Minggu, 18 Mei 2014

Penggunaan Bahasa pada Penyandang Latah (Studi Kasus Latah di Jember Jawa Timur)

Penggunaan Bahasa pada Penyandang Latah

(Studi Kasus Latah di Jember Jawa Timur)
Sri Pamungkas, S.S., M.Hum.
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP PGRI Pacitan)

Abstrak

Berbahasa merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia menggunakan bahasanya seperti halnya bernafas, sehingga berbahasa dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan alamiah. Pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dapat diilhami dari peran bahasa dalam interaksi manusia dengan manusia lain, pengembangan dirinya, dan bahkan hingga manusia tidur pun mereka masih menggunakan bahasa.
 Bahasa yang digunakan manusia mempunyai sistem, kaidah, maupun aturan yang harus dipatuhi oleh setiap penutur demi kelancaran kegiatan interaksi dan komunikasi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kegiatan interaksi dan komunikasi mengalami gangguan karena adanya bentuk gangguan berbahasa, misalnya latah. Di era dua puluhan ini banyak yang beranggapan bahwa latah adalah hal yang wajar-wajar saja, namun setelah dikaji secara lebih mendalam ternyata latah merupakan bentuk penyakit yang susah disembuhkan. Latah pada kenyataannya juga merupakan bentuk peniruan perbuatan dan ucapan.
Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi tentang (1) bentuk pernyataan bahasa pada penyandang latah di Jember Jawa Timur, (2) pola kebahasaan pada penyandang latah, (3) maksud dan fungsi pernyataan bahasa pada penyandang latah di Jember Jawa Timur.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan penelitian studi kasus yang juga memiliki ciri penelitian yang mendalam (intens) mengenai suatu kasus. Data penelitian berupa kata, frasa, kalimat dan perilaku yang mengiringi ujaran. Informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang dan semuanya berstatus sebagai ibu rumah tangga, usia tiga puluh tahun ke atas dan berjenis kelamin perempuan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi terus terang atau tersamar, wawancara tak berstruktur dan studi dokumentasi. Instrumen penelitian adalah peneliti dan dibantu seorang asisten di lapangan yang telah dilengkapi alat perekam data, panduan klasifikasi data, catatan lapangan, dan format studi dokumen pribadi. Analisis data dilakukan melalui cara reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan dilakukan pengecekan keabsahan data dan temuan dengan jalan perpanjangan pengamatan penelitian, meningkatkan ketekunan, triangulasi, menggunakan bahan referensi, analisis kasus negatif, dan member check.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat (1) dua buah bentuk bahasa pada penyandang latah yaitu bentuk bahasa yang bisa dipahami dan bentuk bahasa yang tidak bisa dipahami. Pembagian bentuk bahasa tersebut didasarkan pada dua hal. Pertama, berdasarkan kelaziman bahasa yang digunakan oleh penyandang latah. Bahasa-bahasa tersebut terkait dengan konteks tuturan pada saat itu. Kedua, bahasa yang digunakan penyandang latah secara umum harus memiliki makna, (2) ada tujuh pola kebahasaan pada penyandang latah antara lain pola lengkap, pengurangan, penambahan, kekhasan, pengulangan ganda, mengacu pada bunyi, dan pola variasi lain, (3) maksud dan fungsi pernyataan bahasa pada penyandang latah di Jember Jawa timur, yang dominan coprolalia (menyebut alat kelamin) secara terus menerus, merupakan gambaran mimpinya. Artinya, pengaruh psikis yang menyebabkan tekanan, yang digambarkan dalam mimpi para perempuan latah di Jember Jawa Timur tersebut memberikan tekanan lebih besar daripada tekanan dari luar.

Kata Kunci: Bahasa, Latah, Jember

1.       Latar Belakang Masalah
Lebih seabad yang lalu para peneliti Eropa memulai mendokumentasikan bahwa latah akrab dengan masyarakat Melayu (Ellis and O'Brien, via Doolitlle dalam Suthlive (ed) (tanpa tahun: l21). Orang-orang barat tidak bisa mengerti tentang latah. Mereka menganggap bahwa perilaku latah itu tidak sesuai dibandingkan dengan perilaku yang ditemukan pada budaya barat dan mereka mengatakan bahwa perilaku latah adalah perilaku yang tidak masuk akal. Orang-orang barat menganggap latah adalah sebuah penyakit (pathalogy) dan diklasifikasikan sebagai gangguan mental yang hanya ditemukan di antara orang-orang Melayu dan Indonesia. Latah kebanyakan diderita oleh orang dewasa dan psikosis ini biasanya dibawa seumur hidup, tetapi di lain pihak seseorang yang latah menikmati hidup yang normal.
Seluruh kasus latah muncul akibat stimulus, khususnya ketika kosong pikirannya. Kata-kata atau kalimat akan muncul dari kejutan yang tiba-tiba baik melalui pandangan mata ataupun pendengaran, seperti perintah langsung atau dikejutkan yang mengganggu keseimbangan sistem otak.
Sebuah episode latah dapat terjadi karena beberapa tipe stimulus yang berbeda. Stimulus itu dapat berupa suara atau bahasa tubuh, digelitik atau ditepuk, jatuhnya sebuah objek, guncangan atau kebingungan dalam kerumunan orang-orang.
Kenny (1990), Gerdz (1968), mengatakan bahwa kecenderungan memunculkan bentuk-bentuk lingual tentang alat kelamin laki-laki pada orang latah merupakan wujud tekanan budaya, sehingga mereka mengatakan bahwa latah merupakan sindrom budaya. Seperti halnya yang penulis temukan di Kabupaten Jember Jawa Timur, perilaku latah pada wanita-wanita di sana lebih banyak diakibatkan oleh tekanan psikis.
Latah diklasifikasikan menjadi coprolalia, yaitu mengucapkan kata-kata cabul, menirukan kata kata atau frasa orang lain (echolalia), mengulangi kata-kata yang diucapkannya sendiri (auto echolalia), menirukan tindakan orang lain (echopraxia), atau mematuhi perintah orang lain (command automatism). Selain itu ditemukan perilaku latah yang lain, yaitu penggantian jenis kata yang diucapkan oleh seseorang yang latah dengan kata lain yang mempunyai jenis kata yang sama setelah mereka mendengar stimulus dari orang lain (paradigmatic error).
Setiap perilaku yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu, pasti ada sesuatu yang mendorongnya. Dorongan itu bisa dari dalam individu maupun dari luar individu. Darongan dari dalam individu adalah dorongan pikiran, naluri, dan dorongan hati. Sedangkan, dorongan dari luar adalah dorongan dari luar dirinya, yaitu dari lingkungannya. Munculnya bentuk-bentuk lingual latah yang menggambarkan alat kelamin laki­-laki merupakan wujud tekanan pada diri seseorang. Seseorang mempunyai keinginan, dan keinginan itu tidak dapat terealisasi dalam kenyataan, diubah bentuknya dalam mimpi. Hal tersebut terjadi karena budaya yang melingkupinya tidak memberikan kelonggaran pada seorang wanita untuk mengungkapkan segala keinginannya, apalagi keinginan seksual. Wanita itu akhirnya hanya bisa menahan dan sesuatu yang ditahan itu dimanifestasikan dalam bentuk mimpi. Sedangkan, bentuk-bentuk lingual yang menggambarkan keinginannya (keinginan seksual atau kekecewaan seksual) akan muncul pada saat seorang yang berperilaku latah terkejut , dan mereka merasa malu ketika kesadarannya penuh.
Berbeda halnya dengan fenomena di atas, saat ini latah sudah menjadi tren. Latah berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu banyak dialami oleh perempuan, berpendidikan rendah dan berkelas ekonomi rendah pada usia 30 tahun ke atas. Namun, hal tersebut pada saat ini telah mengalami pergeseran. Fenomena yang terjadi di lapangan memberikan kenyataan berbeda. Latah justru banyak menggejala di kalangan pelajar maupun mahasiswa biasanya mereka yang berkelas ekonomi menengah ke atas, selain juga terjadi pada perempuan-perempuan seperti di Jember.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pada awal mula seseorang menjadi latah adalah karena mimpi. Mimpi secara logika tidak begitu saja diterima sebagai penyebab terjadinya latah seperti yang pernah penulis teliti di Kabupaten Jember, terhadap enam orang perempuan. Namun, menurut penulis hal terpenting di sini adalah kejadian-kejadian sebelumnya yang menekan perempuan tersebut hingga akhirnya ia menjadi latah.
Freud (1987: xxiv-xxv) mengatakan bahwa mimpi adalah via regia atau jalan utama yang mengantarkan kita ke ketidaksadaran. Freud menyebutkan bahwa mimpi merupakan wujud suatu konflik, karena mimpi adalah suatu produk psikis dan karena hidup psikis dianggapnya sebagai konflik antara daya-daya psikis.
Jung (1989: 45) mengatakan bahwa aspek tak sadar suatu peristiwa tersingkap kepada kita dalam impian-impian yang muncul tidak berupa pikiran rasional tetapi berupa citra simbolis. Freud dan Adler (via Kartini-Kartono, 1996:144) menganggap mimpi sebagai produk patologis dan merupakan perwujudan dari harapan-harapan yang tidak bisa terealisasi.
Mimpi merupakan cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi. Mimpi merupakan suatu produk psikis dan karena hidup psikis dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis. Mimpi terjadi pada saat si subjek sedang tidur, jadi keadaan di saat si subjek ingin beristirahat dari aktivitas-aktivitas psikis maupun fisis, sudah mencapai pada taraf minimal. Dalam keadaan seperti itu represi menjadi kendur dan apa yang direpresi dapat masuk dalam kesadaran (Freud,1987: v).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa mimpi itu dapat melambangkan manifestasi positif dan dapat pula melambangkan konflik atau keinginan yang tidak dapat terealisasi itu akan berpindah dari kesadaran ke ketidaksadaran dengan mencari jalan untuk pemuasan, yaitu melalui mimpi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mimpi dalam hal ini merupakan realisasi suatu keinginan yang direpresi dalam ketaksadaran.
Bentuk-bentuk lingual yang muncul dari masyarakat berperilaku latah biasanya adalah berupa bahasa ibu (bahasa daerah). Penyebutan alat kelamain laki-laki (coprolalia), benda, atau penyebutan hal-hal lain diungkapkan dalam bahasa Madura oleh penyandang latah di Jember.
Masyarakat di Jember Jawa Timur dapat dikatakan sebagai masyarakat pendatang. Akulturasi bahasa, budaya, bahkan sistem sosial bercampur aduk membentuk masyarakat Jember. Masyarakat Jember didominasi oleh dua latar belakang budaya, yaitu Jawa dan Madura. Bahasa Jawa dan Madura di Jember apabila kita perhatikan berbeda dari yang berasal dari tempat lain.
Mengacu dari tulisan Henriono Nugroho, ada tiga hal yang menyebabkan perbedaan penggunaan bahasa di Jember yaitu hambatan sosial, hambatan geografis, dan hambatan linguistik. Hambatan Sosial yang dimaksud di sini tidak bisa dilepaskan dari sejarah Jember. Sejarah Jember dimulai dari adanya perkebunan abad 19. Gelombang pendatang baik dari Jawa di luar Jember maupun Madura pun bermunculan. Rata-rata para pendatang ini adalah dari golongan rakyat kelas bawah dan bekerja sebagai buruh di perkebunan. Dengan demikian, penduduk setempat (lokal Jember) bercampur baur dan membentuk masyarakat Jember sampai saat ini. Perpaduan dua suku dari golongan kelas bawah ini membentuk golongan kelas yang sama karena merasa dari golongan yang sama. Suku Jawa cenderung menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Suku Madura juga menggunakan bahasa Madura kasar (unda usuk tingkat rendah).
Hambatan geografis mengacu pada lokasi atau jarak antara kedua tempat tersebut. Mengacu pada pendapat Henriono Nugroho bahwa bahasa Jawa mempunyai bahasa baku dan hidup pada masyarakat Yogyakarta. Jarak kedua Kabupaten yang kebetulan juga berbeda propinsi tersebut memang sangat berjauhan sehingga bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di Yogyakarta dengan di Jember sangat berbeda.
Yogyakarta dan Jember sebenarnya sama-sama terletak di dekat pantai selatan. Namun, kedua daerah ini terpisah oleh gunung, sungai, karang terjal, dan daerah tandus. Jadi tidak ada jalan lurus horizontal yang menghubungkan Jember dan Yogyakarta. Bila dari arah Yogyakarta, untuk menuju ke Jember orang harus menuju ke arah Timur Laut dulu, yakni melalui Solo, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kertosono, Mojokerto, Jombang, dan Surabaya, baru kemudian ke arah Tenggara melalui Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan baru sampai di Jember.
           Penyebab perbedaan yang terakhir adalah hambatan linguistik. Materi jurnal yang ditulis oleh Henriono Nugroho menyebutkan banyak istilah-istilah kebahasaan beserta contoh. Menurutnya, dialek Jember lebih miskin perbendaharaan kata (bahasa Jawa) daripada bahasa Jawa baku yang berkembang di Yogyakarta. Hal ini dapat kita lihat pada tidak adanya penyebutan nama anak hewan dalam bahasa Jawa dialek Jember . Contoh : anak gajah dalam bahasa Jawa baku dinamakan bledug, namun dalam bahasa Jawa dialek Jember cukup dinyatakan dengan anak’e gajah.
Pengaruh bahasa Madura pada bahasa Jawa khas Jember juga sangat kuat. Ini melahirkan banyak sekali perbendaharaan kata baru yang hanya ada di kota Jember, misalnya kata cangkul. Cangkul dalam bahasa Jawa baku istilahnya adalah pacul. Sedangkan, di Jember berubah menjadi pacol untuk membahasakannya dalam bahasa Madura. Istilah cangkul dalam bahasa Madura adalah bukan pacol tetapi landuk. Spesifikasi bahasa Jawa di Kabupaten Jember juga dapat dilihat dari cara pemanggilan nama seseorang yang sudah berumah tangga dan memiliki anak. Orang tua yang telah mempunyai anak, maka ia akan dipanggil sesuai dengan anaknya yang pertama dan tidak dipanggil sesuai nama suaminya. Misalnya, seorang perempuan menikah dengan Pak X, maka ia akan dipanggil dengan Bu X, namun apabila ia telah mempunyai seorang anak maka ia akan dipanggil sesuai nama anaknya yang pertama. Misalnya, anak yang pertama bernama Endang, maka ia tidak lagi dipanggil Bu X tetapi dipanggil Bu Endang, bila nama anak pertamanya Aris, maka ia akan dianggil Bu Aris.
Faktor lain penyebab timbulnya perbedaan dialek Jember dengan bahasa Jawa baku adalah perbedaan budaya. Pacitan yang banyak berkiblat pada bahasa Jawa di Yogyakarta sedangkan berdasarkan keterangan tersebut di atas membuktikan bahwa masyarakat Jember mempunyai kekhasan bahasa, yang jauh dari bahasa Jawa baku.  Hal ini disebabkan masyarakat Yogyakarta, yang hal itu banyak dianut oleh masyarakat Pacitan, pada umumnya golongan abangan, priyayi dan sebagian santri. Sedangkan, masyarakat Jember mayoritas golongan santri. Kosakata yang dipergunakan di kedua daerah itu pun akhirnya banyak terjadi perbedaan. Bahasa Jawa baku (Yogyakarta) lebih banyak dianut oleh masyarakat Pacitan yang terpengaruh oleh Hindu dan budaya aristokrasi keraton, sedangkan Jember lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab / ajaran agama Islam.
         Bahasa Jawa dialek Jember utamnya tataran Kromo Inggil, hanya berdasarkan faktor rasa hormat dan kebersamaan. Kromo inggil pada dialek Jember tidak banyak dipengaruhi status sosial sehingga masyarakat Jember terlihat lebih akrab dengan bahasa Jawa Ngoko. Ngoko menjadi simbol keakraban antar sesama rakyat Jember bila digunakan dengan timbal balik.
2. Bahasa dan Pikiran
             Bahasa adalah salah satu anugerah Tuhan yang memungkinkan manusia untuk mengelola pikirannya dan mengendalikan pengaruh luar terhadap pikirannya. Manusia sebagaimana halnya makhluk Tuhan yang lain berinteraksi dengan lingkungannya dan memroses data dari organ pancaindranya untuk menciptakan suatu representasi utama dari dunia. Representasi dunia menjadi sumber pesan yang diolah dalam pikiran.
             Pesan-pesan tersebut menurut Arifuddin (2010: 242) tidak mengalir langsung dari pancaindra ke sel motorik, tetapi lebih dahulu masuk ke dalam unit pemrosesan khusus, dan di dalam unit tersebut pesan-pesan tersebut bersaing dengan pesan-pesan yang lain. Pesan yang lebih kuat selanjutnya mengaktifasi sel-sel motorik untuk melakukan fungsinya. Apabila citra sensori sudah berwujud sebagai sebuah predator maka seperangkat neuron akan melakukan fungsinya untuk mengolah citra sensori tersebut (Bickerton,1995: 101). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sebenarnya pemrosesan pesan melalui beberapa tahap panjang namun kita tidak pernah menghitung atau merasakan lamanya proses tersebut berlangsung.
             Muller dalam Ariffuddin (2010: 244) mengatakan bahwa bahasa dan pikiran selalu terkait, tidak dapat dipisahkan  satu sama lain. Ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dikendalikan oleh pikiran, dan sebaliknya hasil pikiran memunculkan kategori atau konsep untuk sebuah benda atau objek. Dengan demikian, ada kesalingtergantungan antara bahasa dan pikiran atau sebaliknya.
             Piaget dalam Arifuddin (2010: 245) mengemukakan pandangan yang serupa, bahwa ada keterkaitan pikiran dan bahasa. Bahasa adalah representasi dari pikiran. Apa yang diungkapkan seseorang melalui ujarannya tidak lain dari hasil proses berpikir, terlepas dari kebenaran atau kesalahan hasil pikiran tersebut. Menurut Piaget ada dua pikiran, yaitu pikiran terarah (directed) atau intelligent dan pikiran tak terarah atau autistik (autistic). Pikiran yang terarah adalah pikiran yang menghasilkan tindakan atau ujaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan kuat, sedangkan pikiran tidak terarah umumnya pikiran yang sering menimbulkan kekeliruan atau dampak tidak terduga. Tergelincir lidah (slip of the tongue) terjadi karena tidak ada kerja sama harmonis antara otak atau pikiran dengan alat-alat ucap, sehingga yang diujarkan tidak sesuai dengan yang ada dalam pikiran, meskipun maksud atau pesan yang disampaikan itu sama. Baos dikutip oleh Arifuddin (2010: 246) juga sepakat dengan pandangan bahwa cara berpikir masyarakat pengguna bahasa dipengaruhi oleh bahasa. Sebagai contoh, cara berpikir orang Indian dipengaruhi oleh struktur bahasa yang mereka pakai sehari-hari.
             Perilaku latah yang terjadi pada masyarakat Jember tentu juga tidak dapat dipisahkan dari  pikiran. Pikiran yang terjadi telah membentuk perilaku spesifik dalam berbahasa. Perilaku spesifik baik verbal maupun nonverbal tersebut terjadi hanya ketika kesadarnnya menurun karena situasi tertentu, misalnya terkejut karena jatuhnya suatu objek, kebisingan dan lain-lain. Namun, ketika kesadaran mereka penuh (dalam situasi biasa) masyarakat berperilaku latah ini juga mampu menggunakan bahasanya dengan baik. 

3. Teori Mimpi
             Mimpi dan tidur mempunyai hubungan sangat erat. Kita bisa terbangun oleh mimpi; kita sering mendapat mimpi saat kita bangun secara spontan atau saat kita dipaksa bangun dari tidur. Mimpi menurut Freud (2006: 86) merupakan penghubung antara kondisi bangun dan tidur.
             Tidur menurut Freud (2006: 87) adalah kondisi saat kita menolak berhubungan dengan dunia luar dan menarik diri darinya. Cara mundur atau menghindar dari dunia luar dan menangkal rangsangan dari sana adalah dengan tidur. Dengan demikian, objek biologis dari tidur adalah penyembuhan dan karakteristik psikologinya adalah penangguhan kepentingan kita dengan dunia luar, yang kita masuki dengan setengah hati, meskipun kita bisa bertahan hidup hanya bila ada waktu istirahat.
             Mimpi dengan demikian dapat diartikan sebagai sebentuk reaksi dari pikiran untuk merangsang tindakan selama tidur (Freud,2006:88). Selama kita bermimpi kita yakin telah melalui banyak pengalaman. Sementara, dalam realitas kita mungkin hanya mengalami satu rangsangan yang mengganggu. Sebagian besar pengalaman kita berbentuk potret visual yang bercampur dengan perasaan dan pikiran serta indra lain, sedangkan sebagian besar bagian dari mimpi hanya terdiri atas potret visual saja.
             Mimpi yang sering dialami manusia adalah mimpi yang samar-samar atau kabur. Mimpi terdapat bagian yang keberadaannya samar-samar atau kabur, sehingga sulit dipahami. Mimpi sangat konsisten, kadang-kadang saling berhubungan dengan mimpi lain, bisa sangat lucu atau sangat indah. Mimpi lain ada yang membingungkan, tampak tidak jelas dan sering gila-gilaan. Ada mimpi yang meninggalkan kita dalam kedinginan, ada juga mimpi yang membuat kita sedih bahkan sangat ketakutan hingga kita terbangun dengan perasaan kagum, gembira, takut, dan seterusnya (Freud,2006:90).
             Freud juga mengatakan bahwa sebagian besar mimpi akan terlupakan setelah bangun. Mimpi ada juga yang tetap bisa diingat sepanjang hari itu. Ingatan terhadap suatu mimpi semakin lama semakin kabur seiring dengan waktu berjalan, sedangkan mimpi lain ada yang sangat jelas, misalnya mimpi masa kanak-kanak, hingga 30 tahun kemudian kita masih mengingatnya dengan jelas seolah-olah mimpi itu baru terjadi tadi malam. Ada mimpi yang hanya datang sekali dan tidak pernah datang lagi, namun ada orang yang mendapat mimpi-mimpi secara terus menerus, mimpi-mimpi dengan bentuk persis sama atau sedikit perubahan.
Freud (1987:xxiv-xxv) mengatakan bahwa mimpi adalah ”via regia” atau jalan utama yang mengantarkan kita ke ketidaksadaran. Freud menyebut bahwa mimpi merupakan wujud suatu konflik, karena mimpi adalah suatu produk psikis dan karena hidup psikis dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis.
Jung (1989:45) mengatakan bahwa aspek tak sadar suatu peristiwa tersingkap kepada kita dalam impian-impian yang muncul tidak berupa pikiran rasional tetapi berupa citra simbolis. Freud dan Adler (via Kartini-Kartono,1996:144) menganggap mimpi itu sebagai produk patologis, dan merupakan perwujudan dari harapan-harapan yang tidak bisa terealisasi. Sekedar untuk diketahui bahwa Jung (1989:45) mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda dengan Freud. Jung menegaskan bahwa mimpi itu tidak hanya sebagai isi-isi konflik pribadi saja, akan tetapi juga manifestasi-manifestasi positif dari ketidaksadaran. Misalnya berupa motif-motif mitologis, simbol-simbol atau perlambang tertentu, pesan gaib, dan lain-lain.
Mimpi merupakan cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi. Mimpi merupakan suatu produk psikis dan karena hidup psikis dianggapnya sebagai konflik antara daya-daya psikis. Mimpi terjadi pada saat si subjek sedang tidur, jadi keadaan pada saat si subjek ingin beristirahat dari aktivitas-aktivitas psikis maupun fisik, sudah mencapai taraf minimal. Dalam keadaan seperti itu represi menjadi kendur dan apa yang direpresi dapat masuk dalam kesadaran (Freud,1987:xxv).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa mimpi itu dapat melambangkan manifestasi positif dan dapat pula melambangkan konflik atau keinginan yang tidak dapat terealisasi. Keinginan atau konflik yang tidak dapat terealisasi atau terselesaikan itu akan berpindah dari kesadaran ke ketidaksadaran dengan mencari jalan untuk pemuasan, yaitu melalui mimpi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mimpi dalam hal ini merupakan perealisasian suatu keinginan yang direpresi dalam ketaksadaran.

4. Fungsi Mimpi
Mimpi selain mempunyai makna juga mempunyai fungsi. Fungsi mimpi menurut (Freud 1987 : xxv) adalah melindungi tidur kita. Hal ini dilaksanakan dengan dua cara : (1) mengintegrasikan faktor-faktor dari luar yang dapat mengganggu tidur kita; (2) memberikan pemuasan untuk sebagian kepada keinginan-keinginan yang direpresi atau yang tidak sempat dipuaskan dalam kenyataan.
Dari kedua fungsi mimpi tersebut dikatakan oleh Freud, apabila faktor-faktor dari luar terlalu kuat, yang terjadi adalah ”arousal-dreams” (mimpi-mimpi yang berakhir dengan membangunkan kita). Kalau keinginan-keinginan dari dalam terlalu kuat, sensor akan kewalahan dan orang yang tidur diganggu oleh mimpi cemas (mimpi buruk).
             Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa mimpi merupakan jalan pemuasan terhadap fantasi atau lamunan. Mimpi dapat merupakan manifestasi keinginan yang tidak dapat terealisasi dalam kenyataan. Hal ini tentu relevan dengan perilaku latah yang sedang dikaji karena sebagian besar informan yang diteliti mangatakan bahwa awal mula perilakunya diawali dengan mimpi alat kelamin. Alat kelamin dalam mimpi mereka berdasarkan teori mimpi di atas tidak kemudian kita terjemahkan secara lugas saja, tetapi harus dipahami lebih mendalam lagi dengan melihat dan mewawancarai mereka tentang hal-hal yang terjadi sebelum mereka bermimpi alat kelamin seperti tersebut dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya.
             Mimpi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mimpi yang sering dibahas dalam psikoanalisa (psikologi dalam). Tokoh psikoanalisa yang sangat terkenal adalah Sigmund Freud. Oleh karena itu, dalam tesis ini juga akan disinggung sedikit tentang psikoanalisa (psikologi dalam) karena perilaku latah tidak bisa dipisahkan dari psikologi  seseorang, dalam hal ini psikologi dalam.

5.  Stimulus-Respon
Manusia berinteraksi dengan manusia lain dalam lingkungan tempatnya hidup. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Manusia selalu terpengaruh oleh keadaan sekitarnya; ia akan dikenali bermacam-macam stimulus yang datang dari lingkungannya. Tetapi tidak semua stimulus yang datang akan direspon. Stimulus mana yang akan diterima atau ditolak bergantung pada stimulusnya itu dan individu yang bersangkutan. Respon individu terhadap stimulus dapat berwujud tingkah laku ataupun aktivitas-aktivitas lain misalnya, bahasa.
Individu menerima stimulus dari lingkungannya yang tidak bersifat tunggal. Stimulus mana yang akan diberikan respon oleh individu bergantung kepada apa yang ada dalam diri individu dan sifat dari individu yang bersangkutan. Dalam diri individu terdapat struktur pribadi tersendiri yang akan ikut menentukan apakah suatu stimulus direspon atau tidak (Yuniati, 1993: 12).
Berbicara tentang stimulus-respon tentu saja tidak bisa lepas dari peran otak. Otak menurut Mahmud (1990: 172) dibagi atas dua bagian yang berbeda. Bagian pertama, bagian paling rumit, disebut otak baru karena sangat berkembang hanya pada manusia. Otak baru ini mengontrol jalan berpikir dan perbuatan-perbuatan yang disengaja.
Bagian lainnya menurut Mahmud (1990: 172) ialah bagian otak lama, yang lebih menyerupai otak binatang. Otak ini mengontrol perbuatan-perbuatan otomatis baik yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh dalam pergaulan.
Otak menurut Kartini-Kartono (1996: 36) dibagi menjadi otak besar dan otak kecil. Dalam otak besar terdapat zat putih, yang menghubungkan tanggapan-tanggapan. Pada kulit otak yang berwarna kelabu, terletak kesadaran manusia. Sedangkan otak kecil menjadi organ yang mengatur semua gerakan. Sumsum perpanjangan yang terdapat dalam otak mengatur fungsi indera. Sedangkan sumsum tulang belakang membawa semua perangsang, dari dan ke otak, dan merupakan organ-organ dari gerak-gerak refleks.
Semua tingkah laku manusia bisa dijabarkan atau dikembalikan pada asalnya yaitu refleks (Kartini-Kartono, 1996: 38). Dikatakan bahwa manusia sebenarnya hanya merupakan satu kompleks dari refleks-refleks, merupakan mesin reaksi, atau mesin refleks belaka. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap perangsang dan berlangsung di luar kemauan kita (Kartini-Kartono, 1996: 37). Refleks menurut Dakir (1976: 107) merupakan reaksi yang segera dan otomatis terhadap rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Dikatakan segera sebab reaksi ini ada sebelum ada rangsangan yang disadari, dan dikatakan otomatis, karena gerakan itu di luar kemauan kita. Reaksi refleks ini prosesnya tidak disadari sampai pada otak, tetapi hanya sampai pada sumsum tulang belakang saja. Reaksi biasa terhadap suatu rangsangan yang simpel mencapai pada otak, itu kurang lebih memakan waktu 15 sekon, tetapi refleks reaksinya lebih cepat lagi.
Adanya refleks menurut Kartini-Kartono (1996: 40) salah satunya disebabkan oleh adanya stimulus atau rangsangan, yang diartikan sebagai segala sesuatu yang berupa kekuatan-kekuatan (baik dari dalam maupun dari luar) yang mengenai diri seseorang sehingga mempengaruhinya.
Menarik untuk dibuktikan bahwa antara tekanan sosial budaya, kejiwaan, refleks dan perilaku latah terdapat hubungan yang erat. Bentuk-bentuk lingual yang muncul dari orang latah dan terjadi ketika orang tersebut terkejut, membuktikan bahwa peranan refleks dalam hal ini sangat besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa refleks merupakan sarana munculnya perilaku latah, yang menghasilkan bentuk-bentuk lingual  latah. Dikatakan demikian karena dalam keadaan normal orang latah tersebut akan malu mengungkapkan hal yang dianggap tabu, karena budaya yang melingkupinya tidak membenarkan seorang wanita mengungkapkan segala sesuatu secara terbuka, apalagi menyangkut alat kelamin.



6. Perilaku Latah
Latah dalam Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-1 (PPDGJ-1) oleh Maramis (1980: 414) dikatakan sebagai kondisi (keadaan) yang terikat pada kebudayaan setempat (Culture-bound Phenomena), selain amok, koro, dan kesurupan. Latah seperti halnya amok, koro dan kesurupan menurut Maramis (1980: 414) banyak dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, dan kebudayaan setempat.
Sementara itu, para ahli seperti (Kenny, 1983; Simon,1983; dan Hugs,1985) yang dikutip oleh Kenny (dalam Karim (ed),1990: 123), memperdebatkan tentang beberapa interpretasi latah dan disebut sebagai ’sindrom batas budaya’ secara umum, ketidaknormalan berpikir, atau tingkah laku yang tampaknya hanya dibatasi pada setting budaya yang lebih khusus (tidak luas). Hal tersebut diperjelas oleh Doolittle (dalam Sutlive(ed), tanpa tahun : 121-122) yang mengatakan bahwa latah akrab dengan masyarakat Melayu. Orang-orang Eropa tidak bisa mengerti tentang latah, karena latah dikatakan tidak sesuai dibandingkan dengan perilaku yang ditemukan pada budaya Barat, sehingga bagi orang Barat latah diklasifikasikan sebagai gangguan mental yang hanya ditemukan diantara orang-orang Melayu dan Indonesia.
Pendapat di atas didasari oleh suatu pemikiran bahwa perilaku latah yang terjadi di Melayu dan Indonesia tidak pernah ditemui pada budaya Barat. Perbedaan budaya antara Barat dengan Indonesia dan Melayu menyebabkan munculnya perilaku yang berbeda-beda juga. Perbedaan yang mencolok tentang aturan-aturan yang mengikat kaum pria dan wanita pada budaya Barat dengan Indonesia dan Melayu menyebabkan munculnya perilaku latah yang tidak pernah ditemukan pada budaya Barat.
Perilaku latah yang tidak pernah ditemukan pada budaya Barat dapat kita mengerti. Hal ini disebabkan karena pada budaya Barat pria dan wanita sama-sama mempunyai kelonggaran dalam bersikap maupun mengungkapkan segala keinginan dan kemarahannya, karena dalam budaya Barat tidak ada perbedaan jenis kelamin. Pada budaya Barat pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sejajar. Berbeda halnya dengan budaya Melayu dan Indonesia yang hanya memberikan kelonggaran pada kaum pria untuk bersikap dan mengungkapkan segala keinginan serta kemarahannya. Kaum wanita pada budaya Melayu dan Indonesia tidak mempunyai kelonggaran bersikap dan mengungkapkan segala keinginan serta kemarahannya, karena wanita pada budaya Melayu dan Indonesia dianggap lemah dan tidak mampu berbuat banyak untuk keluarganya. Oleh karena itu, wanita pada budaya ini benar-benar mempunyai tempat yang rendah.

7. Definisi Latah
Maramis (1980: 416) mengatakan bahwa latah merupakan suatu keadaan yang umumnya timbul pada wanita muda atau setengah tua dari kalangan rendah dengan kehidupan dan cara berpikir sederhana dan pendidikan yang rendah pula. Pengertian latah yang dikutip dari Kamus Inggris yang dikutip oleh Kenny (dalam Karim (ed),1990: 124) ialah penyakit mental, sekarang kebanyakan terjadi pada wanita dari kelas rendah, berumur menengah (sedang), dikarakteristikkan dengan dorongan tanpa sengaja mengucapkan hal-hal yang jorok (kecabulan), tiruan yang mengejek gaya-gaya orang lain atau masyarakat lain, atau tingkah laku yang secara moral tidak sopan. Sedangkan pengertian latah berdasarkan Kamus Kedokteran Melayu (via Doolittle dalam Sutlive (ed), tanpa tahun: 122) ialah sebuah gangguan endemic pada mental paroxymal di Semenanjung Melayu dan Kepulauan Indian Timur. Doolittle (dalam Sutlive (ed), tanpa tahun: 122) mengatakan bahwa latah adalah sebuah psikosis di Melayu yang diderita oleh orang dewasa. Psikosis ini dibawa seumur hidup, tetapi di lain pihak seorang yang latah menikmati hidup yang normal.
Penelitian orang-orang Eropa seperti yang dilakukan oleh Kenny (1983); Simon (1983); Hugs (1985), dan petunjuk-petunjuk yang lain, sering menyimpulkan latah sebagai penyakit mental yang tidak disengaja. Orang-orang Barat seharusnya membedakan hal tersebut dari orang-orang Melayu dan Indonesia, yang tetap tahan dengan kelucuannya dan ini dengan jelas dapat dibedakan dari sakit jiwa, dan tidak biasanya hal latah disembuhkan melalui pengobatan tradisional atau modern. Latah oleh Fletcher (via Kenny dalam Karim(ed), 1990: 124) tidak dilihat sebagai penyakit oleh orang-orang Melayu tetapi sebagai keganjilan seseorang. Hal ini sejalan dengan pendapat Maramis (1980: 417) yang mengatakan bahwa latah tidak dipandang sebagai sebuah penyakit oleh masyarakat.
Berdasarkan definisi-definisi latah di atas dapat disimpulkan bahwa latah merupakan suatu kondisi yang terikat pada kebudayaan setempat, kebanyakan terjadi pada wanita yang berpendidikan rendah dan kelas ekonomi rendah, yang cenderung mengucapkan kata-kata cabul, mengulangi atau menirukan kata, frasa, maupun kalimat yang diucapkan oleh orang lain, menirukan gerakan orang lain, dan perilaku ini biasanya dibawa seumur hidup.

8.Pembahasan
 Bagan Peristiwa yang Mendorong Terbentuknya Perilaku Latah dan Perilaku Latah di Kabupaten Jember

No
Informan
Jenis Kela
min
Peristiwa Yang Mengawali Terbentuknya Perilaku Latah

Bentuk Perilaku Latah


Verbal
Non Verbal

1
1
P
Mimpi alat kelamin
coprolalia, echolalia
echopraxia

2.
2
L
Mimpi dikejar gedung bertingkat
coprolalia
command aouthomatism

3.
3
P
Mimpi makhluk halus dan alat kelamin
Coprolalia, echolalia, autho echolalia, paradigmatik error
echopraxia,command authomatism

4.
4
P
Mimpi alat kelamin
Coprolalia, echolalia, autho echolalia, paradigmatik error
Echopraxia, command authomatism

5.
5
P
Tidak mengingat
coprolalia
Coomand athomatism

6.
6
P
Mimpi alat kelamin perempuan dan laki-laki
Coprolalia, echolalia, autho echolalia, paradigmatik error
Command authomatism, echopraxia

7.
7
L
bermimpi alat kelamin perempuan
coprolalia
Echopraxia

8.
8
P
bermimpi alat kelamin kuda
Coprolalia, echolalia, autho echolalia
Echopraxia, command authomatism

9.
9
P
Bermimpi alat kelamin kuda
Coprolalia, echolalia, autho echolalia, paradigmatik error



10.
10
P
Bermimpi alat kelamin laki-laki
Coprolalia, echolalia
Echopraxia, command authomatism


Bagan di atas merupakan hasil temuan di lapangan, yang peneliti ambil di Jember Jawa Timur. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwa perilaku latah verbal yang paling banyak dialami masyarakat berperilaku latah di Jember Jawa timur dengan sampel 10 informan adalah perilaku latah coprolalia (menyebut alat kelamin laki-laki atau perempuan). Perilaku latah ini hampir dimiliki oleh keseluruhan informan. Perilaku latah verbal lain berikutnya yang tidak kalah penting adalah perilaku verbal echolalia (menirukan ucapan atau kata-kata orang lain).
            Data di atas menunjukkan bahwa perilaku latah tersebut kebanyakan terjadi pada perempuan. Perempuan yang berperilaku ini adalah perempuan-perempuan yang berpendidikan rendah dan berkelas ekonomi rendah. Perempuan-perempuan tersebut di atas rata-rata menikah pada usia dini. Perempuan-perempuan tersebut awalnya mengalami tekanan psikis. Tekanan psikis tersebut sangat membuatnya tidak nyaman. Mereka hanya bisa menahan keinginan yang ada pada diri mereka.
            Keunikan yang terjadi pada temuan data penelitian ini adalah ditemukannya laki-laki latah. Laki-laki latah yang peneliti temukan di lapangan mempunyai perilaku yang tidak jauh berbeda dengan informan perempuan. Kedua laki-laki latah seperti tersaji pada data di atas mempunyai perilaku latah verbal yaitu coprolalia (menyebut alat kelamin perempuan). Sedangkan, perilaku latah non verbal yang mereka alami ada perbedaan yaitu command automatism (mematuhi perintah orang lain) dan echopraxia (menirukan gerakan orang lain).
            Penyebab atau peristiwa yang mengawali terbentuknya perilaku latah ini adalah pada para informan di atas adalah bermimpi tentang alat kelamin atau tidak bermimpi tentang alat kelamin. Mereka rata-rata mempunyai perilaku latah coprolalia.  Artinya, perilaku ini terjadi pada semua informan baik yang mengalami peristiwa bermimpi alat kelamin, dikejar objek tertentu (gedung tinggi), dan informan yang tidak ingat awal mula perilaku latahnya.  
            Peneliti meyakini bahwa isi perilaku latah verbal berupa coprolalia merupakan konflik utama yang dialami para informan. Hal ini mengandung pengertian bahwa konflik yang terjadi atau peristiwa psikis yang dialami para informan tersebut berawal dari adanya tekanan psikis yang berasal dari alat kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, apabila hal ini kita hubungkan antara peristiwa yang ada dan perilaku latah yang sangat dominan tersebut merupakan bentuk gambaran angan yang terjadi pada diri informan. Hal yang terjadi baik ketakutan maupun hasrat yang tidak terpenuhi dari informan menjadi pemicu terjadinya perilaku latah coprolalia, karena gambaran mimpi informan yang berupa alat kelamin tersebut merupakan bentuk konflik batin yang terjadi. Konflik yang tidak terkomunikasikan dan bahkan tidak terselesaikan akhirnya memberikan dampak penekanan pada diri informan. Hal yang tidak dapat terealisasi dalam kenyataan tersebut akhirnya disimpan dalam otak tak sadar manusia. Hal yang dipendam itu semakin lama akan menumpuk dalam otak tak sadar manusia, sehingga hal tersebut kemudian direalisasikan dalam bentuk mimpi yang menggambarkan sesuatu yang sedang dipikirkannya.
            Pengejawantahan alat kelamin dalam mimpi para informan tentunya ada penyebab. Tidak serta merta gambaran alat kelamin tersebut muncul dalam mimpi seseorang. Seperti telah dibahas dalam peristiwa yang dialami informan dengan perilaku latah yang dialami di atas, telah memberikan gambaran kepada kita tentang adanya emosi terkait dengan alat kelamin. Pernikahan pada usia belum matang (10 tahun, 12 tahun, dan lain-lain) memberikan gambaran kepada kita tentang belum siapnya mereka untuk berinteraksi. Secara logika, di usia itu, untuk bergaul dengan orang-orang lebih tua dari mereka saja sangat takut apalagi harus berhubungan intim dengan seseorang yang lebih pantas disebutnya sebagai ayah, paman, atau ibu. Anak-anak seusia mereka itu sedang mencari proses jati diri, mencari keakuan mereka, mereka masih belajar bagaiaman berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya.
            Pernikahan dini tentu menjadi penyebab terbentuknya tekanan psikis yang luar biasa. Di usia mereka yang masih penuh waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain sudah harus terbelenggu dengan urusan rumah tangga dan bahkan memenuhi hasrat seksual bagi suaminya. Sebuah kewajaran ketika terjadi ketakutan yang luar biasa, apalagi ada informan yang megatakan bahwa ia belum menstruasi ketika menikah. Hal ini menunjukkan belum matangnya proses reproduksi perempuan. Selain itu, kesakitan yang luar biasa ketika berhubungan intim menjadi pemicu luar biasa dalam membentuk tekanan psikis. Trauma setiap kali suaminya meminta berhubungan intim karena kesakitan yang dialaminya serta katakutan tidak bisa memuaskan hasrat seksual suaminya terus menerus menekan pada diri inforrman. Kenyataan tersebut dialami dalam waktu yang lama, dipendam tanpa ada jalan pemuasan, walaupun hanya dengan bercerita, menuliskan keluh kesah dalam buku harian, atau mengalihkan dengan melakukan kegiatan lain sehingga dapat terhibur dan sebagainya. Hal ini disebabkan para informan   berperilaku latah yang peneliti temukan di Jember rata-rata tidak mengenyam jenjang pendidikan dan berasal dari kelas ekonomi rendah.
            Kondisi informan yang berpendidikan rendah dan berkelas ekonomi rendah menyebabkan informan menjadi semakin terpuruk. Informan tidak mempunyai bekal cukup untuk untuk mengatasi konflik batin. Ia hanya bisa diam dan berpasrah dengan keadaan yang dialaminya. Keadaan yang dialami para informan tentu didukung oleh keadaan sosial budaya yang melingkupinya. Seorang anak sangat pantang menolak atau melawan apa kata orang tuanya. Anak yang patuh adalah anak yang menurut apa kata orang tua. Para informan yang latah menuturkan tidak berani melawan atau tidak berani memberikan argumentasi tentang keberatan mereka untuk menikah di usia yang belum matang. Mereka hanya menurut apa kata orang tua.
            Para informan berjenis kelamin perempuan, mengalami tekanan psikis yang lebih besar daripada laki-laki. Perempuan, seperti halnya telah dipaparkan di atas bahwa mereka harus menurut apa yang diperintahkan orang tuanya, walaupun tidak manusiawi, ditambah lagi dengan tekanan psikis yang dialaminya setelah menikah. Ia dianggap sebagai manusia yang harus menuruti dan memenuhi apa kata suaminya. Dalam kondisi demikian, jelas perempuan lebih tertekan daripada laki-laki.
            Apabila dilihat dari segi fisik, perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Sebagian besar perempuan masih mengedepankan emosi daripada logika ketika menyelesaikan permasalahan. Sebagian besar perempuan lebih banyak menangis ketika menyelesaikan permasalahan daripada berpikir jernih. Hal tersebut juga terjadi para informan perempuan yang peneliti wawancarai, mereka bercerita hanya mampu menangis ketika terjadi permasalahan dalam rumah tangganya karena tidak mungkin ia akan menceritakan kejadian dalam rumah tangganya kepada orang tuanya, saudaranya, apalagi dengan tetangganya. Budaya yang melingkupi para perempuan tersebut tidak membenarkannya melakukan hal-hal seperti tersebut di atas. Ia pun tidak berusaha untuk ke luar dari keterpurukan karena tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini sebagai akibat rendahya tingkat pendidikan meraka yang menyebabkan ketidaktahuan mereka untuk ke luar dari permasalahan yang dihadapi.
            Aturan-aturan yang dibuat oleh orang tua sampai dengan menimbulkan adanya keyakinan bahwa semua kata orang tua harus dituruti, apabila kita ingin hidup bahagia, diikuti dengan aturan-aturan dalam rumah tangga yang semakin rumit bagi seorang perempuan, serta sosial budaya yang melingkupinya, yang membuat perempuan termarginalkan turut mendukung timbulnya tekanan psikologis.  Tekanan psikologis yang dialami para informan berlangsung lama. Mereka hanya mampu memendam segala sesuatu yang membuatnya sakit hati. Ia tidak bebas berekspresi atau merealisasi keinginannya karena mereka menyadari posisi mereka sebagai perempuan. Hal yang ditahan secara terus menerus. Hal yang ditahan semakin lama juga harus mencari jalan pemuasan. Akhirnya hal yang ditahan tersebut disimpan dalam otak tak sadar manusia. Semakin lama, hal yang ditahan tersebut juga harus mencari jalan pemuasan, yaitu dimanifestasikan dalam bentuk mimpi, yang merupakan gambaran angannya.
            Seorang informan yang tidak mengingat awal mula atau kejadian yang melingkupinya sebelum ia menjadi latah seperti terjadi pada informan 5 (I5J) serta perilaku latah yang dialaminya (coprolalia dan command automatism) tentu menjadi hal yang sangat menarik. Informan-informan lain yang mempunyai perilaku latah coprolalia diawali dengan mimpi alat kelamin. Namun, informan ini mempunyai perilaku latah coprolalia walaupun ia mengaku tidak pernah bermimpi hal tersebut. Peneliti meyakini adanya frekuensi atau keseringan informan mendengar atau melihat orang-orang latah di sekitarnya. Informan pada awalnya mengaku sangat membenci perilaku latah tetangganya. Ia beranggapan bahwa apa yang dialami tetangganya tersebut hanya dibuat-buat untuk mendapat perhatian orang lain. Ia seringkali mengumpat melihat reaksi tetangganya yang selalu berperilaku latah ketika dikejutkan orang lain. Ia tidak percaya ketika diberitahu bahwa apa yang dialami tetangganya tersebut di luar kontrol karena terjadi pada saat kesadarannya menurun.
            Informan ini hampir setiap hari mengamati perilaku latah tetangganya. Ia mengaku sangat jijik dengan kata-kata cabul yang diucapkan tetangganya. Ia seringkali melihat dengan sinis, karena menurutnya apa yang dilakukan tetangganya tersebut menyalahi adat.
            Informan tersebut kemudian merasakan hari demi hari dalam hidupnya semakin berubah. Ia merasakan perilaku yang sama dengan tetangganya. Setiap kali ia membicarakan perilaku latah tetangganya dengan orang lain, dan pada saat itu ia dikejutkan oleh tetangganya, spontan ke luar bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin laki-laki seperti yang diucapkan oleh tetangganya. Ia pun mengaku tidak sadar ketika mengucapkan bentuk lingual tersebut.Sedangkan, perilaku command authomatism yang melingkupinya merupakan manifestasi dari ketidaksenangannya kepada tetangga yang menurutnya berpura-pura latah, sehingga secara spontan ketika ia dikejutkan akan mengucapkan bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin dan juga perilaku latah nonverbal berupa command authomatism (mematuhi perintah orang lain) dan bahkan spontan memukul atau menempeleng orang didekatnya katika kesadarannya menurun.
            Laki-laki yang berperilaku latah coprolalia (I2J), yang mengaku bermimpi gedung bertingkat yang mengejar-ngejarnya dan nyaris roboh ke arah dirinya sebagai bentuk manifestasi keinginan yang tinggi dan tidak dapat terealisasi. Mimpi tersebut merupakan bentuk kegelisahan yang dialami informan.
            Perempuan yang menikah dengan informan adalah seorang janda kaya, namun secara usia sebenarnya terpaut sangat jauh. Informan pun menuturkan bahwa apa yang ia lakukan adalah merupakan bentuk perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Informan mengaku pada saat bertemu pertama kali dengan calon istrinya, ia sangat minder karena istrinya kelihatan lebih dewasa.
            Kekawatiran pada diri informan ini sangat wajar. Hal ini disebabkan bahwa setelah mereka berumah tangga tentu laki-laki harus mampu menjalankan perahu dengan baik. Ia akan menjadi nahkoda dan arah perahu yang ditumpanginya. Namun, kenyataan membuatnya harus tertekan karena posisi istri yang lebih dominan dan dewasa, lebih mapan, sedangkan ia tidak memiliki bekal apa pun. Konflik ini terjadi selama bertahun-tahun, apalagi setelah pernikahan terjadi ternyata ia mengetahui bahwa istrinya tidak lagi menstruasi. Laki-laki tersebut mengaku belum tahu harus berbuat apa ketika malam pertama terjadi. Hasrat naluriahnya tertahan dan tertekan ketika istrinya merasa kesakitan dan kelelahan akibat sudah mengalami menopouse (tidak menstruasi lagi). Ia merasa setiap kali berhubungan dengan istrinya, rasa takut yang luar biasa menghampirinya. Kesakitan yang dialami istri menjadi traumanya selama bertahun-tahun, padahal di sisi lain ia membutuhkan pelayanan batin dari istrinya.
            Perilaku latah command automatism yang dialami oleh informan 2 (I2J), merupakan gerak refleks yang menunjukkan kemarahannya. Ia akan memberikan respons dengan gerakan memukul atau menempeleng ketika dikejutkan yang membuat kesadarannya menurun.  
            Perilaku latah verbal yang lain seperti echolalia (menirukan ucapan orang lain), autho echolalia (mengulangi bentuk lingual yang diucapkannya sendiri), paradigmatik error (mengganti suatu kata dengan kata lain yang mempunyai kelas kata yang sama) merupakan perilaku tambahan yang mengikuti perilaku coprolalia. Hal ini juga terjadi pada perilaku latah non verbal baik echopraxia maupun command automatism. Perilaku ini sebagai perilaku tidak pokok yang terjadi pada para informan.
            Stimulus yang sering diberikan pada para informan serta kuantitas stimulus tersebut dilakukan akan semakin memberikan perilaku latah yang lebih kompleks. Informan yang jarang mendapat rangsangan akan mempunyai perilaku latah coprolalia diikuti dengan perilaku latah yang lain, yang jumlahnya terbatas. Sedangkan, para informan yang seringkali mendapatkan stimulus baik dengan gertakan, ucapan, jatuhnya suatu objek atau kegaduhan akan mempunyai perilaku latah yang lebih kompleks. Perilaku latah yang dialami para informan ini adalah perilaku latah coprolalia yang diikuti oleh perilaku latah verbal yang lain dan bahkan perilaku latah non verbal.

 Simpulan
            Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap perilaku latah di Jember dan Pacitan Jawa Timur, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
Bentuk-bentuk perilaku latah yang ditemukan di Kabupaten Jember Jawa Timur meliputi perilaku latah verbal dan nonverbal. Perilaku latah verbal meliputi: coprolalia (mengucapkan bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin), echolalia (menirukan ucapan orang lain), auto echolalia (mengulangi ucapannya sendiri), dan paradigmatik error (mengganti suatu kata dengan kata lain yang mempunyai jenis kata yang sama). Sedangkan, perilaku latah nonverbal ialah perilaku latah berupa gerakan. Perilaku latah nonverbal yang ditemukan pada penelitian di Jember adalah echopraxia dan command automatism. Setiap informan mempunyai spesifikasi yang berbeda-beda terkait dengan perilaku latahnya. Seorang informan mempunyai lebih dari satu perilaku latah baik verbal maupaun non verbal.

 
Perilaku latah baik verbal maupun non verbal yang dialami oleh para informan tentunya mempunyai arti. Hal tersebut ditunjukkan dengan ekspresi dari para informan ketika mengucapkan bentuk lingual. Aspek verbal dan non verbal sangat mendukung terjadi totalitas makna yang ada. Fungsi dan arti bentuk-bentuk lingual yang diucapkan oleh informan mengandung atau mengekspresikan tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah kemarahan, kesedihan, dan kekaguman atau keheranan.
Bahasa yang digunakan oleh informan ketika memunculkan bentuk-bentuk lingual latah tergantung pada stimulus yang kita berikan. Para Informan di Kabupaten Jember sebagian besar mengerti bahasa Indonesia. Namun, sebagai anggota masyarakat di Kabupaten Jember mereka menguasai bahasa Jawa dan bahasa Madura. Bahasa Jawa dan Madura ini digunakan secara bersama-sama untuk mengungkapkan sesuatu. Interaksi antara bahasa Jawa dan Bahasa Madura ini terjadi karena lingkungan yang sangat heterogen baik bersuku Jawa maupun Madura. Para informan akan memberikan reaksi atau respon verbal dengan menggunakan bahasa Indonesia  dan bahasa Jawa ketika terjadi interaksi normal antara peneliti dengan informan. Namun, apabila dalam interaksi tidak normal yang menyebabkan informan berperilaku latah akibat keterkejutan karena tepukan, jatuhnya sebuah objek, kegaduhan dan lain-lain yang muncul adalah bentuk-bentuk lingual sesuai dengan stimulus yang didengarnya. Hal yang sangat spesifik adalah terjadi pada pengucapan bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin akan tetap disampaikan dengan menggunakan bahasa Madura. Para informan tidak pernah mengucapkan bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin tersebut dengan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia.
 


DAFTAR PUSTAKA

Budiono.2010. Latah Menular di Usia Lajang, Makin Tua Susah Sembuh. Artikel dalam http://Venasaphenamagna.blogsport.com. Diunduh, Sabtu, 26 Februari 2011, 11.05 WIB.

----------, 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dakir. 1976. Pengantar Psychologi Umum Seri II. Yogyakarta: PT. Gramedia

Doolittle, Amity Appel. Tanpa Tahun. --Latah Behaviour By Females .4m.on", the Rungus of Sabah". Dalain Vinson H. Sutlive, Jr. Female And Male in Borneo: Contribittions and Chollenges to Gender Studies. United State Ashley Printing Senices. Inc. Shanghai, VA.

Ellis,W.G. (1987). Latah: A Mental Malady of The Malay. Journal of Mental Science,43,32-40.

Fakih, Mansour. 2006. Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Freud, Sigmund. 1987. Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah Terjemahan  oleh K Bertens. Jakarta: PT Gramedia.

----------. 2006. Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah Terjemahan  oleh K Bertens. Jakarta: PT Gramedia.

Geertz. Hildred. 1968. Latah in Java:  Theoritical Fal-OCIOX' dalam Modern Indonesia Project. New York: Comel University 102 West AN enNTe Ithaca.


JawaTimur.Wikipedia BahasaIndonesia.http://id.wikipedia.org/wiki/
Jawa_Timur. Diunduh pada hari Selasa, 18 Januari 2011, pukul 16.00.

Jung, Carl Gustav. 1989. Memperkenalkan Psikologi Analitis. Jakarta: PT Gramedia.


Kadir, Hatib Abdul. 2009. Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian Psikoantropologi). Psikobuana, vol.1 49-59.

Kartono, Kartini. 1996. Psikologi Umum. Bandung : Mandar Maju

Kenny, Michael G. 1990. “Latah The Logic of Fear". Dalam Wazir Jahan Karim (ed). Emotion of Culture A Malay Perspective. Singapore: Oxford University Press Oxford New York.

Maramis, W.F.1980. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlanga Universiy Press.

---------- . 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan (AUP).
Murpy, H.B.M. 1976. Notes for a Theory of Latah. Dalam Lebra, W.P. (ed), Cuture-Bound Syndromes, Ethnopsychiatry, and Alternative Therapies. Honolulu:The University of Chocago Press.

Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pamungkas, Sri. 1998. Bahasa Latah (Suatu Tinjauan Psikolinguistik pada Beberapa Orang Latah di Jember).  Tidak diterbitkan.


Winzeler, R.L.(1984, April). The Study of Malayan Latah.Indonesia,37,77-104.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar