ABSTRAK
BAHASA, SASTRA, DAN PERANANNYA DALAM
PEMBENTUKAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK
(Studi Kasus Kelas
Sastra Anak dan Sastra Madya di Lembaga Pendidikan “Bintang Indonesia”
Kabupaten Pacitan)
Sri Pamungkas
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP
PGRI Pacitan)
Bahasa
dan sastra merupakan sarana untuk menyampaikan budaya dan keyakinan budaya dari
anggota masyarakat yang satu kepada anggota masyarakat yang lain serta untuk
mewariskannya dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Bahasa sebagai
alat primer dalam kehidupan manusia untuk berkomunikasi, berinteraksi dan
mengembangkan diri, mengungkapkan perasaan, mempelajari ilmu pengetahuan dan
lain sebaginya. Sedangkan, sastra merupakan potret kehidupan yang diangkat
pengarang dalam dunia imajinasi dan dengan kreativitasnya mampu disuguhkan
layaknya realitas kehidupan. Sastra lahir bukan atas kekosongan jiwa. Ada makna
tersurat dan tersirat yang perlu diilhami serta dipetik yang tentu saja sangat bermanfaat
untuk proses kehidupan manusia.
Setiap manusia mempunyai peluang
untuk cerdas. Kecerdasan manusia ditentukan bagaimana ia mampu melakukan
optimalisasi otaknya. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini telah diberi
piranti oleh Tuhan untuk mampu berbahasa yang disebut sebagai Language
Aquisition Device (LAD). Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap manusia
mempunyai potensi untuk mampu berbahasa apa pun. Seorang anak yang baru lahir
adalah ibarat sehelai kertas putih. Kertas ini pada hari kemudian akan ditulisi
apa, dilukis apa, serta dipersiapkan untuk apa adalah menjadi tugas para orang
tua, sekolah, dan masyarakat untuk membuatnya menjadi sesuatu yang indah,
menyenangkan, beretika, dan bertanggung jawab.
Menghadapi fenomena saat ini,
yang mengedepankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ dan
jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan
tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreatifitas, katahanan mental,
kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri, atau sinergi.
Kita akui atau tidak hal itulah sebenarnya yang penting dalam rangka membentuk
manusia-manusia Indonesia yang berkualitas di kemudian hari.
Pembentukan karakter anak-anak
sering terabaikan. Kita juga belum bisa merasakan dan melihat hasil dari
pencanangan kurikulum berbasis karakter. Kita dihadapkan pada suatu persoalan
semakin hilangnya rasa kemanusiaan di dalam diri manusia sehingga yang tercipta
sekarang ini adalah sebuah ras yang nonmanusiawi. Bahkan yang sangat
menyedihkan adalah tentang hasil survei bahwa anak-anak generasi sekarang lebih
sering mengalami masalah emosi daripada generasi terdahulunya. Secara pukul
rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah,
dan lebih sulit diatur, lebih gugup, cenderung cemas, cenderung impulsif dan
agresif.
Sastra dan bahasa telah
diterapkan di Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia Pacitan sebagai sarana untuk
mengembalikan kepercayaan diri anak-anak untuk lebih berani, lebih peka
terhadap lingkungannya, mengedepankan kejujuran, dan lain-lain. Sastra dan
bahasa diolah sedemikian rupa hingga anak didik memegang teguh hati nurani
untuk mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup yang demikian cepat dan
dinamis dewasa ini.
Kata Kunci :
Bahasa, Sastra dan Kecerdasan Emosi
Pendahuluan
Sastra diciptakan secara umum
harus bertujuan dan berfungsi, dulce at
utile (indah dan bermanfaat) sebagaimana dicetuskan oleh Horatius. Sebagai
karya imajinatif sastra tidak saja lahir atas kekosongan jiwa. Artinya, hal-hal
yang diangkat dalam karya sastra merupakan cerminan realitas sosial.
Sastra anak atau children’s literature merupakan salah
satu genre sastra, yang disebut oleh Wellek (1956) sebagai produk sastra bacaan
anak-anak. Sementara Hunt (dalam Nurgiyantoro, 2005: 8) menyebutkan bahwa
sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh anak, yang secara khusus cocok
untuk memuaskan sekelompok anggota yang disebut anak. Jadi, sastra anak adalah
buku bacaan yang sengaja ditulis atau diciptakan untuk dibaca oleh anak-anak.
Isi karya tersebut sejatinya sesuai dengan minat dunia anak-anak, setara dengan
tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak, sehingga dapat memuasakan
mereka. Sastra anak tidak boleh gagal dalam mengemban peranannya untuk
memberikan edukasi dan hiburan bagi anak-anak. Sastra harus mampu mengajarkan
contoh-contoh yang berguna, bukan sebaliknya menghadirkan sesuatu yang tidak
terpuji.
Pembelajaran sastra, khususnya
sastra anak saat ini mulai berada dalam persimpangan jalan di tengah gempuran
media elektronik yang jauh lebih diminati anak-anak Dewasa ini kita dihadapkan
pada masalah-masalah yang semakin kompleks. Terutama yang hidup di perkotaan
karena sangat rentan pada perkembangan teknologi komunikasi dan perkembangan
sosial ekonomi. Perkembangan semua itu tidak selamanya membuat perubahan
kehidupan kita menuju ke perbaikan, hal itu tergantung pada bagaimana kita
menyikapi dan memanfaatkan perubahan tersebut bagi kehidupan kita, khususnya
dalam rumah tangga.
Beberapa penelitian seperti halnya
dikutip oleh Nuraini(2011) bahwa perubahan yang selama ini terjadi telah banyak
merubah pola kehidupan generasi kita menjadi pribadi yang individual,
materialis, dan cenderung kapitalis dengan alasan modern. Tekanan-tekanan
komulatif dari kehidupan modern telah mendatangkan bencana-bencana berupa
depresi, kecemasan, dan susah tidur serta masih banyak lagi masalah-masalah
yang tidak begitu tampak.
Pola asuh sejak dini sangat
menentukan pembentukan kepribadian atau emosi anak-anak kita. Seperti layaknya kita
membuat sebuah tempayan, kalau kita membentuk tempayan tersebut selagi masih panas
maka akan terwujud apa yang kita harapkan. Namun, bila kita membentuk tempayan
tersebut setelah besi dingin maka akan sangat sulit dan cenderung mustahil kita
akan membuat bentuk seperti yang kita harapkan.
Banyak pakar ilmu sosial percaya
bahwa masalah anak dewasa ini dapat dirunut ke peliknya perubahan-perubahan
pola sosial yang telah terjadi selama empat puluh tahun terakhir, termasuk
meningkatnya angka perceraian, meresapnya pengaruh negatif TV dan media,
kurangnya rasa hormat pada guru, dan orang tua.
Maraknya kejadian-kejadian
negatif di kalangan pelajar saat ini diantaranya adalah pertengkaran antar
pelajar, depresi, broken home, tidak
menghargai orang tua atau guru dan lain-lain merupakan hal yang sangat
memprihatinkan dan perlu segera disikapi. Contoh-contoh yang tidak mendidik
dari orang tua seperti membuat keputusan yang tidak bijaksana, kolusi, korupsi,
dan lain-lain menjadikan generasi kita menjadi generasi yang perlu kita
waspadai kepekaannya.
Hal yang menarik saat ini adalah
bahwa sastra sudah mulai ditinggalkan oleh anak-anak karena orang tua atau
bahkan lembaga pendidikan kurang memberikan support. Kini sastra anak berada
dalam persimpangan jalan di tengah gempuran media elektronik yang jauh lebih
diminati anak-anak.
Sastra anak mengetengahkan tentang dunia anak dengan
tujuan untuk menumbuhkan apresiasi dan moral atau rasa kejuangan bagi anak.
Sastra anak tersaji dalam bahasa lugas, logis, dan visible sehingga betul-betul
menjamin keterjangkauan berpikir logis bagi anak dengan plot (alur cerita) yang
dapat membantu cita rasa humanis bagi anak. Selain itu seyogyanya sastra
bersifat pragmatis.
Bila kita amati bersama bahwa
sastra anak kini mengalami keterasingan dari anak-anak, apalagi dengan sastra
lisan (berupa dongeng, fabel, cerita rakyat) yang dulu sering kali digunakan
oleh orang tua sebagai dongeng pengantar tidur. Padahal apabila kita melihat
dan merasakan makna yang terkandung dalam sastra tersebut sangat dalam dan
penuh pesan moral. Misalnya, seorang ibu yang menceritakan kepada anaknya
ketika akan tidur tentang Malin Kundang,
maka anak akan mendapatkan pesan moral bahwa tidak boleh durhaka kepada Ibu.
Berbeda halnya dengan tayangan di TV yang justru seorang anak membentak ibunya,
dan seterusnya.
Sastra dan bahasa telah diterapkan di Lembaga
Pendidikan Bintang Indonesia Pacitan sebagai sarana untuk mengembalikan
kepercayaan diri anak-anak untuk lebih berani, lebih peka terhadap
lingkungannya, mengedepankan kejujuran, dan lain-lain. Sastra dan bahasa diolah
sedemikian rupa hingga anak didik memegang teguh hati nurani untuk
mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup yang demikian cepat dan dinamis
dewasa ini.
Fungsi Bahasa dan
Sastra
Bahasa dan sastra merupakan dua
hal penting yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Bahasa
merupakan piranti untuk berekspresi dan sastra merupakan kumpulan kata, klaimat
dan paragraf yang tersajikan dengan indah. Baik bahasa maupun sastra keduanya
mempunyai fungsi masing-masing namun keduanya saling mendukung. Fungsi bahasa
menurut Halliday yang dikutip oleh
Tarigan (1987:6-7), Sumarlam(ed) (2009)
yaitu : (1) fungsi instrumental (the
instrumental function), untuk melayani pengelolaan lingkungan dan penyebab
peristiwa-peristiwa tertentu terjadi; (2) fungsi regulasi (the regulatory function), bertindak untuk mengawasi serta
mengendalikan peristiwa; (3) fungsi representasional (the representational function), untuk membuat
pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan,
atau melaporkan; (4) fungsi interaksional (the
interactional function), bertugas untuk menjamin serta memantapkan
ketahanan dan kelangsungan komunikasi sosial; (5) fungsi personal (the personal function), memberi
kesempatan kepada seorang pembicara mengekspresikan perasaan, emosi pribadi,
serta reaksi-reaksi yang mendalam; (6) fungsi heuristik (the heuristic function), untuk memperoleh pengetahuan, mempelajari
seluk beluk lingkungan; (7) fungsi imajinatif (the imaginatif function), untuk menciptakan sistem-sistem atau
gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.
Sedangkan, fungsi sastra adalah
mentransformasi nilai-nilai kehidupan secara estetis, dramatis, dan pragmatis.
Karya sastra sejatinya harus pragmatis karena cerminan kehidupan. Karya sastra
akan memperkaya pengalaman bagi pembacanya. Dengan membaca karya sastra
pengalaman seseorang dapat saja melampaui “kekinian” dan menghadirkan
“kedahuluan” dalam kehidupan ini, memperkaya pengalaman spiritual pembacanya yang
pada gilirannya akan membangun persepsi dan pengetahuan serta membangun
kepribadian, karena salah satu eksistensi karya sastra adalah lahir dari
refleksi kehidupan (Rahman, 2011).
Karya sastra dibaca hakikatnya
adalah untuk membangun pengalaman mimetik, manfaat bagaimana tokoh karya
memecahkan masalahnya, mengapa konflik harus terjadi, tokoh mana yang
berlaku bijak atau sebaliknya, apa
motifnya dan sebagainya. Dengan membaca karta sastra kita akan mengilhami unsur
intrinsik, misalnya latar (setting) yang merupakan gambaran dimana suatu
peristiwa terjadi, yang apabila dikaitkan dengan unsur ekstrinsik tentu hal ini
berkaitan dengan adat istiadat dan bahkan budaya secara umum.
