian hari.
Pembentukan karakter anak-anak sering terabaikan. Kita juga belum bisa merasakan dan melihat hasil dari pencanangan kurikulum berbasis karakter. Kita dihadapkan pada suatu persoalan semakin hilangnya rasa kemanusiaan di dalam diri manusia sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang nonmanusiawi. Bahkan yang sangat menyedihkan adalah tentang hasil survei bahwa anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi daripada generasi terdahulunya. Secara pukul rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah, dan lebih sulit diatur, lebih gugup, cenderung cemas, cenderung impulsif dan agresif.
Sastra dan bahasa telah diterapkan di Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia Pacitan sebagai sarana untuk mengembalikan kepercayaan diri anak-anak untuk lebih berani, lebih peka terhadap lingkungannya, mengedepankan kejujuran, dan lain-lain. Sastra dan bahasa diolah sedemikian rupa hingga anak didik memegang teguh hati nurani untuk mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup yang demikian cepat dan dinamis dewasa ini.


Kata Kunci : Bahasa, Sastra dan Kecerdasan Emosi



Pendahuluan
Sastra diciptakan secara umum harus bertujuan dan berfungsi, dulce at utile (indah dan bermanfaat) sebagaimana dicetuskan oleh Horatius. Sebagai karya imajinatif sastra tidak saja lahir atas kekosongan jiwa. Artinya, hal-hal yang diangkat dalam karya sastra merupakan cerminan realitas sosial.
Sastra anak atau children’s literature merupakan salah satu genre sastra, yang disebut oleh Wellek (1956) sebagai produk sastra bacaan anak-anak. Sementara Hunt (dalam Nurgiyantoro, 2005: 8) menyebutkan bahwa sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh anak, yang secara khusus cocok untuk memuaskan sekelompok anggota yang disebut anak. Jadi, sastra anak adalah buku bacaan yang sengaja ditulis atau diciptakan untuk dibaca oleh anak-anak. Isi karya tersebut sejatinya sesuai dengan minat dunia anak-anak, setara dengan tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak, sehingga dapat memuasakan mereka. Sastra anak tidak boleh gagal dalam mengemban peranannya untuk memberikan edukasi dan hiburan bagi anak-anak. Sastra harus mampu mengajarkan contoh-contoh yang berguna, bukan sebaliknya menghadirkan sesuatu yang tidak terpuji.
Pembelajaran sastra, khususnya sastra anak saat ini mulai berada dalam persimpangan jalan di tengah gempuran media elektronik yang jauh lebih diminati anak-anak Dewasa ini kita dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin kompleks. Terutama yang hidup di perkotaan karena sangat rentan pada perkembangan teknologi komunikasi dan perkembangan sosial ekonomi. Perkembangan semua itu tidak selamanya membuat perubahan kehidupan kita menuju ke perbaikan, hal itu tergantung pada bagaimana kita menyikapi dan memanfaatkan perubahan tersebut bagi kehidupan kita, khususnya dalam rumah tangga.
Beberapa penelitian seperti halnya dikutip oleh Nuraini(2011) bahwa perubahan yang selama ini terjadi telah banyak merubah pola kehidupan generasi kita menjadi pribadi yang individual, materialis, dan cenderung kapitalis dengan alasan modern. Tekanan-tekanan komulatif dari kehidupan modern telah mendatangkan bencana-bencana berupa depresi, kecemasan, dan susah tidur serta masih banyak lagi masalah-masalah yang tidak begitu tampak.
Pola asuh sejak dini sangat menentukan pembentukan kepribadian atau emosi anak-anak kita. Seperti layaknya kita membuat sebuah tempayan, kalau kita membentuk tempayan tersebut selagi masih panas maka akan terwujud apa yang kita harapkan. Namun, bila kita membentuk tempayan tersebut setelah besi dingin maka akan sangat sulit dan cenderung mustahil kita akan membuat bentuk seperti yang kita harapkan.
Banyak pakar ilmu sosial percaya bahwa masalah anak dewasa ini dapat dirunut ke peliknya perubahan-perubahan pola sosial yang telah terjadi selama empat puluh tahun terakhir, termasuk meningkatnya angka perceraian, meresapnya pengaruh negatif TV dan media, kurangnya rasa hormat pada guru, dan orang tua. 
Maraknya kejadian-kejadian negatif di kalangan pelajar saat ini diantaranya adalah pertengkaran antar pelajar, depresi, broken home, tidak menghargai orang tua atau guru dan lain-lain merupakan hal yang sangat memprihatinkan dan perlu segera disikapi. Contoh-contoh yang tidak mendidik dari orang tua seperti membuat keputusan yang tidak bijaksana, kolusi, korupsi, dan lain-lain menjadikan generasi kita menjadi generasi yang perlu kita waspadai kepekaannya.
Hal yang menarik saat ini adalah bahwa sastra sudah mulai ditinggalkan oleh anak-anak karena orang tua atau bahkan lembaga pendidikan kurang memberikan support. Kini sastra anak berada dalam persimpangan jalan di tengah gempuran media elektronik yang jauh lebih diminati anak-anak.
Sastra anak  mengetengahkan tentang dunia anak dengan tujuan untuk menumbuhkan apresiasi dan moral atau rasa kejuangan bagi anak. Sastra anak tersaji dalam bahasa lugas, logis, dan visible sehingga betul-betul menjamin keterjangkauan berpikir logis bagi anak dengan plot (alur cerita) yang dapat membantu cita rasa humanis bagi anak. Selain itu seyogyanya sastra bersifat pragmatis.
Bila kita amati bersama bahwa sastra anak kini mengalami keterasingan dari anak-anak, apalagi dengan sastra lisan (berupa dongeng, fabel, cerita rakyat) yang dulu sering kali digunakan oleh orang tua sebagai dongeng pengantar tidur. Padahal apabila kita melihat dan merasakan makna yang terkandung dalam sastra tersebut sangat dalam dan penuh pesan moral. Misalnya, seorang ibu yang menceritakan kepada anaknya ketika akan tidur tentang Malin Kundang, maka anak akan mendapatkan pesan moral bahwa tidak boleh durhaka kepada Ibu. Berbeda halnya dengan tayangan di TV yang justru seorang anak membentak ibunya, dan seterusnya.  
 Sastra dan bahasa telah diterapkan di Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia Pacitan sebagai sarana untuk mengembalikan kepercayaan diri anak-anak untuk lebih berani, lebih peka terhadap lingkungannya, mengedepankan kejujuran, dan lain-lain. Sastra dan bahasa diolah sedemikian rupa hingga anak didik memegang teguh hati nurani untuk mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup yang demikian cepat dan dinamis dewasa ini.

Fungsi Bahasa dan Sastra
Bahasa dan sastra merupakan dua hal penting yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Bahasa merupakan piranti untuk berekspresi dan sastra merupakan kumpulan kata, klaimat dan paragraf yang tersajikan dengan indah. Baik bahasa maupun sastra keduanya mempunyai fungsi masing-masing namun keduanya saling mendukung. Fungsi bahasa menurut Halliday yang dikutip oleh  Tarigan (1987:6-7), Sumarlam(ed) (2009)  yaitu : (1) fungsi instrumental (the instrumental function), untuk melayani pengelolaan lingkungan dan penyebab peristiwa-peristiwa tertentu terjadi; (2) fungsi regulasi (the regulatory function), bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa; (3) fungsi representasional (the representational function), untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan, atau melaporkan; (4) fungsi interaksional (the interactional function), bertugas untuk menjamin serta memantapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi sosial; (5) fungsi personal (the personal function), memberi kesempatan kepada seorang pembicara mengekspresikan perasaan, emosi pribadi, serta reaksi-reaksi yang mendalam; (6) fungsi heuristik (the heuristic function), untuk memperoleh pengetahuan, mempelajari seluk beluk lingkungan; (7) fungsi imajinatif (the imaginatif function), untuk menciptakan sistem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.
Sedangkan, fungsi sastra adalah mentransformasi nilai-nilai kehidupan secara estetis, dramatis, dan pragmatis. Karya sastra sejatinya harus pragmatis karena cerminan kehidupan. Karya sastra akan memperkaya pengalaman bagi pembacanya. Dengan membaca karya sastra pengalaman seseorang dapat saja melampaui “kekinian” dan menghadirkan “kedahuluan” dalam kehidupan ini, memperkaya pengalaman spiritual pembacanya yang pada gilirannya akan membangun persepsi dan pengetahuan serta membangun kepribadian, karena salah satu eksistensi karya sastra adalah lahir dari refleksi kehidupan (Rahman, 2011).
Karya sastra dibaca hakikatnya adalah untuk membangun pengalaman mimetik, manfaat bagaimana tokoh karya memecahkan masalahnya, mengapa konflik harus terjadi, tokoh mana yang berlaku  bijak atau sebaliknya, apa motifnya dan sebagainya. Dengan membaca karta sastra kita akan mengilhami unsur intrinsik, misalnya latar (setting) yang merupakan gambaran dimana suatu peristiwa terjadi, yang apabila dikaitkan dengan unsur ekstrinsik tentu hal ini berkaitan dengan adat istiadat dan bahkan budaya secara umum.
Cerita dalam sastra merupakan bagian dari hidup. Setiap orang adalah bagian dari sebuah cerita. Kelahiran, pekerjaan, perjumpaan, usaha, ketegangan, penyakit, perkawinan, dan lain-lain adalah sebuah rentetan kejadian dan kisah kemanusiaan yang menarik (Sarumpaet, 2003: 3). Cerita adalah narasi pribadi setiap orang dan setiap orang suka menjadi bagian dari satu peristiwa, bagian dari satu cerita, dan menjadi bagian dari sebuah cerita adalah hakikat cerita. Otak manusia juga disebut sebagai alat narasi yang bergerak dalam dunia cerita. Semua pengetahuan yang disimpan dalam otak dan bagaimana akhirnya setiap orang dapat mengingat dan mengenal dunia adalah karena keadaan cerita itu. Kalau semua pengetahuan itu tidak disimpan dalam bentuk cerita, tak akan mudah diingat. Itulah sebabnya segala hal yang disimpan dalam bentuk cerita akan mudah diingat dibandingkan dengan hal-hal yang disajikan dalam bentuk fakta-fakta atau sekuen-sekuen.

Aspek Psikopedagogik Bahasa dan Sastra
             Karya sastra lahir bukan semata-mata karya imajinasi pengarang. Pengarang sebagai anggota masyarakat, yang mempunyai latar belakang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-ain tentu akan sangat mempengaruhi bagimana karya sastra disajikannya. Karya sastra kemudian dipandang sebagai gambaran masyarakat. Dengan kata lain, ia merupakan refleksi dari suatu kehidupan dan seluruh permasalahan yang disajikan dengan menggunakan urutan kata yang membentuk bahasa sehingga mampu memberikan aspek estetis. Dengan sifat mimetisnya karya sastra mampu memotret manusia dari kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pandangan Horatius bahwa sastra harus bertujuan dan berfungsi. Bermanfaat, karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga, misalnya dari tokoh-tokoh cerita, alur cerita, latar atau setting yang semunya membentuk satu kesatuan cerita (Pradotokusuma, 2005: 6).
             Karya sastra juga dianggap mampu menampilkan kualitas estetis yang paling beragam sekalipun paling tinggi. Aspek estetis karya sastra dihasilkan oleh keragaman genre yang bersifat dinamis, ketidakteratasan cerita yang dihasilkan yang tergantung pada kemampuan pengarang dan pembaca untuk menciptkan dan menafsirkannya, serta bahasa sebagai medium karya sastra yang memiliki kemampuan untuk berkembang secara tak terbatas yang tergantung pada kemampuan imajinasi pembaca (Ratna, 2007: 289-290). Aspek estetis akan tampak bila pembaca mampu melihat dan menikmatinya.
             Kepekaan pembaca akan membuat kehidupan ini penuh makna akan melihat betapa setiap ciptaan Tuhan berfungsi. Tugas manusialah untuk memanfaatkan semua itu. Sebaliknya tanpa kemampuan untuk melihat keindahan, semua hal menjadi tak bermakna, sehingga hidup menjadi hampa. Estetika mempengaruhi manusia melalui kesadaran total proses psikologis. Mencermati pentingnya estetika dalam kehidupan manusia maka Mukarovsky sebagaimana dikutip oleh Ratna (2007: 291) menyatakan tiga fungsi, yaitu (1) membangkitkan rasa bahagia, tentram dan damai; (2) mendominasi pusat perhatian pada saat tertentu, sekaligus mengabaikan perhatian lain yang pada saat itu tidak diperlukan; (3) mengganti fungsi lain yang sudah usang.
             Dengan bahasa karya sastra mampu mempertemukan aspek estetika dan etika. Dengan kekuatan aspek estetis, aspek etis secara tidak langsung  masuk di dalamnya. Sebuah karya sastra memuat nasihat, teladan, pendidikan, dan pengajaran, yang kesemuanya disampaikan secara tidak langsung, dengan media bahasa yang indah pula. Dengan kekuatan bahasa dan logika sederhana, karya sastra dianggap lebih mampu mengubah tingkah laku manusia dibandingkan hukum formal.

Kecerdasan Emosional
             Kecerdasan emosional merupakan wacana baru di wilayah psikologi dan pedagogi, setelah bertahun-tahun masyarakat sangat meyakini bahwa faktor penentu keberhasilan hidup seseorang adalah kecerdasan intelektual (IQ). Temuan penelitian di bidang psikologi oleh Howard Gardner tentang Multiple Intelligence, yang menyatakan bahwa dalam diri manusia ada hal yang belum dieksplorasi untuk mendorong keberhasilan hidup. Riset di bidang psikologi terus berkembang sampai akhirnya Solovey dan Mayer (1996) menemukan kecerdasan emosional sebagai salah satu faktor penting bagi kesuksesan hidup manusia. Temuan Solevey dan Mayer (1996) tersebut disempurnakan oleh Patton (1997) dan Goleman (1999) (dalam Nugroho, 2003: 1).
             Pengertian tentang kecerdasan emosional sampai saat ini masih dalam perdebatan. Hein (1999: 3) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan suatu potensi bawaan ataukah serangkaian kemampuan, kompetensi, atau ketrampilan. Senada dengan itu, Mayor dan Salovey menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan secara akurat, memahami, dan mengekspresikan emosi; kemampuan untuk menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran, kemampuan memahami emosi dan intelektual.
             Dulewicz dan Higgs (2000: 1) mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional adalah seseorang yang menyadari emosinya sendiri dan emosi orang lain dan menyesuaikan perilakunya berdasarkan pengetahuannya. Mc Cluskey (1997: 2-3) juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan ketrampilan emosi, ada enam ketrampilan emosi yang esensial, yaitu memahami diri sendiri (selfawareness), mengelola emosi (managing emotions), empati (emphaty), komunikasi (communicating), kerjasama (co-operation), mengatasi konflik (resolving conflicts).
             Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan ketrampilan, yang merupakan hasil kerjasama, kekuatan  emosional, dengan pikiran rasional, untuk mengendalikan diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri, dan kemudian menggunakannya sebagai inti daya hidup sehingga sukses dalam membina hubungan dengan orang lain, sukses dalam pekerjaan serta sukses dalam hidup.


Pembahasan
            Menyikapi fenomena yang semakin mengkawatirkan sekarang ini para penggagas berdirinya Bintang Indonesia yang terdiri atas anak-anak muda dengan berbagai latar belakang pendidikan berusaha menerapkan pengajaran sastra sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam rangka menciptakan manusia-manusia Indonesia yang berkualitas, kompeten dan mawas diri. Realitas saat ini telah banyak mengajarkan hal-hal yang tidak baik daripada yang baik. Kasus korupsi, kolusi, nepotisme yang terjadi pada para elit sampai dengan penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anak-anak menjadi potret kekawatiran kita bersama akan kualitas generasi kita yang akan datang.
            Pacitan sebagai sebuah kota kecil di Propinsi Jawa Timur, yang secara medan sangat sulit dan melelahkan senyatanya telah terjadi hal-hal menyimpang seperti halnya di kota-kota besar. Upaya dua orang sisiwa SD untuk memberikan minuman kepada temannya yang ternyata minuman tersebut berisi racun, tingginya angka pernikahan dini, dan beberapa hal yang lain sangatlah memprihatinkan.

Gagasan Membangun Kecerdasan Emosi Melalui Pengajaran Bahasa dan Sastra
            Daya saing sastra dengan media elektronik menjadi kata kunci dalam proses penyelamatan generasi kita dari keterpurukan (termasuk bahasa di dalamnya). Daya saing membuat sebuah budaya menjadi berdaya dan meningkatkan posisi tawarnya menghadapi globalisasi atau pun segala bentuk pengaruh yang terkikis. Peningkatan daya saing dalam penggunaan bahasa santun yang mulai terkikis di kalangan genarsi muda serta semakin mengkawatirkannya kondisi anak-anak muda saat ini dapat diartikan sebagai upaya melakukan pendekatan baru agar bahasa “santun” serta sastra makin digemari oleh generasi baru.
            Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia Pacitan, merupakan sebuah lembaga pendidikan yang berfungsi memberikan pendidikan kepada anak-anak dengan menggunakan pendekatan karya sastra. Anak-anak yang dididik dalam lembaga ini rata-rata adalah anak-anak yang awalnya pemalu, kurang percaya diri, hiperaktif, tingkat emosional tinggi karena broken home dan lain-lain. Lembaga ini dalam melakukan kegiatannya juga bersinergi dengan komunitas sastra Pacitan (KANSAS) yang beranggotakan anak-anak muda dari tingkat SLTA maupun mahasiswa yang mereka dididik dan disiapkan untuk menjadi pengajar pada kelas sastra di lembaga pendidikan Bintang Indonesia tersebut. Lembaga pendidikan Bintang Indonesia dan KANSAS merupakan contoh menarik bagaimana gagasan-gagasan sederhana berhasil meningkatkan daya saing bahasa santun di tengah maraknya bahasa gaul dan meningkatnya daya saing sastra di tengah daya saing gelontoran produk media, dengan kemasan sinetron, dan lain-lain.
            Kelas sastra di lembaga pendidikan Bintang Indonesia adalah kelas-kelas kecil dengan maksud agar pengajar dapat lebih berkonsentrasi maksimal untuk memberikan perhatian dan mengeksplorasi dengan total terhadapat pengajaran sastra dan bahasa santun. Tatap muka pada kelas sastra dilakukan pada hari-hari efektif, sedangkan polesan untuk anak-anak remaja yang tergabung dalam “Sastra Gaul” dilakukan pada hari Minggu siang, yang terdiri atas anak-anak SD sampai dengan SMP, sedangkan hari Minggu sore kajian sastra dilakukan oleh KANSAS yang terdiri atas anak-anak setara SMA dan juga para mahasiswa. Saat ini KANSAS telah menerbitkan sebuah buletin dengan tajuk “Minggu Sore”.
            Proses pembelajaran di Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia dituntut mampu memberikan contoh berbahasa santun, membangun suasana kekeluargaan, suasana belajar yang menyenangkan, dan komunikasi yang efektif. Adapun metode pendekatan yang dilakukan dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut:
  1. Penanaman pemahaman bersama antara orang tua, pengajar dan siswa tentang pentingnya pembelajaran sastra
Langkah ini penting dilakukan karena tanpa terjadi pemahaman dari ketiga komponen tersebut tidak akan mungkin proses pembelajaran terjadi. Orang tua diberikan penjelasan akan pentingnya pembelajaran dengan media sastra. Orang tua juga diminta memberikan daya dukung, misalnya kembali kepada metode-metode klasik dengan memberikan dongeng sebelum tidur, baik berupa pengalaman maupun dengan membacakan cerita yang temanya disesuaikan dengan minat anak-anak.
 Para pengajar diinstruksikan oleh pimpinan Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia tersebut agar mampu menggunakan bahasa santun dan lebih utama mampu membuat suasana menyenangkan serta mampu mengolah sastra (cerita) dengan bahasa komunikatif dan menarik perhatian anak-anak. Pengajar biasanya menceritakan terlebih dahulu sebuah cerita sesuai dengan tema yang diangkat pada hari tertentu, baik dengan menggunakan media atau tanpa media, kemudian anak-anak diminta menceritakan kembali dengan bahasa dan ekspresi mereka, setelah itu membuat cerita yang temanya mirip. Hal tersebut merupakan salah satu contoh bagaimana teknis pembelajaran sastra di lembaga tersebut.

  1. Penyusunan Program Formal Institusi
Ketika kesadaran telah tertanam, institusi formal menyusun beberapa program formal, misalnya dengan mengikutsertakan anak-anak dalam berbagai perlombaan, misalnya bercerita, puisi dan lain-lain. Selain itu anak-anak diajak untuk melakukan refleksi bersama-sama dengan komunitas atau lembaga lain yang ada di Kabupaten Pacitan, misalnya dalam peringatan hari Ibu, hari Kartini, hari Bumi, hari Kemerdekaan, hari Chairil Anwar, refleksi 10 November dan lain-lain. Mereka ditempa mentalnya dengan bereksplorasi di panggung sederhana, di lapangan terbuka dengan membawa tema-tema kekinian.



  1. Pendekatan berjenjang dalam penggunaan bahasa santun dan pembelajaran sastra
Program formal yang telah disusun diikuti pula oleh sebuah sistem penghargaan dan hukuman (reward and Punishment) yang proporsional. Pendekatan berjenjang di Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia dimaknai sebagai pendekatan setahap demi setahap sehingga seluruh elemen organisasi tidak hanya mampu melestraikan bahasa santun dan sastra, namun juga mampu mengembangkan pula sesuai dengan kreativitas yang mereka tekuni.

  1. Penciptaan Agen Perubah
Salah satu percepatan dalam pelestarian dan pengembangan bahasa santun dan sastra sebagai model pembelajaran adalah dengan diciptakannya agen-agen perubah budaya di dalam Lembaga Pendidikan tersebut. Agen perubah ini berfungsi sebagai provokator, inisiator penggunaan bahasa santun maupun pentingnya sastra dalam membentuk kecerdasan emosi pada anak.

  1. Pendekatan populis dan ekspansif
Pendekatan populis dan ekspansif diterjemahkan dengan mengemas bahasa dan sastra dalam bentuk seni agar menarik dan dapat diminati oleh beragam lintas generasi. Karya-karya seni, baik berupa puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, fragmen, teatrikal dan lain-lain mampu meningkatkan nilai dan kegemaran masyarakat khususnya anak-anak untuk lebih bersemangat untuk menciptakan genarasi berkecerdasan emosi.

Penutup
           
Bahasa santun dan pembelajaran sastra telah terbukti mampu memberikan warna untuk kecerdasan emosi anak. Dengan karya sastra anak-anak mengenal warisan sastra dari generasi ke generasi, mengenal warisan budaya, mengembangkan perilaku positif terhadap budaya sendiri sekaligus budaya lain yang sangat penting bagi perkembangan sosial dan personal, melalui para tokoh menangani masalah yang dihadapi dalam karya sastra anak-anak dipersiapkan untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri. Selain itu, anak-anak akan dilatih untuk memahami perasaan orang lain. Selain itu, karya sastra diharapkan mampu menjadi pintu menuju pengetahuan dan pengembangan minat, memperkaya dan memperluas imajinasi sekaligus estetika, perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, kepribadian dan sosial anak.
Globalisasi adaah suatu kenyataan sejarah yang akan terus bersama-sama kita, suka atau tidak suka. Globalisasi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia membuka peluang dan cakrwala baru bagi mereka yang ikut serta untuk maju lebih cepat. Di sisi lain ia membawa risiko-risiko baru bagi mereka. Menutup diri dan melawan arus globalisasi bukanlah pilihan realistis. Sikap lebih baik adalah melibatkan diri di dalamnya secara cerdas. Tujuan utama adalah memperoleh manfaat sebesar-besarnya dan sejauh mungkin menghindari resiko negatif. Kuncinya adalah meningkatkan kemampuan anak-anak secepatnya yang nantinya akan menjadi pemain andal dalam globalisasi dengan tetap bertanggung jawab dan berhati nurani.

DAFTAR PUSTAKA

Dulewicz, Vic dan Malcom Higgs. 2000. Emotional Intelligence You can’t Afford to Ignore It,ASE
Goleman, Daniel.1996. Emotional Intelligence. New York: bantam Books, 1996
Hein, Steve. 1999. Emotional Intelligence, ect. Emotional Intelligence (EQ) (http://eqi,org).
Mc. Cluckey, Alan. 1997. Emotional Intelligence in Schools (http://www.connected.org/lern/scholl.htm).
Nurgiyantoro, Burhan.2005. Sastra Anak. Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia
Rahman, Fathu. 2011. Sastra Anak dalam Persimpangan. (http://www.humanioratamalnrea.blogspot.com/
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003. “Struktur Bacaan Anak”, Teknik Menulis Cerita Anak, Ed. Sabrur R. Soenardi. Yogyakarta: Pinkbook.
Sumarlam, (Ed).2009. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.


                                                     
Disampaikan pada Seminar Internasional Universitas Diponegoro Tahun 2010
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar