Penggunaan Bahasa
pada Penyandang Latah
(Studi Kasus Latah
di Jember Jawa Timur)
Sri Pamungkas, S.S., M.Hum.
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP PGRI Pacitan)
Abstrak
Berbahasa
merupakan hal
terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia menggunakan bahasanya seperti
halnya bernafas, sehingga berbahasa dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan
alamiah. Pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dapat diilhami dari peran
bahasa dalam interaksi manusia dengan manusia lain, pengembangan dirinya, dan
bahkan hingga manusia tidur pun mereka masih menggunakan bahasa.
Bahasa yang digunakan manusia mempunyai sistem, kaidah, maupun aturan yang harus
dipatuhi oleh setiap penutur demi kelancaran kegiatan interaksi dan komunikasi.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kegiatan interaksi dan komunikasi
mengalami gangguan karena adanya bentuk gangguan berbahasa, misalnya latah. Di era dua puluhan ini banyak yang beranggapan
bahwa latah adalah hal yang wajar-wajar saja,
namun setelah dikaji secara lebih mendalam ternyata latah
merupakan bentuk penyakit yang susah disembuhkan. Latah
pada kenyataannya juga merupakan bentuk peniruan perbuatan dan ucapan.
Penelitian
ini bertujuan memperoleh deskripsi tentang (1) bentuk pernyataan bahasa pada penyandang latah di Jember Jawa Timur, (2) pola kebahasaan pada penyandang latah, (3) maksud dan fungsi pernyataan bahasa pada penyandang latah
di Jember Jawa Timur.
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif. Rancangan penelitian
ini menggunakan rancangan penelitian studi kasus yang juga memiliki ciri
penelitian yang mendalam (intens) mengenai suatu kasus. Data
penelitian berupa kata, frasa, kalimat dan perilaku yang mengiringi ujaran.
Informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang
dan semuanya berstatus sebagai ibu rumah tangga, usia tiga puluh tahun ke atas dan berjenis kelamin
perempuan. Teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi terus terang atau tersamar,
wawancara tak berstruktur dan studi dokumentasi. Instrumen penelitian adalah
peneliti dan dibantu seorang asisten di lapangan yang telah dilengkapi alat perekam data, panduan klasifikasi data, catatan
lapangan, dan format studi dokumen pribadi. Analisis data dilakukan melalui
cara reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan dilakukan
pengecekan keabsahan data dan temuan dengan jalan perpanjangan pengamatan
penelitian, meningkatkan ketekunan, triangulasi, menggunakan bahan referensi,
analisis kasus negatif, dan member check.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat (1) dua
buah bentuk bahasa pada penyandang latah
yaitu bentuk bahasa yang bisa dipahami dan bentuk bahasa yang tidak bisa dipahami. Pembagian bentuk bahasa tersebut didasarkan pada dua hal. Pertama, berdasarkan
kelaziman bahasa yang digunakan oleh penyandang latah. Bahasa-bahasa tersebut
terkait dengan konteks tuturan pada saat itu. Kedua, bahasa
yang digunakan penyandang latah secara umum
harus memiliki makna, (2) ada tujuh pola kebahasaan pada penyandang latah antara lain pola lengkap, pengurangan,
penambahan, kekhasan, pengulangan ganda, mengacu pada bunyi, dan pola variasi
lain, (3) maksud dan
fungsi pernyataan bahasa pada penyandang latah
di Jember Jawa timur, yang dominan coprolalia
(menyebut alat kelamin) secara terus menerus, merupakan gambaran mimpinya.
Artinya, pengaruh psikis yang menyebabkan tekanan, yang digambarkan dalam mimpi
para perempuan latah di Jember Jawa Timur tersebut memberikan tekanan lebih
besar daripada tekanan dari luar.
Kata Kunci: Bahasa, Latah, Jember
1.
Latar Belakang Masalah
Lebih seabad yang lalu para peneliti Eropa memulai
mendokumentasikan bahwa latah akrab dengan masyarakat Melayu (Ellis and O'Brien, via Doolitlle dalam
Suthlive (ed) (tanpa tahun: l21). Orang-orang barat tidak bisa mengerti tentang
latah. Mereka menganggap bahwa perilaku latah
itu tidak sesuai dibandingkan dengan perilaku yang ditemukan pada budaya barat
dan mereka mengatakan bahwa perilaku latah adalah perilaku yang tidak masuk akal. Orang-orang barat menganggap latah adalah sebuah
penyakit (pathalogy) dan diklasifikasikan sebagai gangguan mental yang hanya ditemukan di antara
orang-orang Melayu dan Indonesia. Latah kebanyakan diderita oleh orang dewasa dan psikosis ini biasanya dibawa
seumur hidup, tetapi di lain pihak seseorang yang latah
menikmati hidup yang normal.
Seluruh kasus latah
muncul akibat stimulus, khususnya ketika kosong pikirannya. Kata-kata atau
kalimat akan muncul dari kejutan yang tiba-tiba baik melalui pandangan mata
ataupun pendengaran, seperti perintah langsung atau dikejutkan yang mengganggu
keseimbangan sistem otak.
Sebuah episode latah dapat terjadi karena beberapa tipe stimulus yang berbeda. Stimulus itu
dapat berupa suara atau bahasa tubuh, digelitik atau ditepuk, jatuhnya sebuah
objek, guncangan atau kebingungan dalam kerumunan orang-orang.
Kenny (1990), Gerdz (1968), mengatakan bahwa
kecenderungan memunculkan bentuk-bentuk lingual tentang alat kelamin laki-laki
pada orang latah merupakan wujud tekanan budaya, sehingga mereka mengatakan bahwa latah merupakan sindrom budaya. Seperti halnya yang penulis temukan di Kabupaten
Jember Jawa Timur, perilaku latah pada
wanita-wanita di sana lebih banyak diakibatkan oleh tekanan psikis.
Latah diklasifikasikan menjadi coprolalia, yaitu mengucapkan kata-kata cabul,
menirukan kata kata atau frasa orang lain (echolalia), mengulangi kata-kata
yang diucapkannya sendiri (auto echolalia), menirukan tindakan orang lain (echopraxia), atau mematuhi perintah
orang lain (command automatism).
Selain itu ditemukan perilaku latah yang
lain, yaitu penggantian jenis kata yang diucapkan oleh seseorang yang latah dengan kata lain yang mempunyai
jenis kata yang sama setelah mereka mendengar stimulus dari orang lain (paradigmatic error).
Setiap perilaku yang dilakukan oleh manusia untuk
mencapai tujuan tertentu, pasti ada sesuatu yang mendorongnya. Dorongan itu
bisa dari dalam individu maupun dari luar individu. Darongan dari dalam
individu adalah dorongan pikiran, naluri, dan dorongan hati. Sedangkan,
dorongan dari luar adalah dorongan dari luar dirinya, yaitu dari lingkungannya.
Munculnya bentuk-bentuk lingual latah yang
menggambarkan alat kelamin laki-laki merupakan wujud tekanan pada diri
seseorang. Seseorang mempunyai keinginan, dan keinginan itu tidak dapat
terealisasi dalam kenyataan, diubah bentuknya dalam mimpi. Hal tersebut terjadi
karena budaya yang melingkupinya tidak memberikan kelonggaran pada seorang
wanita untuk mengungkapkan segala keinginannya, apalagi keinginan seksual.
Wanita itu akhirnya hanya bisa menahan dan sesuatu yang ditahan itu
dimanifestasikan dalam bentuk mimpi. Sedangkan, bentuk-bentuk lingual yang
menggambarkan keinginannya (keinginan seksual atau kekecewaan seksual) akan
muncul pada saat seorang yang berperilaku latah
terkejut , dan mereka merasa malu ketika kesadarannya penuh.
Berbeda halnya dengan fenomena di atas, saat ini latah sudah menjadi tren. Latah berdasarkan penelitian-penelitian
terdahulu banyak dialami oleh perempuan, berpendidikan rendah dan berkelas
ekonomi rendah pada usia 30 tahun ke atas. Namun, hal tersebut pada saat ini
telah mengalami pergeseran. Fenomena yang terjadi di lapangan memberikan
kenyataan berbeda. Latah justru
banyak menggejala di kalangan pelajar maupun mahasiswa biasanya mereka yang
berkelas ekonomi menengah ke atas, selain juga terjadi pada perempuan-perempuan
seperti di Jember.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pada awal mula
seseorang menjadi latah adalah karena
mimpi. Mimpi secara logika tidak begitu saja diterima sebagai penyebab
terjadinya latah seperti yang pernah
penulis teliti di Kabupaten Jember, terhadap enam orang perempuan. Namun, menurut
penulis hal terpenting di sini adalah kejadian-kejadian sebelumnya yang menekan
perempuan tersebut hingga akhirnya ia menjadi latah.
Freud (1987: xxiv-xxv) mengatakan bahwa mimpi adalah via regia atau jalan utama yang
mengantarkan kita ke ketidaksadaran. Freud menyebutkan bahwa mimpi merupakan
wujud suatu konflik, karena mimpi adalah suatu produk psikis dan karena hidup
psikis dianggapnya sebagai konflik antara daya-daya psikis.
Jung (1989: 45) mengatakan bahwa aspek tak sadar suatu
peristiwa tersingkap kepada kita dalam impian-impian yang muncul tidak berupa
pikiran rasional tetapi berupa citra simbolis. Freud dan Adler (via
Kartini-Kartono, 1996:144) menganggap mimpi sebagai produk patologis dan
merupakan perwujudan dari harapan-harapan yang tidak bisa terealisasi.
Mimpi merupakan cara berkedok untuk mewujudkan suatu
keinginan yang direpresi. Mimpi merupakan suatu produk psikis dan karena hidup
psikis dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis. Mimpi terjadi pada
saat si subjek sedang tidur, jadi keadaan di saat si subjek ingin beristirahat
dari aktivitas-aktivitas psikis maupun fisis, sudah mencapai pada taraf
minimal. Dalam keadaan seperti itu represi menjadi kendur dan apa yang
direpresi dapat masuk dalam kesadaran (Freud,1987: v).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa mimpi
itu dapat melambangkan manifestasi positif dan dapat pula melambangkan konflik
atau keinginan yang tidak dapat terealisasi itu akan berpindah dari kesadaran
ke ketidaksadaran dengan mencari jalan untuk pemuasan, yaitu melalui mimpi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mimpi dalam hal ini merupakan realisasi
suatu keinginan yang direpresi dalam ketaksadaran.
Bentuk-bentuk lingual yang muncul dari masyarakat
berperilaku latah biasanya adalah
berupa bahasa ibu (bahasa daerah). Penyebutan alat kelamain laki-laki (coprolalia), benda, atau penyebutan
hal-hal lain diungkapkan dalam bahasa Madura oleh penyandang latah di Jember.
Masyarakat di Jember Jawa Timur dapat
dikatakan sebagai masyarakat pendatang. Akulturasi bahasa, budaya, bahkan
sistem sosial bercampur aduk membentuk masyarakat Jember. Masyarakat Jember
didominasi oleh dua latar belakang budaya, yaitu Jawa dan Madura. Bahasa Jawa
dan Madura di Jember apabila kita perhatikan berbeda dari yang berasal dari
tempat lain.
Mengacu dari tulisan Henriono Nugroho, ada
tiga hal yang menyebabkan perbedaan penggunaan bahasa di Jember yaitu hambatan
sosial, hambatan geografis, dan hambatan linguistik. Hambatan Sosial yang
dimaksud di sini tidak bisa dilepaskan dari sejarah Jember. Sejarah Jember
dimulai dari adanya perkebunan abad 19. Gelombang pendatang baik dari Jawa di
luar Jember maupun Madura pun bermunculan. Rata-rata para pendatang ini adalah
dari golongan rakyat kelas bawah dan bekerja sebagai buruh di perkebunan. Dengan
demikian, penduduk setempat (lokal Jember) bercampur baur dan membentuk
masyarakat Jember sampai saat ini. Perpaduan dua suku dari golongan kelas bawah
ini membentuk golongan kelas yang sama karena merasa dari golongan yang sama.
Suku Jawa cenderung menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Suku Madura juga menggunakan
bahasa Madura kasar (unda usuk
tingkat rendah).
Hambatan geografis mengacu pada lokasi atau
jarak antara kedua tempat tersebut. Mengacu pada pendapat Henriono Nugroho
bahwa bahasa Jawa mempunyai bahasa baku dan hidup pada masyarakat Yogyakarta.
Jarak kedua Kabupaten yang kebetulan juga berbeda propinsi tersebut memang
sangat berjauhan sehingga bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di
Yogyakarta dengan di Jember sangat berbeda.
Yogyakarta dan Jember sebenarnya sama-sama
terletak di dekat pantai selatan. Namun, kedua daerah ini terpisah oleh gunung,
sungai, karang terjal, dan daerah tandus. Jadi tidak ada jalan lurus horizontal
yang menghubungkan Jember dan Yogyakarta. Bila dari arah Yogyakarta, untuk
menuju ke Jember orang harus menuju ke arah Timur Laut dulu, yakni melalui
Solo, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kertosono, Mojokerto, Jombang, dan Surabaya, baru
kemudian ke arah Tenggara melalui Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan baru
sampai di Jember.
Penyebab perbedaan yang terakhir adalah hambatan linguistik. Materi jurnal yang ditulis oleh Henriono Nugroho menyebutkan banyak istilah-istilah kebahasaan beserta contoh. Menurutnya, dialek Jember lebih miskin perbendaharaan kata (bahasa Jawa) daripada bahasa Jawa baku yang berkembang di Yogyakarta. Hal ini dapat kita lihat pada tidak adanya penyebutan nama anak hewan dalam bahasa Jawa dialek Jember . Contoh : anak gajah dalam bahasa Jawa baku dinamakan bledug, namun dalam bahasa Jawa dialek Jember cukup dinyatakan dengan anak’e gajah.
Penyebab perbedaan yang terakhir adalah hambatan linguistik. Materi jurnal yang ditulis oleh Henriono Nugroho menyebutkan banyak istilah-istilah kebahasaan beserta contoh. Menurutnya, dialek Jember lebih miskin perbendaharaan kata (bahasa Jawa) daripada bahasa Jawa baku yang berkembang di Yogyakarta. Hal ini dapat kita lihat pada tidak adanya penyebutan nama anak hewan dalam bahasa Jawa dialek Jember . Contoh : anak gajah dalam bahasa Jawa baku dinamakan bledug, namun dalam bahasa Jawa dialek Jember cukup dinyatakan dengan anak’e gajah.
Pengaruh bahasa Madura pada bahasa Jawa
khas Jember juga sangat kuat. Ini melahirkan banyak sekali perbendaharaan kata
baru yang hanya ada di kota Jember, misalnya kata cangkul. Cangkul dalam
bahasa Jawa baku istilahnya adalah pacul.
Sedangkan, di Jember berubah menjadi pacol
untuk membahasakannya dalam bahasa Madura. Istilah cangkul dalam bahasa Madura adalah bukan pacol tetapi landuk.
Spesifikasi bahasa Jawa di Kabupaten Jember juga dapat dilihat dari cara pemanggilan
nama seseorang yang sudah berumah tangga dan memiliki anak. Orang tua yang
telah mempunyai anak, maka ia akan dipanggil sesuai dengan anaknya yang pertama
dan tidak dipanggil sesuai nama suaminya. Misalnya, seorang perempuan menikah
dengan Pak X, maka ia akan dipanggil dengan Bu X, namun apabila ia telah
mempunyai seorang anak maka ia akan dipanggil sesuai nama anaknya yang pertama.
Misalnya, anak yang pertama bernama Endang, maka ia tidak lagi dipanggil Bu X
tetapi dipanggil Bu Endang, bila nama anak pertamanya Aris, maka ia akan
dianggil Bu Aris.
Faktor lain penyebab timbulnya perbedaan
dialek Jember dengan bahasa Jawa baku adalah perbedaan budaya. Pacitan yang
banyak berkiblat pada bahasa Jawa di Yogyakarta sedangkan berdasarkan
keterangan tersebut di atas membuktikan bahwa masyarakat Jember mempunyai
kekhasan bahasa, yang jauh dari bahasa Jawa baku. Hal ini disebabkan masyarakat Yogyakarta,
yang hal itu banyak dianut oleh masyarakat Pacitan, pada umumnya golongan
abangan, priyayi dan sebagian santri. Sedangkan, masyarakat Jember mayoritas
golongan santri. Kosakata yang dipergunakan di kedua daerah itu pun akhirnya
banyak terjadi perbedaan. Bahasa Jawa baku (Yogyakarta) lebih banyak dianut
oleh masyarakat Pacitan yang terpengaruh oleh Hindu dan budaya aristokrasi
keraton, sedangkan Jember lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab / ajaran
agama Islam.
Bahasa Jawa dialek Jember utamnya
tataran Kromo Inggil, hanya
berdasarkan faktor rasa hormat dan kebersamaan. Kromo inggil pada dialek Jember
tidak banyak dipengaruhi status sosial sehingga masyarakat Jember terlihat
lebih akrab dengan bahasa Jawa Ngoko. Ngoko menjadi simbol keakraban antar
sesama rakyat Jember bila digunakan dengan timbal balik.
2. Bahasa dan Pikiran
Bahasa adalah salah satu anugerah
Tuhan yang memungkinkan manusia untuk mengelola pikirannya dan mengendalikan
pengaruh luar terhadap pikirannya. Manusia sebagaimana halnya makhluk Tuhan
yang lain berinteraksi dengan lingkungannya dan memroses data dari organ
pancaindranya untuk menciptakan suatu representasi utama dari dunia.
Representasi dunia menjadi sumber pesan yang diolah dalam pikiran.
Pesan-pesan tersebut menurut
Arifuddin (2010: 242) tidak mengalir langsung dari pancaindra ke sel motorik,
tetapi lebih dahulu masuk ke dalam unit pemrosesan khusus, dan di dalam unit
tersebut pesan-pesan tersebut bersaing dengan pesan-pesan yang lain. Pesan yang
lebih kuat selanjutnya mengaktifasi sel-sel motorik untuk melakukan fungsinya.
Apabila citra sensori sudah berwujud sebagai sebuah predator maka seperangkat
neuron akan melakukan fungsinya untuk mengolah citra sensori tersebut
(Bickerton,1995: 101). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sebenarnya
pemrosesan pesan melalui beberapa tahap panjang namun kita tidak pernah
menghitung atau merasakan lamanya proses tersebut berlangsung.
Muller dalam Ariffuddin (2010: 244)
mengatakan bahwa bahasa dan pikiran selalu terkait, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ujaran yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia dikendalikan oleh pikiran, dan sebaliknya hasil pikiran
memunculkan kategori atau konsep untuk sebuah benda atau objek. Dengan
demikian, ada kesalingtergantungan antara bahasa dan pikiran atau sebaliknya.
Piaget dalam Arifuddin (2010: 245)
mengemukakan pandangan yang serupa, bahwa ada keterkaitan pikiran dan bahasa.
Bahasa adalah representasi dari pikiran. Apa yang diungkapkan seseorang melalui
ujarannya tidak lain dari hasil proses berpikir, terlepas dari kebenaran atau
kesalahan hasil pikiran tersebut. Menurut Piaget ada dua pikiran, yaitu pikiran
terarah (directed) atau intelligent dan pikiran tak terarah atau
autistik (autistic). Pikiran yang
terarah adalah pikiran yang menghasilkan tindakan atau ujaran yang dapat
dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan kuat, sedangkan pikiran tidak
terarah umumnya pikiran yang sering menimbulkan kekeliruan atau dampak tidak
terduga. Tergelincir lidah (slip of the
tongue) terjadi karena tidak ada kerja sama harmonis antara otak atau
pikiran dengan alat-alat ucap, sehingga yang diujarkan tidak sesuai dengan yang
ada dalam pikiran, meskipun maksud atau pesan yang disampaikan itu sama. Baos
dikutip oleh Arifuddin (2010: 246) juga sepakat dengan pandangan bahwa cara
berpikir masyarakat pengguna bahasa dipengaruhi oleh bahasa. Sebagai contoh,
cara berpikir orang Indian dipengaruhi oleh struktur bahasa yang mereka pakai
sehari-hari.
Perilaku latah yang terjadi pada masyarakat Jember tentu juga tidak dapat
dipisahkan dari pikiran. Pikiran yang
terjadi telah membentuk perilaku spesifik dalam berbahasa. Perilaku spesifik
baik verbal maupun nonverbal tersebut terjadi hanya ketika kesadarnnya menurun
karena situasi tertentu, misalnya terkejut karena jatuhnya suatu objek,
kebisingan dan lain-lain. Namun, ketika kesadaran mereka penuh (dalam situasi
biasa) masyarakat berperilaku latah
ini juga mampu menggunakan bahasanya dengan baik.
3. Teori Mimpi
Mimpi dan tidur
mempunyai hubungan sangat erat. Kita bisa terbangun oleh mimpi; kita sering
mendapat mimpi saat kita bangun secara spontan atau saat kita dipaksa bangun
dari tidur. Mimpi menurut Freud (2006: 86) merupakan penghubung antara kondisi
bangun dan tidur.
Tidur menurut Freud (2006: 87)
adalah kondisi saat kita menolak berhubungan dengan dunia luar dan menarik diri
darinya. Cara mundur atau menghindar dari dunia luar dan menangkal rangsangan
dari sana adalah dengan tidur. Dengan demikian, objek biologis dari tidur
adalah penyembuhan dan karakteristik psikologinya adalah penangguhan
kepentingan kita dengan dunia luar, yang kita masuki dengan setengah hati,
meskipun kita bisa bertahan hidup hanya bila ada waktu istirahat.
Mimpi dengan demikian dapat
diartikan sebagai sebentuk reaksi dari pikiran untuk merangsang tindakan selama
tidur (Freud,2006:88). Selama kita bermimpi kita yakin telah melalui banyak pengalaman.
Sementara, dalam realitas kita mungkin hanya mengalami satu rangsangan yang
mengganggu. Sebagian besar pengalaman kita berbentuk potret visual yang
bercampur dengan perasaan dan pikiran serta indra lain, sedangkan sebagian
besar bagian dari mimpi hanya terdiri atas potret visual saja.
Mimpi yang sering dialami manusia
adalah mimpi yang samar-samar atau kabur. Mimpi terdapat bagian yang
keberadaannya samar-samar atau kabur, sehingga sulit dipahami. Mimpi sangat
konsisten, kadang-kadang saling berhubungan dengan mimpi lain, bisa sangat lucu
atau sangat indah. Mimpi lain ada yang membingungkan, tampak tidak jelas dan
sering gila-gilaan. Ada mimpi yang meninggalkan kita dalam kedinginan, ada juga
mimpi yang membuat kita sedih bahkan sangat ketakutan hingga kita terbangun
dengan perasaan kagum, gembira, takut, dan seterusnya (Freud,2006:90).
Freud juga mengatakan bahwa
sebagian besar mimpi akan terlupakan setelah bangun. Mimpi ada juga yang tetap
bisa diingat sepanjang hari itu. Ingatan terhadap suatu mimpi semakin lama
semakin kabur seiring dengan waktu berjalan, sedangkan mimpi lain ada yang
sangat jelas, misalnya mimpi masa kanak-kanak, hingga 30 tahun kemudian kita
masih mengingatnya dengan jelas seolah-olah mimpi itu baru terjadi tadi malam.
Ada mimpi yang hanya datang sekali dan tidak pernah datang lagi, namun ada
orang yang mendapat mimpi-mimpi secara terus menerus, mimpi-mimpi dengan bentuk
persis sama atau sedikit perubahan.
Freud (1987:xxiv-xxv) mengatakan bahwa mimpi
adalah ”via regia” atau jalan utama
yang mengantarkan kita ke ketidaksadaran. Freud menyebut bahwa mimpi merupakan
wujud suatu konflik, karena mimpi adalah suatu produk psikis dan karena hidup
psikis dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis.
Jung (1989:45)
mengatakan bahwa aspek tak sadar suatu peristiwa tersingkap kepada kita dalam
impian-impian yang muncul tidak berupa pikiran rasional tetapi berupa citra
simbolis. Freud dan Adler (via Kartini-Kartono,1996:144) menganggap mimpi itu
sebagai produk patologis, dan merupakan perwujudan dari harapan-harapan yang
tidak bisa terealisasi. Sekedar untuk diketahui bahwa Jung (1989:45) mempunyai
pemikiran yang sedikit berbeda dengan Freud. Jung menegaskan bahwa mimpi itu
tidak hanya sebagai isi-isi konflik pribadi saja, akan tetapi juga
manifestasi-manifestasi positif dari ketidaksadaran. Misalnya berupa
motif-motif mitologis, simbol-simbol atau perlambang tertentu, pesan gaib, dan
lain-lain.
Mimpi merupakan
cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi. Mimpi merupakan
suatu produk psikis dan karena hidup psikis dianggapnya sebagai konflik antara
daya-daya psikis. Mimpi terjadi pada saat si subjek sedang tidur, jadi keadaan
pada saat si subjek ingin beristirahat dari aktivitas-aktivitas psikis maupun
fisik, sudah mencapai taraf minimal. Dalam keadaan seperti itu represi menjadi
kendur dan apa yang direpresi dapat masuk dalam kesadaran (Freud,1987:xxv).
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa mimpi itu dapat melambangkan manifestasi
positif dan dapat pula melambangkan konflik atau keinginan yang tidak dapat
terealisasi. Keinginan atau konflik yang tidak dapat terealisasi atau
terselesaikan itu akan berpindah dari kesadaran ke ketidaksadaran dengan
mencari jalan untuk pemuasan, yaitu melalui mimpi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa mimpi dalam hal ini merupakan perealisasian suatu keinginan
yang direpresi dalam ketaksadaran.
4. Fungsi Mimpi
Mimpi selain
mempunyai makna juga mempunyai fungsi. Fungsi mimpi menurut (Freud 1987 : xxv)
adalah melindungi tidur kita. Hal ini dilaksanakan dengan dua cara : (1)
mengintegrasikan faktor-faktor dari luar yang dapat mengganggu tidur kita; (2)
memberikan pemuasan untuk sebagian kepada keinginan-keinginan yang direpresi
atau yang tidak sempat dipuaskan dalam kenyataan.
Dari kedua
fungsi mimpi tersebut dikatakan oleh Freud, apabila faktor-faktor dari luar
terlalu kuat, yang terjadi adalah ”arousal-dreams”
(mimpi-mimpi yang berakhir dengan membangunkan kita). Kalau keinginan-keinginan
dari dalam terlalu kuat, sensor akan kewalahan dan orang yang tidur diganggu
oleh mimpi cemas (mimpi buruk).
Berdasarkan uraian tersebut di atas
dapat dikatakan bahwa mimpi merupakan jalan pemuasan terhadap fantasi atau
lamunan. Mimpi dapat merupakan manifestasi keinginan yang tidak dapat terealisasi
dalam kenyataan. Hal ini tentu relevan dengan perilaku latah yang sedang dikaji karena sebagian besar informan yang
diteliti mangatakan bahwa awal mula perilakunya diawali dengan mimpi alat
kelamin. Alat kelamin dalam mimpi mereka berdasarkan teori mimpi di atas tidak
kemudian kita terjemahkan secara lugas saja, tetapi harus dipahami lebih
mendalam lagi dengan melihat dan mewawancarai mereka tentang hal-hal yang
terjadi sebelum mereka bermimpi alat kelamin seperti tersebut dalam
pembahasan-pembahasan sebelumnya.
Mimpi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah mimpi yang sering dibahas dalam psikoanalisa (psikologi
dalam). Tokoh psikoanalisa yang sangat terkenal adalah Sigmund Freud. Oleh
karena itu, dalam tesis ini juga akan disinggung sedikit tentang psikoanalisa
(psikologi dalam) karena perilaku latah tidak
bisa dipisahkan dari psikologi
seseorang, dalam hal ini psikologi dalam.
5. Stimulus-Respon
Manusia
berinteraksi dengan manusia lain dalam lingkungan tempatnya hidup. Oleh karena
itu, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat melepaskan diri dari
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Manusia
selalu terpengaruh oleh keadaan sekitarnya; ia akan dikenali bermacam-macam
stimulus yang datang dari lingkungannya. Tetapi tidak semua stimulus yang
datang akan direspon. Stimulus mana yang akan diterima atau ditolak bergantung
pada stimulusnya itu dan individu yang bersangkutan. Respon individu terhadap
stimulus dapat berwujud tingkah laku ataupun aktivitas-aktivitas lain misalnya,
bahasa.
Individu
menerima stimulus dari lingkungannya yang tidak bersifat tunggal. Stimulus mana
yang akan diberikan respon oleh individu bergantung kepada apa yang ada dalam
diri individu dan sifat dari individu yang bersangkutan. Dalam diri individu
terdapat struktur pribadi tersendiri yang akan ikut menentukan apakah suatu
stimulus direspon atau tidak (Yuniati, 1993: 12).
Berbicara
tentang stimulus-respon tentu saja tidak bisa lepas dari peran otak. Otak
menurut Mahmud (1990: 172) dibagi atas dua bagian yang berbeda. Bagian pertama,
bagian paling rumit, disebut otak baru karena sangat berkembang hanya pada
manusia. Otak baru ini mengontrol jalan berpikir dan perbuatan-perbuatan yang
disengaja.
Bagian lainnya
menurut Mahmud (1990: 172) ialah bagian otak lama, yang lebih menyerupai otak
binatang. Otak ini mengontrol perbuatan-perbuatan otomatis baik yang dibawa
sejak lahir maupun yang diperoleh dalam pergaulan.
Otak menurut
Kartini-Kartono (1996: 36) dibagi menjadi otak besar dan otak kecil. Dalam otak
besar terdapat zat putih, yang menghubungkan tanggapan-tanggapan. Pada kulit
otak yang berwarna kelabu, terletak kesadaran manusia. Sedangkan otak kecil
menjadi organ yang mengatur semua gerakan. Sumsum perpanjangan yang terdapat
dalam otak mengatur fungsi indera. Sedangkan sumsum tulang belakang membawa
semua perangsang, dari dan ke otak, dan merupakan organ-organ dari gerak-gerak
refleks.
Semua tingkah
laku manusia bisa dijabarkan atau dikembalikan pada asalnya yaitu refleks
(Kartini-Kartono, 1996: 38). Dikatakan bahwa manusia sebenarnya hanya merupakan
satu kompleks dari refleks-refleks, merupakan mesin reaksi, atau mesin refleks
belaka. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap perangsang dan
berlangsung di luar kemauan kita (Kartini-Kartono, 1996: 37). Refleks menurut
Dakir (1976: 107) merupakan reaksi yang segera dan otomatis terhadap rangsangan
baik dari luar maupun dari dalam. Dikatakan segera sebab reaksi ini ada sebelum
ada rangsangan yang disadari, dan dikatakan otomatis, karena gerakan itu di
luar kemauan kita. Reaksi refleks ini prosesnya tidak disadari sampai pada
otak, tetapi hanya sampai pada sumsum tulang belakang saja. Reaksi biasa
terhadap suatu rangsangan yang simpel mencapai pada otak, itu kurang lebih
memakan waktu 15 sekon, tetapi refleks reaksinya lebih cepat lagi.
Adanya refleks
menurut Kartini-Kartono (1996: 40) salah satunya disebabkan oleh adanya
stimulus atau rangsangan, yang diartikan sebagai segala sesuatu yang berupa
kekuatan-kekuatan (baik dari dalam maupun dari luar) yang mengenai diri
seseorang sehingga mempengaruhinya.
Menarik untuk
dibuktikan bahwa antara tekanan sosial budaya, kejiwaan, refleks dan perilaku latah terdapat hubungan yang erat.
Bentuk-bentuk lingual yang muncul dari orang latah dan terjadi ketika orang tersebut terkejut, membuktikan bahwa
peranan refleks dalam hal ini sangat besar. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa refleks merupakan sarana munculnya perilaku latah, yang menghasilkan bentuk-bentuk lingual latah.
Dikatakan demikian karena dalam keadaan normal orang latah tersebut akan malu mengungkapkan hal yang dianggap tabu,
karena budaya yang melingkupinya tidak membenarkan seorang wanita mengungkapkan
segala sesuatu secara terbuka, apalagi menyangkut alat kelamin.
6. Perilaku Latah
Latah dalam Pedoman Penggolongan Diagnosa
Gangguan Jiwa ke-1 (PPDGJ-1) oleh Maramis (1980: 414) dikatakan sebagai kondisi
(keadaan) yang terikat pada kebudayaan setempat (Culture-bound Phenomena), selain amok, koro, dan kesurupan. Latah
seperti halnya amok, koro dan kesurupan menurut Maramis (1980: 414)
banyak dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, dan kebudayaan setempat.
Sementara itu,
para ahli seperti (Kenny, 1983; Simon,1983; dan Hugs,1985) yang dikutip oleh
Kenny (dalam Karim (ed),1990: 123), memperdebatkan tentang beberapa
interpretasi latah dan disebut
sebagai ’sindrom batas budaya’ secara umum, ketidaknormalan berpikir, atau
tingkah laku yang tampaknya hanya dibatasi pada setting budaya yang lebih
khusus (tidak luas). Hal tersebut diperjelas oleh Doolittle (dalam Sutlive(ed),
tanpa tahun : 121-122) yang mengatakan bahwa latah akrab dengan masyarakat Melayu. Orang-orang Eropa tidak bisa
mengerti tentang latah, karena latah dikatakan tidak sesuai
dibandingkan dengan perilaku yang ditemukan pada budaya Barat, sehingga bagi
orang Barat latah diklasifikasikan
sebagai gangguan mental yang hanya ditemukan diantara orang-orang Melayu dan
Indonesia.
Pendapat di atas
didasari oleh suatu pemikiran bahwa perilaku latah yang terjadi di Melayu dan Indonesia tidak pernah ditemui
pada budaya Barat. Perbedaan budaya antara Barat dengan Indonesia dan Melayu
menyebabkan munculnya perilaku yang berbeda-beda juga. Perbedaan yang mencolok
tentang aturan-aturan yang mengikat kaum pria dan wanita pada budaya Barat
dengan Indonesia dan Melayu menyebabkan munculnya perilaku latah yang tidak pernah ditemukan pada budaya Barat.
Perilaku latah yang tidak pernah ditemukan pada
budaya Barat dapat kita mengerti. Hal ini disebabkan karena pada budaya Barat
pria dan wanita sama-sama mempunyai kelonggaran dalam bersikap maupun mengungkapkan
segala keinginan dan kemarahannya, karena dalam budaya Barat tidak ada
perbedaan jenis kelamin. Pada budaya Barat pria dan wanita mempunyai kedudukan
yang sejajar. Berbeda halnya dengan budaya Melayu dan Indonesia yang hanya
memberikan kelonggaran pada kaum pria untuk bersikap dan mengungkapkan segala
keinginan serta kemarahannya. Kaum wanita pada budaya Melayu dan Indonesia
tidak mempunyai kelonggaran bersikap dan mengungkapkan segala keinginan serta
kemarahannya, karena wanita pada budaya Melayu dan Indonesia dianggap lemah dan
tidak mampu berbuat banyak untuk keluarganya. Oleh karena itu, wanita pada
budaya ini benar-benar mempunyai tempat yang rendah.
7. Definisi Latah
Maramis (1980:
416) mengatakan bahwa latah merupakan
suatu keadaan yang umumnya timbul pada wanita muda atau setengah tua dari
kalangan rendah dengan kehidupan dan cara berpikir sederhana dan pendidikan
yang rendah pula. Pengertian latah
yang dikutip dari Kamus Inggris yang dikutip oleh Kenny (dalam Karim (ed),1990:
124) ialah penyakit mental, sekarang kebanyakan terjadi pada wanita dari kelas
rendah, berumur menengah (sedang), dikarakteristikkan dengan dorongan tanpa
sengaja mengucapkan hal-hal yang jorok (kecabulan), tiruan yang mengejek
gaya-gaya orang lain atau masyarakat lain, atau tingkah laku yang secara moral
tidak sopan. Sedangkan pengertian latah berdasarkan
Kamus Kedokteran Melayu (via Doolittle dalam Sutlive (ed), tanpa tahun: 122)
ialah sebuah gangguan endemic pada mental paroxymal di Semenanjung Melayu
dan Kepulauan Indian Timur. Doolittle (dalam Sutlive (ed), tanpa tahun: 122)
mengatakan bahwa latah adalah sebuah
psikosis di Melayu yang diderita oleh orang dewasa. Psikosis ini dibawa seumur
hidup, tetapi di lain pihak seorang yang latah
menikmati hidup yang normal.
Penelitian
orang-orang Eropa seperti yang dilakukan oleh Kenny (1983); Simon (1983); Hugs
(1985), dan petunjuk-petunjuk yang lain, sering menyimpulkan latah sebagai penyakit mental yang tidak
disengaja. Orang-orang Barat seharusnya membedakan hal tersebut dari
orang-orang Melayu dan Indonesia, yang tetap tahan dengan kelucuannya dan ini
dengan jelas dapat dibedakan dari sakit jiwa, dan tidak biasanya hal latah disembuhkan melalui pengobatan
tradisional atau modern. Latah oleh
Fletcher (via Kenny dalam Karim(ed), 1990: 124) tidak dilihat sebagai penyakit
oleh orang-orang Melayu tetapi sebagai keganjilan seseorang. Hal ini sejalan
dengan pendapat Maramis (1980: 417) yang mengatakan bahwa latah tidak dipandang sebagai sebuah penyakit oleh masyarakat.
Berdasarkan
definisi-definisi latah di atas dapat
disimpulkan bahwa latah merupakan
suatu kondisi yang terikat pada kebudayaan setempat, kebanyakan terjadi pada
wanita yang berpendidikan rendah dan kelas ekonomi rendah, yang cenderung
mengucapkan kata-kata cabul, mengulangi atau menirukan kata, frasa, maupun
kalimat yang diucapkan oleh orang lain, menirukan gerakan orang lain, dan
perilaku ini biasanya dibawa seumur hidup.
8.Pembahasan
Bagan Peristiwa yang Mendorong Terbentuknya
Perilaku Latah dan Perilaku Latah di Kabupaten Jember
No
|
Informan
|
Jenis Kela
min
|
Peristiwa Yang Mengawali Terbentuknya Perilaku Latah
|
Bentuk Perilaku Latah
|
||||||||
Verbal
|
Non Verbal
|
|||||||||||
1
|
1
|
P
|
Mimpi alat kelamin
|
coprolalia, echolalia
|
echopraxia
|
|||||||
2.
|
2
|
L
|
Mimpi dikejar
gedung bertingkat
|
coprolalia
|
command aouthomatism
|
|||||||
3.
|
3
|
P
|
Mimpi makhluk halus
dan alat kelamin
|
Coprolalia, echolalia, autho echolalia, paradigmatik error
|
echopraxia,command authomatism
|
|||||||
4.
|
4
|
P
|
Mimpi alat kelamin
|
Coprolalia,
echolalia, autho echolalia, paradigmatik error
|
Echopraxia, command authomatism
|
|||||||
5.
|
5
|
P
|
Tidak mengingat
|
coprolalia
|
Coomand athomatism
|
|||||||
6.
|
6
|
P
|
Mimpi alat kelamin perempuan
dan laki-laki
|
Coprolalia, echolalia, autho echolalia, paradigmatik error
|
Command authomatism, echopraxia
|
|||||||
7.
|
7
|
L
|
bermimpi alat kelamin perempuan
|
coprolalia
|
Echopraxia
|
|||||||
8.
|
8
|
P
|
bermimpi alat kelamin kuda
|
Coprolalia, echolalia, autho echolalia
|
Echopraxia, command authomatism
|
|||||||
9.
|
9
|
P
|
Bermimpi alat kelamin kuda
|
Coprolalia, echolalia, autho echolalia, paradigmatik error
|
|
|||||||
10.
|
10
|
P
|
Bermimpi alat kelamin laki-laki
|
Coprolalia, echolalia
|
Echopraxia, command authomatism
|
|||||||
Bagan di atas merupakan hasil temuan di lapangan, yang
peneliti ambil di Jember Jawa Timur. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui
bahwa perilaku latah verbal yang
paling banyak dialami masyarakat berperilaku latah di Jember Jawa timur dengan sampel 10 informan adalah
perilaku latah coprolalia (menyebut
alat kelamin laki-laki atau perempuan). Perilaku latah ini hampir dimiliki oleh keseluruhan informan. Perilaku latah verbal lain berikutnya yang tidak
kalah penting adalah perilaku verbal echolalia
(menirukan ucapan atau kata-kata orang lain).
Data di atas menunjukkan bahwa
perilaku latah tersebut kebanyakan
terjadi pada perempuan. Perempuan yang berperilaku ini adalah
perempuan-perempuan yang berpendidikan rendah dan berkelas ekonomi rendah.
Perempuan-perempuan tersebut di atas rata-rata menikah pada usia dini.
Perempuan-perempuan tersebut awalnya mengalami tekanan psikis. Tekanan psikis
tersebut sangat membuatnya tidak nyaman. Mereka hanya bisa menahan keinginan
yang ada pada diri mereka.
Keunikan yang terjadi pada temuan
data penelitian ini adalah ditemukannya laki-laki latah. Laki-laki latah
yang peneliti temukan di lapangan mempunyai perilaku yang tidak jauh berbeda
dengan informan perempuan. Kedua laki-laki latah
seperti tersaji pada data di atas mempunyai perilaku latah verbal yaitu coprolalia
(menyebut alat kelamin perempuan). Sedangkan, perilaku latah non verbal
yang mereka alami ada perbedaan yaitu command
automatism (mematuhi perintah orang lain) dan echopraxia (menirukan gerakan orang lain).
Penyebab atau peristiwa yang
mengawali terbentuknya perilaku latah ini
adalah pada para informan di atas adalah bermimpi tentang alat kelamin atau
tidak bermimpi tentang alat kelamin. Mereka rata-rata mempunyai perilaku latah coprolalia. Artinya, perilaku ini terjadi pada semua
informan baik yang mengalami peristiwa bermimpi alat kelamin, dikejar objek
tertentu (gedung tinggi), dan informan yang tidak ingat awal mula perilaku
latahnya.
Peneliti meyakini bahwa isi perilaku
latah verbal berupa coprolalia merupakan konflik utama yang
dialami para informan. Hal ini mengandung pengertian bahwa konflik yang terjadi
atau peristiwa psikis yang dialami para informan tersebut berawal dari adanya
tekanan psikis yang berasal dari alat kelamin, baik laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, apabila hal ini kita hubungkan antara peristiwa yang ada dan
perilaku latah yang sangat dominan
tersebut merupakan bentuk gambaran angan yang terjadi pada diri informan. Hal
yang terjadi baik ketakutan maupun hasrat yang tidak terpenuhi dari informan
menjadi pemicu terjadinya perilaku latah
coprolalia, karena gambaran mimpi informan yang berupa alat kelamin
tersebut merupakan bentuk konflik batin yang terjadi. Konflik yang tidak
terkomunikasikan dan bahkan tidak terselesaikan akhirnya memberikan dampak
penekanan pada diri informan. Hal yang tidak dapat terealisasi dalam kenyataan
tersebut akhirnya disimpan dalam otak tak sadar manusia. Hal yang dipendam itu
semakin lama akan menumpuk dalam otak tak sadar manusia, sehingga hal tersebut
kemudian direalisasikan dalam bentuk mimpi yang menggambarkan sesuatu yang
sedang dipikirkannya.
Pengejawantahan alat kelamin dalam
mimpi para informan tentunya ada penyebab. Tidak serta merta gambaran alat
kelamin tersebut muncul dalam mimpi seseorang. Seperti telah dibahas dalam
peristiwa yang dialami informan dengan perilaku latah yang dialami di atas,
telah memberikan gambaran kepada kita tentang adanya emosi terkait dengan alat
kelamin. Pernikahan pada usia belum matang (10 tahun, 12 tahun, dan lain-lain)
memberikan gambaran kepada kita tentang belum siapnya mereka untuk
berinteraksi. Secara logika, di usia itu, untuk bergaul dengan orang-orang
lebih tua dari mereka saja sangat takut apalagi harus berhubungan intim dengan
seseorang yang lebih pantas disebutnya sebagai ayah, paman, atau ibu. Anak-anak
seusia mereka itu sedang mencari proses jati diri, mencari keakuan mereka,
mereka masih belajar bagaiaman berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya.
Pernikahan dini tentu menjadi
penyebab terbentuknya tekanan psikis yang luar biasa. Di usia mereka yang masih
penuh waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain sudah harus terbelenggu
dengan urusan rumah tangga dan bahkan memenuhi hasrat seksual bagi suaminya.
Sebuah kewajaran ketika terjadi ketakutan yang luar biasa, apalagi ada informan
yang megatakan bahwa ia belum menstruasi ketika menikah. Hal ini menunjukkan
belum matangnya proses reproduksi perempuan. Selain itu, kesakitan yang luar
biasa ketika berhubungan intim menjadi pemicu luar biasa dalam membentuk
tekanan psikis. Trauma setiap kali suaminya meminta berhubungan intim karena
kesakitan yang dialaminya serta katakutan tidak bisa memuaskan hasrat seksual
suaminya terus menerus menekan pada diri inforrman. Kenyataan tersebut dialami
dalam waktu yang lama, dipendam tanpa ada jalan pemuasan, walaupun hanya dengan
bercerita, menuliskan keluh kesah dalam buku harian, atau mengalihkan dengan
melakukan kegiatan lain sehingga dapat terhibur dan sebagainya. Hal ini
disebabkan para informan berperilaku
latah yang peneliti temukan di Jember rata-rata tidak mengenyam jenjang
pendidikan dan berasal dari kelas ekonomi rendah.
Kondisi informan yang berpendidikan
rendah dan berkelas ekonomi rendah menyebabkan informan menjadi semakin
terpuruk. Informan tidak mempunyai bekal cukup untuk untuk mengatasi konflik
batin. Ia hanya bisa diam dan berpasrah dengan keadaan yang dialaminya. Keadaan
yang dialami para informan tentu didukung oleh keadaan sosial budaya yang
melingkupinya. Seorang anak sangat pantang menolak atau melawan apa kata orang
tuanya. Anak yang patuh adalah anak yang menurut apa kata orang tua. Para
informan yang latah menuturkan tidak berani melawan atau tidak berani
memberikan argumentasi tentang keberatan mereka untuk menikah di usia yang belum
matang. Mereka hanya menurut apa kata orang tua.
Para informan berjenis kelamin
perempuan, mengalami tekanan psikis yang lebih besar daripada laki-laki.
Perempuan, seperti halnya telah dipaparkan di atas bahwa mereka harus menurut
apa yang diperintahkan orang tuanya, walaupun tidak manusiawi, ditambah lagi
dengan tekanan psikis yang dialaminya setelah menikah. Ia dianggap sebagai
manusia yang harus menuruti dan memenuhi apa kata suaminya. Dalam kondisi
demikian, jelas perempuan lebih tertekan daripada laki-laki.
Apabila dilihat dari segi fisik,
perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Sebagian besar perempuan masih
mengedepankan emosi daripada logika ketika menyelesaikan permasalahan. Sebagian
besar perempuan lebih banyak menangis ketika menyelesaikan permasalahan
daripada berpikir jernih. Hal tersebut juga terjadi para informan perempuan
yang peneliti wawancarai, mereka bercerita hanya mampu menangis ketika terjadi
permasalahan dalam rumah tangganya karena tidak mungkin ia akan menceritakan
kejadian dalam rumah tangganya kepada orang tuanya, saudaranya, apalagi dengan
tetangganya. Budaya yang melingkupi para perempuan tersebut tidak
membenarkannya melakukan hal-hal seperti tersebut di atas. Ia pun tidak
berusaha untuk ke luar dari keterpurukan karena tidak tahu harus berbuat apa.
Hal ini sebagai akibat rendahya tingkat pendidikan meraka yang menyebabkan
ketidaktahuan mereka untuk ke luar dari permasalahan yang dihadapi.
Aturan-aturan yang dibuat oleh orang
tua sampai dengan menimbulkan adanya keyakinan bahwa semua kata orang tua harus
dituruti, apabila kita ingin hidup bahagia, diikuti dengan aturan-aturan dalam
rumah tangga yang semakin rumit bagi seorang perempuan, serta sosial budaya
yang melingkupinya, yang membuat perempuan termarginalkan turut mendukung
timbulnya tekanan psikologis. Tekanan
psikologis yang dialami para informan berlangsung lama. Mereka hanya mampu
memendam segala sesuatu yang membuatnya sakit hati. Ia tidak bebas berekspresi
atau merealisasi keinginannya karena mereka menyadari posisi mereka sebagai
perempuan. Hal yang ditahan secara terus menerus. Hal yang ditahan semakin lama
juga harus mencari jalan pemuasan. Akhirnya hal yang ditahan tersebut disimpan
dalam otak tak sadar manusia. Semakin lama, hal yang ditahan tersebut juga
harus mencari jalan pemuasan, yaitu dimanifestasikan dalam bentuk mimpi, yang
merupakan gambaran angannya.
Seorang informan yang tidak
mengingat awal mula atau kejadian yang melingkupinya sebelum ia menjadi latah seperti terjadi pada informan 5
(I5J) serta perilaku latah yang
dialaminya (coprolalia dan command
automatism) tentu menjadi hal yang sangat menarik. Informan-informan lain
yang mempunyai perilaku latah coprolalia
diawali dengan mimpi alat kelamin. Namun, informan ini mempunyai perilaku latah coprolalia walaupun ia mengaku
tidak pernah bermimpi hal tersebut. Peneliti meyakini adanya frekuensi atau
keseringan informan mendengar atau melihat orang-orang latah di sekitarnya. Informan pada awalnya mengaku sangat membenci
perilaku latah tetangganya. Ia
beranggapan bahwa apa yang dialami tetangganya tersebut hanya dibuat-buat untuk
mendapat perhatian orang lain. Ia seringkali mengumpat melihat reaksi
tetangganya yang selalu berperilaku latah
ketika dikejutkan orang lain. Ia tidak percaya ketika diberitahu bahwa apa
yang dialami tetangganya tersebut di luar kontrol karena terjadi pada saat
kesadarannya menurun.
Informan ini hampir setiap hari
mengamati perilaku latah tetangganya.
Ia mengaku sangat jijik dengan kata-kata cabul yang diucapkan tetangganya. Ia
seringkali melihat dengan sinis, karena menurutnya apa yang dilakukan
tetangganya tersebut menyalahi adat.
Informan tersebut kemudian merasakan
hari demi hari dalam hidupnya semakin berubah. Ia merasakan perilaku yang sama
dengan tetangganya. Setiap kali ia membicarakan perilaku latah tetangganya dengan orang lain, dan pada saat itu ia
dikejutkan oleh tetangganya, spontan ke luar bentuk lingual yang merujuk pada
alat kelamin laki-laki seperti yang diucapkan oleh tetangganya. Ia pun mengaku
tidak sadar ketika mengucapkan bentuk lingual tersebut.Sedangkan, perilaku command authomatism yang melingkupinya
merupakan manifestasi dari ketidaksenangannya kepada tetangga yang menurutnya
berpura-pura latah, sehingga secara
spontan ketika ia dikejutkan akan mengucapkan bentuk lingual yang merujuk pada
alat kelamin dan juga perilaku latah
nonverbal berupa command authomatism
(mematuhi perintah orang lain) dan bahkan spontan memukul atau menempeleng
orang didekatnya katika kesadarannya menurun.
Laki-laki yang berperilaku latah coprolalia (I2J), yang mengaku
bermimpi gedung bertingkat yang mengejar-ngejarnya dan nyaris roboh ke arah
dirinya sebagai bentuk manifestasi keinginan yang tinggi dan tidak dapat
terealisasi. Mimpi tersebut merupakan bentuk kegelisahan yang dialami informan.
Perempuan yang menikah dengan
informan adalah seorang janda kaya, namun secara usia sebenarnya terpaut sangat
jauh. Informan pun menuturkan bahwa apa yang ia lakukan adalah merupakan bentuk
perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Informan mengaku pada saat bertemu
pertama kali dengan calon istrinya, ia sangat minder karena istrinya kelihatan
lebih dewasa.
Kekawatiran pada diri informan ini
sangat wajar. Hal ini disebabkan bahwa setelah mereka berumah tangga tentu
laki-laki harus mampu menjalankan perahu dengan baik. Ia akan menjadi nahkoda
dan arah perahu yang ditumpanginya. Namun, kenyataan membuatnya harus tertekan
karena posisi istri yang lebih dominan dan dewasa, lebih mapan, sedangkan ia
tidak memiliki bekal apa pun. Konflik ini terjadi selama bertahun-tahun,
apalagi setelah pernikahan terjadi ternyata ia mengetahui bahwa istrinya tidak
lagi menstruasi. Laki-laki tersebut mengaku belum tahu harus berbuat apa ketika
malam pertama terjadi. Hasrat naluriahnya tertahan dan tertekan ketika istrinya
merasa kesakitan dan kelelahan akibat sudah mengalami menopouse (tidak
menstruasi lagi). Ia merasa setiap kali berhubungan dengan istrinya, rasa takut
yang luar biasa menghampirinya. Kesakitan yang dialami istri menjadi traumanya
selama bertahun-tahun, padahal di sisi lain ia membutuhkan pelayanan batin dari
istrinya.
Perilaku latah command automatism yang dialami oleh informan 2 (I2J), merupakan
gerak refleks yang menunjukkan kemarahannya. Ia akan memberikan respons dengan
gerakan memukul atau menempeleng ketika dikejutkan yang membuat kesadarannya
menurun.
Perilaku latah verbal yang lain seperti echolalia
(menirukan ucapan orang lain), autho
echolalia (mengulangi bentuk lingual yang diucapkannya sendiri), paradigmatik error (mengganti suatu kata
dengan kata lain yang mempunyai kelas kata yang sama) merupakan perilaku
tambahan yang mengikuti perilaku coprolalia.
Hal ini juga terjadi pada perilaku latah non verbal baik echopraxia maupun command
automatism. Perilaku ini sebagai perilaku tidak pokok yang terjadi pada
para informan.
Stimulus yang sering diberikan pada
para informan serta kuantitas stimulus tersebut dilakukan akan semakin
memberikan perilaku latah yang lebih
kompleks. Informan yang jarang mendapat rangsangan akan mempunyai perilaku latah coprolalia diikuti dengan perilaku latah yang lain, yang jumlahnya terbatas. Sedangkan, para informan
yang seringkali mendapatkan stimulus baik dengan gertakan, ucapan, jatuhnya
suatu objek atau kegaduhan akan mempunyai perilaku latah yang lebih kompleks. Perilaku latah yang dialami para informan ini adalah perilaku latah coprolalia yang diikuti oleh perilaku latah verbal yang lain dan bahkan
perilaku latah non verbal.
Simpulan
Berdasarkan temuan penelitian dan
pembahasan yang telah dilakukan terhadap perilaku latah di Jember dan Pacitan Jawa Timur, dapat dikemukakan simpulan
sebagai berikut.
Bentuk-bentuk perilaku latah yang ditemukan di Kabupaten Jember Jawa Timur meliputi
perilaku latah verbal dan nonverbal.
Perilaku latah verbal meliputi: coprolalia (mengucapkan bentuk lingual
yang merujuk pada alat kelamin), echolalia
(menirukan ucapan orang lain), auto
echolalia (mengulangi ucapannya sendiri), dan paradigmatik error (mengganti suatu kata dengan kata lain yang
mempunyai jenis kata yang sama). Sedangkan, perilaku latah nonverbal ialah perilaku latah
berupa gerakan. Perilaku latah
nonverbal yang ditemukan pada penelitian di Jember adalah echopraxia dan command
automatism. Setiap informan mempunyai spesifikasi yang berbeda-beda terkait
dengan perilaku latahnya. Seorang informan mempunyai lebih dari satu perilaku latah baik verbal maupaun non verbal.
|
Perilaku latah baik verbal maupun
non verbal yang dialami oleh para informan tentunya mempunyai arti. Hal
tersebut ditunjukkan dengan ekspresi dari para informan ketika mengucapkan
bentuk lingual. Aspek verbal dan non verbal sangat mendukung terjadi totalitas
makna yang ada. Fungsi dan arti bentuk-bentuk lingual yang diucapkan oleh
informan mengandung atau mengekspresikan tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah
kemarahan, kesedihan, dan kekaguman atau keheranan.
Bahasa yang digunakan oleh informan ketika memunculkan
bentuk-bentuk lingual latah
tergantung pada stimulus yang kita berikan. Para Informan di Kabupaten Jember
sebagian besar mengerti bahasa Indonesia. Namun, sebagai anggota masyarakat di
Kabupaten Jember mereka menguasai bahasa Jawa dan bahasa Madura. Bahasa Jawa dan
Madura ini digunakan secara bersama-sama untuk mengungkapkan sesuatu. Interaksi
antara bahasa Jawa dan Bahasa Madura ini terjadi karena lingkungan yang sangat
heterogen baik bersuku Jawa maupun Madura. Para informan akan memberikan reaksi
atau respon verbal dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ketika terjadi interaksi
normal antara peneliti dengan informan. Namun, apabila dalam interaksi tidak
normal yang menyebabkan informan berperilaku latah akibat keterkejutan karena
tepukan, jatuhnya sebuah objek, kegaduhan dan lain-lain yang muncul adalah
bentuk-bentuk lingual sesuai dengan stimulus yang didengarnya. Hal yang sangat
spesifik adalah terjadi pada pengucapan bentuk lingual yang merujuk pada alat
kelamin akan tetap disampaikan dengan menggunakan bahasa Madura. Para informan
tidak pernah mengucapkan bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin tersebut
dengan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Budiono.2010. Latah Menular di Usia
Lajang, Makin Tua Susah Sembuh. Artikel dalam http://Venasaphenamagna.blogsport.com. Diunduh,
Sabtu, 26 Februari 2011, 11.05 WIB.
----------, 2003. Psikolinguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dakir. 1976. Pengantar Psychologi Umum Seri II. Yogyakarta: PT. Gramedia
Doolittle, Amity Appel. Tanpa Tahun. --Latah Behaviour By
Females .4m.on", the Rungus of
Sabah". Dalain Vinson H. Sutlive, Jr. Female And Male in Borneo: Contribittions and Chollenges to Gender
Studies. United State Ashley
Printing Senices. Inc. Shanghai, VA.
Ellis,W.G. (1987). Latah: A Mental Malady of The Malay. Journal of Mental Science,43,32-40.
Fakih, Mansour. 2006. Analisis Gender dan Tranformasi
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freud, Sigmund. 1987. Memperkenalkan Psikoanalisa Lima
Ceramah Terjemahan oleh K Bertens. Jakarta: PT Gramedia.
----------. 2006. Memperkenalkan
Psikoanalisa Lima Ceramah Terjemahan oleh K Bertens. Jakarta: PT Gramedia.
Geertz.
Hildred. 1968. Latah in Java: Theoritical
Fal-OCIOX' dalam Modern Indonesia Project. New York: Comel University
102 West AN enNTe Ithaca.
JawaTimur.Wikipedia
BahasaIndonesia.http://id.wikipedia.org/wiki/
Jawa_Timur.
Diunduh pada hari Selasa, 18 Januari 2011, pukul 16.00.
Jung, Carl Gustav. 1989. Memperkenalkan Psikologi
Analitis. Jakarta: PT Gramedia.
Kadir,
Hatib Abdul. 2009. Menafsir Fenomena
Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu (Suatu Kajian
Psikoantropologi). Psikobuana, vol.1 49-59.
Kartono, Kartini. 1996. Psikologi Umum. Bandung : Mandar Maju
Kenny, Michael G. 1990. “Latah The Logic of
Fear". Dalam Wazir Jahan Karim (ed). Emotion of Culture A Malay
Perspective. Singapore: Oxford University Press Oxford New York.
Maramis,
W.F.1980. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlanga Universiy Press.
---------- . 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan (AUP).
Murpy, H.B.M. 1976. Notes for a Theory of Latah. Dalam Lebra, W.P. (ed), Cuture-Bound Syndromes, Ethnopsychiatry, and
Alternative Therapies. Honolulu:The University of Chocago Press.
Nababan, Sri Utari Subyakto.
1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pamungkas, Sri. 1998. Bahasa Latah (Suatu Tinjauan
Psikolinguistik pada Beberapa Orang Latah di Jember). Tidak diterbitkan.
Winzeler,
R.L.(1984, April). The Study of Malayan
Latah.Indonesia,37,77-104.