Cerita dalam sastra merupakan
bagian dari hidup. Setiap orang adalah bagian dari sebuah cerita. Kelahiran,
pekerjaan, perjumpaan, usaha, ketegangan, penyakit, perkawinan, dan lain-lain
adalah sebuah rentetan kejadian dan kisah kemanusiaan yang menarik (Sarumpaet,
2003: 3). Cerita adalah narasi pribadi setiap orang dan setiap orang suka
menjadi bagian dari satu peristiwa, bagian dari satu cerita, dan menjadi bagian
dari sebuah cerita adalah hakikat cerita. Otak manusia juga disebut sebagai
alat narasi yang bergerak dalam dunia cerita. Semua pengetahuan yang disimpan
dalam otak dan bagaimana akhirnya setiap orang dapat mengingat dan mengenal
dunia adalah karena keadaan cerita itu. Kalau semua pengetahuan itu tidak
disimpan dalam bentuk cerita, tak akan mudah diingat. Itulah sebabnya segala
hal yang disimpan dalam bentuk cerita akan mudah diingat dibandingkan dengan
hal-hal yang disajikan dalam bentuk fakta-fakta atau sekuen-sekuen.
Aspek Psikopedagogik Bahasa dan Sastra
Karya sastra lahir bukan
semata-mata karya imajinasi pengarang. Pengarang sebagai anggota masyarakat,
yang mempunyai latar belakang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan
lain-ain tentu akan sangat mempengaruhi bagimana karya sastra disajikannya.
Karya sastra kemudian dipandang sebagai gambaran masyarakat. Dengan kata lain,
ia merupakan refleksi dari suatu kehidupan dan seluruh permasalahan yang
disajikan dengan menggunakan urutan kata yang membentuk bahasa sehingga mampu
memberikan aspek estetis. Dengan sifat mimetisnya karya sastra mampu memotret
manusia dari kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pandangan Horatius bahwa
sastra harus bertujuan dan berfungsi. Bermanfaat, karena pembaca dapat menarik
pelajaran yang berharga, misalnya dari tokoh-tokoh cerita, alur cerita, latar
atau setting yang semunya membentuk satu kesatuan cerita (Pradotokusuma, 2005:
6).
Karya
sastra juga dianggap mampu menampilkan kualitas estetis yang paling beragam
sekalipun paling tinggi. Aspek estetis karya sastra dihasilkan oleh keragaman
genre yang bersifat dinamis, ketidakteratasan cerita yang dihasilkan yang
tergantung pada kemampuan pengarang dan pembaca untuk menciptkan dan
menafsirkannya, serta bahasa sebagai medium karya sastra yang memiliki
kemampuan untuk berkembang secara tak terbatas yang tergantung pada kemampuan
imajinasi pembaca (Ratna, 2007: 289-290). Aspek estetis akan tampak bila
pembaca mampu melihat dan menikmatinya.
Kepekaan
pembaca akan membuat kehidupan ini penuh makna akan melihat betapa setiap
ciptaan Tuhan berfungsi. Tugas manusialah untuk memanfaatkan semua itu.
Sebaliknya tanpa kemampuan untuk melihat keindahan, semua hal menjadi tak
bermakna, sehingga hidup menjadi hampa. Estetika mempengaruhi manusia melalui
kesadaran total proses psikologis. Mencermati pentingnya estetika dalam
kehidupan manusia maka Mukarovsky sebagaimana dikutip oleh Ratna (2007: 291)
menyatakan tiga fungsi, yaitu (1) membangkitkan rasa bahagia, tentram dan
damai; (2) mendominasi pusat perhatian pada saat tertentu, sekaligus
mengabaikan perhatian lain yang pada saat itu tidak diperlukan; (3) mengganti
fungsi lain yang sudah usang.
Dengan
bahasa karya sastra mampu mempertemukan aspek estetika dan etika. Dengan
kekuatan aspek estetis, aspek etis secara tidak langsung masuk di dalamnya. Sebuah karya sastra memuat
nasihat, teladan, pendidikan, dan pengajaran, yang kesemuanya disampaikan
secara tidak langsung, dengan media bahasa yang indah pula. Dengan kekuatan
bahasa dan logika sederhana, karya sastra dianggap lebih mampu mengubah tingkah
laku manusia dibandingkan hukum formal.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan
wacana baru di wilayah psikologi dan pedagogi, setelah bertahun-tahun
masyarakat sangat meyakini bahwa faktor penentu keberhasilan hidup seseorang
adalah kecerdasan intelektual (IQ). Temuan penelitian di bidang psikologi oleh
Howard Gardner tentang Multiple
Intelligence, yang menyatakan bahwa dalam diri manusia ada hal yang belum
dieksplorasi untuk mendorong keberhasilan hidup. Riset di bidang psikologi
terus berkembang sampai akhirnya Solovey dan Mayer (1996) menemukan kecerdasan
emosional sebagai salah satu faktor penting bagi kesuksesan hidup manusia.
Temuan Solevey dan Mayer (1996) tersebut disempurnakan oleh Patton (1997) dan
Goleman (1999) (dalam Nugroho, 2003: 1).
Pengertian
tentang kecerdasan emosional sampai saat ini masih dalam perdebatan. Hein
(1999: 3) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan suatu potensi bawaan
ataukah serangkaian kemampuan, kompetensi, atau ketrampilan. Senada dengan itu,
Mayor dan Salovey menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
merasakan secara akurat, memahami, dan mengekspresikan emosi; kemampuan untuk
menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran, kemampuan
memahami emosi dan intelektual.
Dulewicz
dan Higgs (2000: 1) mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan
emosional adalah seseorang yang menyadari emosinya sendiri dan emosi orang lain
dan menyesuaikan perilakunya berdasarkan pengetahuannya. Mc Cluskey (1997: 2-3)
juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan ketrampilan emosi,
ada enam ketrampilan emosi yang esensial, yaitu memahami diri sendiri (selfawareness), mengelola emosi (managing emotions), empati (emphaty), komunikasi (communicating), kerjasama (co-operation), mengatasi konflik (resolving conflicts).
Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan
emosional merupakan ketrampilan, yang merupakan hasil kerjasama, kekuatan emosional, dengan pikiran rasional, untuk
mengendalikan diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri,
dan kemudian menggunakannya sebagai inti daya hidup sehingga sukses dalam
membina hubungan dengan orang lain, sukses dalam pekerjaan serta sukses dalam
hidup.
Pembahasan
Menyikapi fenomena yang semakin mengkawatirkan
sekarang ini para penggagas berdirinya Bintang Indonesia yang terdiri atas
anak-anak muda dengan berbagai latar belakang pendidikan berusaha menerapkan
pengajaran sastra sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam rangka menciptakan
manusia-manusia Indonesia yang berkualitas, kompeten dan mawas diri. Realitas
saat ini telah banyak mengajarkan hal-hal yang tidak baik daripada yang baik.
Kasus korupsi, kolusi, nepotisme yang terjadi pada para elit sampai dengan
penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anak-anak menjadi potret kekawatiran
kita bersama akan kualitas generasi kita yang akan datang.
Pacitan
sebagai sebuah kota kecil di Propinsi Jawa Timur, yang secara medan sangat
sulit dan melelahkan senyatanya telah terjadi hal-hal menyimpang seperti halnya
di kota-kota besar. Upaya dua orang sisiwa SD untuk memberikan minuman kepada
temannya yang ternyata minuman tersebut berisi racun, tingginya angka
pernikahan dini, dan beberapa hal yang lain sangatlah memprihatinkan.
Gagasan Membangun
Kecerdasan Emosi Melalui Pengajaran Bahasa dan Sastra
Daya saing sastra dengan media elektronik menjadi
kata kunci dalam proses penyelamatan generasi kita dari keterpurukan (termasuk
bahasa di dalamnya). Daya saing membuat sebuah budaya menjadi berdaya dan
meningkatkan posisi tawarnya menghadapi globalisasi atau pun segala bentuk
pengaruh yang terkikis. Peningkatan daya saing dalam penggunaan bahasa santun
yang mulai terkikis di kalangan genarsi muda serta semakin mengkawatirkannya
kondisi anak-anak muda saat ini dapat diartikan sebagai upaya melakukan
pendekatan baru agar bahasa “santun” serta sastra makin digemari oleh generasi
baru.
Lembaga
Pendidikan Bintang Indonesia Pacitan, merupakan sebuah lembaga pendidikan yang
berfungsi memberikan pendidikan kepada anak-anak dengan menggunakan pendekatan
karya sastra. Anak-anak yang dididik dalam lembaga ini rata-rata adalah
anak-anak yang awalnya pemalu, kurang percaya diri, hiperaktif, tingkat
emosional tinggi karena broken home
dan lain-lain. Lembaga ini dalam melakukan kegiatannya juga bersinergi dengan
komunitas sastra Pacitan (KANSAS) yang beranggotakan anak-anak muda dari
tingkat SLTA maupun mahasiswa yang mereka dididik dan disiapkan untuk menjadi
pengajar pada kelas sastra di lembaga pendidikan Bintang Indonesia tersebut.
Lembaga pendidikan Bintang Indonesia dan KANSAS merupakan contoh menarik
bagaimana gagasan-gagasan sederhana berhasil meningkatkan daya saing bahasa
santun di tengah maraknya bahasa gaul dan meningkatnya daya saing sastra di
tengah daya saing gelontoran produk media, dengan kemasan sinetron, dan
lain-lain.
Kelas
sastra di lembaga pendidikan Bintang Indonesia adalah kelas-kelas kecil dengan
maksud agar pengajar dapat lebih berkonsentrasi maksimal untuk memberikan
perhatian dan mengeksplorasi dengan total terhadapat pengajaran sastra dan
bahasa santun. Tatap muka pada kelas sastra dilakukan pada hari-hari efektif,
sedangkan polesan untuk anak-anak remaja yang tergabung dalam “Sastra Gaul”
dilakukan pada hari Minggu siang, yang terdiri atas anak-anak SD sampai dengan
SMP, sedangkan hari Minggu sore kajian sastra dilakukan oleh KANSAS yang
terdiri atas anak-anak setara SMA dan juga para mahasiswa. Saat ini KANSAS
telah menerbitkan sebuah buletin dengan tajuk “Minggu Sore”.
Proses
pembelajaran di Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia dituntut mampu memberikan
contoh berbahasa santun, membangun suasana kekeluargaan, suasana belajar yang
menyenangkan, dan komunikasi yang efektif. Adapun metode pendekatan yang
dilakukan dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Penanaman pemahaman bersama
antara orang tua, pengajar dan siswa tentang pentingnya pembelajaran
sastra

Para pengajar diinstruksikan oleh pimpinan
Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia tersebut agar mampu menggunakan bahasa
santun dan lebih utama mampu membuat suasana menyenangkan serta mampu mengolah
sastra (cerita) dengan bahasa komunikatif dan menarik perhatian anak-anak.
Pengajar biasanya menceritakan terlebih dahulu sebuah cerita sesuai dengan tema
yang diangkat pada hari tertentu, baik dengan menggunakan media atau tanpa
media, kemudian anak-anak diminta menceritakan kembali dengan bahasa dan
ekspresi mereka, setelah itu membuat cerita yang temanya mirip. Hal tersebut
merupakan salah satu contoh bagaimana teknis pembelajaran sastra di lembaga
tersebut.
- Penyusunan Program Formal
Institusi
Ketika kesadaran telah tertanam,
institusi formal menyusun beberapa program formal, misalnya dengan
mengikutsertakan anak-anak dalam berbagai perlombaan, misalnya bercerita, puisi
dan lain-lain. Selain itu anak-anak diajak untuk melakukan refleksi
bersama-sama dengan komunitas atau lembaga lain yang ada di Kabupaten Pacitan,
misalnya dalam peringatan hari Ibu, hari Kartini, hari Bumi, hari Kemerdekaan,
hari Chairil Anwar, refleksi 10 November dan lain-lain. Mereka ditempa
mentalnya dengan bereksplorasi di panggung sederhana, di lapangan terbuka
dengan membawa tema-tema kekinian.
- Pendekatan berjenjang dalam
penggunaan bahasa santun dan pembelajaran sastra
Program formal yang telah disusun
diikuti pula oleh sebuah sistem penghargaan dan hukuman (reward and Punishment) yang proporsional. Pendekatan berjenjang di
Lembaga Pendidikan Bintang Indonesia dimaknai sebagai pendekatan setahap demi
setahap sehingga seluruh elemen organisasi tidak hanya mampu melestraikan
bahasa santun dan sastra, namun juga mampu mengembangkan pula sesuai dengan
kreativitas yang mereka tekuni.
- Penciptaan Agen Perubah
Salah satu percepatan dalam
pelestarian dan pengembangan bahasa santun dan sastra sebagai model
pembelajaran adalah dengan diciptakannya agen-agen perubah budaya di dalam
Lembaga Pendidikan tersebut. Agen perubah ini berfungsi sebagai provokator, inisiator
penggunaan bahasa santun maupun pentingnya sastra dalam membentuk kecerdasan
emosi pada anak.
- Pendekatan populis dan
ekspansif
Pendekatan populis dan ekspansif diterjemahkan dengan
mengemas bahasa dan sastra dalam bentuk seni agar menarik dan dapat diminati
oleh beragam lintas generasi. Karya-karya seni, baik berupa puisi, musikalisasi
puisi, dramatisasi puisi, fragmen, teatrikal dan lain-lain mampu meningkatkan
nilai dan kegemaran masyarakat khususnya anak-anak untuk lebih bersemangat
untuk menciptakan genarasi berkecerdasan emosi.
Penutup
Bahasa santun dan pembelajaran
sastra telah terbukti mampu memberikan warna untuk kecerdasan emosi anak.
Dengan karya sastra anak-anak mengenal warisan sastra dari generasi ke
generasi, mengenal warisan budaya, mengembangkan perilaku positif terhadap
budaya sendiri sekaligus budaya lain yang sangat penting bagi perkembangan
sosial dan personal, melalui para tokoh menangani masalah yang dihadapi dalam
karya sastra anak-anak dipersiapkan untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri.
Selain itu, anak-anak akan dilatih untuk memahami perasaan orang lain. Selain
itu, karya sastra diharapkan mampu menjadi pintu menuju pengetahuan dan
pengembangan minat, memperkaya dan memperluas imajinasi sekaligus estetika,
perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, kepribadian dan sosial anak.
Globalisasi adaah suatu kenyataan
sejarah yang akan terus bersama-sama kita, suka atau tidak suka. Globalisasi
ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia membuka peluang dan cakrwala baru bagi
mereka yang ikut serta untuk maju lebih cepat. Di sisi lain ia membawa
risiko-risiko baru bagi mereka. Menutup diri dan melawan arus globalisasi
bukanlah pilihan realistis. Sikap lebih baik adalah melibatkan diri di dalamnya
secara cerdas. Tujuan utama adalah memperoleh manfaat sebesar-besarnya dan
sejauh mungkin menghindari resiko negatif. Kuncinya adalah meningkatkan
kemampuan anak-anak secepatnya yang nantinya akan menjadi pemain andal dalam
globalisasi dengan tetap bertanggung jawab dan berhati nurani.
DAFTAR PUSTAKA
Dulewicz, Vic dan Malcom Higgs.
2000. Emotional Intelligence You can’t Afford to Ignore It,ASE
Goleman,
Daniel.1996. Emotional Intelligence. New York: bantam Books, 1996
Hein, Steve. 1999. Emotional
Intelligence, ect. Emotional Intelligence (EQ) (http://eqi,org).
Mc. Cluckey, Alan. 1997.
Emotional Intelligence in Schools (http://www.connected.org/lern/scholl.htm).
Nurgiyantoro,
Burhan.2005. Sastra Anak. Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah
Mada
University Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono.
2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia
Rahman, Fathu. 2011. Sastra Anak
dalam Persimpangan. (http://www.humanioratamalnrea.blogspot.com/
Ratna,
Nyoman Kutha. 2007. Estetika, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003.
“Struktur Bacaan Anak”, Teknik Menulis Cerita Anak, Ed. Sabrur R. Soenardi.
Yogyakarta: Pinkbook.
Sumarlam, (Ed).2009. Teori dan
Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra
Tarigan,
Henry Guntur. 1987. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar